Mahadewi
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda
Mentari kian beringas memancarkan cahayanya, berusaha meranggaskan tetumbuhan di pinggir jalan, menyisakan jalanan gersang berwarna cokelat muda. Tulang belulang berserakan di sisi kanan-kiri, menjadi saksi kejamnya hukuman alam. Sepertinya tanah itu telah menjadi tempat peristirahatan bagi beberapa jenis makhluk hidup, setelah mereka mendapat segala siksaan. Hinaan, cemoohan.
Dan di sinilah aku, menjadi satu dari sekian terdakwa dunia yang diberi kehormatan mengicipi penyiksaan. Di antara sekian raga tanpa jiwa, eksistensiku berjalan menyusurinya. Suatu padang pasir tanpa oasis serta dikelilingi embusan napas kematian. Sendirian.
Jika kalian bertanya asal muasal pembuanganku, yang ada hanyalah rasa panas membakar jiwa. Kudeskripsikan panas itu sebagai amarah. Amarah bagi setiap insan yang memandang rendah raga ini. Kemudian, rasa kecewa muncul dan mulai menggerogoti jiwaku hingga semuanya hampa. Hingga semuanya hilang dan tergantikan rasa malu. Rasa malu yang menjulang dan tidak dapat dihadang; mengambil rupaku lalu membuangnya pergi. Sejauh-jauhnya hingga tidak dapat kugapai. Pecah membentur bebatuan
Awalnya, aku hidup di kota penuh warna. Kota itu menyuguhkan kebahagiaan serta kasih sayang, entah itu lewat aliran air atau sepoi angin. Langitnya kerap berganti warna―terkadang berwarna biru, oranye, bahkan warna-warni. Tanahnya subur serta memberi napas kehidupan. Gunungnya berwarna lembut memanjakan netra. Semua begitu nyaman dan sempurna, terlebih mengetahui aku termasuk di dalamnya.
Kalian dapat mengibaratkanku sebagai salah satu petinggi yang ikut andil dalam setiap unsur kehidupan. Aku dikenal sebagai salah satu permata serta dikenal semua orang. Mereka menyayangi dan mendeklarasikan diri sebagai sahabatku.
“Kau hebat!”
“Kau salah satu pahlawan!”
“Kau kebanggaan kami!”
Kala itu yang kurasakan hanyalah kebahagiaan serta kebanggaan. Yang terlukis dalam hidupku hanyalah senyum dan kesuksesan. Tidak henti-hentinya aku berusaha untuk menghasilkan berbagai hal untuk menunjang hidup banyak orang. Setiap waktu.
Selalu.
Tapi, suatu petaka terjadi. Aku tidak sengaja menghancurkan sebagian mahkota di alun-alun. Mahkota itu terbuat dari kepercayaan dan prestasi dari setiap penjuru, termasuk diriku sendiri. Benda itu dianggap suci dan suatu hal tabu merusaknya, apalagi menghancurkannya. Tapi aku melakukannya.
Alhasil mereka marah padaku. Mereka menanggapku tidak becus dan memalukan, meneriakiku dengan sebutan ‘orang gagal’. Mereka membuang muka serta abai padaku, memandangku sebagai orang rendah dan tidak pantas ada. Mereka melupakan bagian diriku dahulu, menghancurkannya hingga menjadi debu. Namanya debu masa lalu. Catatan historis seorang pecundang.
“Orang gagal tidak pantas ada!”
“Kau hanyalah pecundang!”
“Yah, aku memang meragukan kemampuanmu sejak dulu.”
“PERGILAH KAU! SAMPAH!”
Aku bergetar dan tidak dapat berkata apa-apa. Mentalku hancur, pikiranku kacau. Sugesti bahwa akulah si Pecundang terus mengendap, kemudian membatu. Batunya amat keras kala mengenai tubuhku, amat besar hingga menutup jalan serta hidupku. Menyumbat napasku, seperti sesak yang kurasakan kini.
Aku tidak lagi menghirup oksigen layaknya di kota warna, yang kuhirup hanya aroma kegagalan. Yang kudengar hanya suara ejekan, yang kujejak hanya wajah meremehkan. Semuanya terjadi berulang layaknya di neraka, mengiringi setiap langkah dan detak jantungku. Setiap saat, selama aku hidup. Setiap saat, meskipun aku telah muak pun lelah.
Mentari turun ke arahku, membuat tubuhku meleleh dimakan alam. Aku terisak, menangisi nasibku sebagai yang terbuang. Teman sejati tampak bak omong kosong dengan memilih bergabung dengan mereka. Menghinaku. Memanaskanku di tanah gersang ini. Mematikan indraku.
“Pembohong,” ucapku pelan, kala dingin datang dengan tiba-tiba lalu mengimpitku. Memasuki pori-pori dan membekukan hidupku. Semuanya. Membuatku menatap nanar pada sosok kematian yang berdiri di hadapanku. Inikah waktunya? Inikah akhir hidupku? Menjadi pecundang?
“Cih.” Kau menyedihkan.
Meskipun aku memilih untuk menutup lakon dunia, aku tetaplah pecundang. Selama berjalan bersama kematian, selama kehancuran membekas dalam pikiran, aku tetap pecundang. Dan dunia tidak membutuhkan pecundang. Mereka berhak menghapus keberadaanku. Toh, aku tidak bernilai pun berguna. Sekalipun sosokku hilang ke dalam perut bumi, tidak akan ada yang mencarinya, ‘kan?
Iya, ‘kan?
Seketika itu, aku merasakan dekapan hangat merengkuh tubuh ini dan melindunginya dari malaikat kematian. Dekapan yang hangat dari sosok yang bersinar, yang dapat membuat hatiku berdesir. Rambut cokelatnya menyapu wajahku, menimbulkan reaksi tersendiri dari sistem tubuhku.
Aku mengenalnya.
“Jangan takut.”
Ia mendekapku hangat, membelaiku penuh kasih. Bibirnya terus bergerak, mengucapkan tembang surga yang menenangkan serta menyelamatkan, “Tidak apa-apa, ada aku di sini. Aku akan menyelamatkan serta melindungimu.” Suara merdunya memasuki pendengaranku. “kau tetaplah yang nomor satu. Kau pantas untuk disayang―selalu.”
Aku terdiam, menenggelamkan ragaku dalam dekapannya. Pancaran cahayanya begitu hangat dan menenangkan, membagi rasa damai pada hatiku yang beku. Kebahagiaan seketika menguar keluar, mengalir melalui pipiku.
“Lindungi aku,” aku berkata pelan. Suaraku terdengar bergetar kala mengucapkannya, tetapi itu bukanlah rasa takut. Itu rasa nyaman. Perasaan aman yang terbentuk karena ia ada di sini, memelukku.
“Tetaplah di sisiku, Ibu…”(*)
Bahkan, saat seluruh dunia menghakimimu
Mencercamu dengan segala umpatan
Menenggelamkanmu dalam jurang kepedihan
Ia tetap ada di sampingmu
Membisikimu dengan tembang surga yang menenangkan
Memberikanmu perlindungan dan kepercayaan
Bahwa harapan itu masih ada di sudut hatimu
Dan akan selalu begitu
Karena baginya, kaulah bentuk harapan itu
[c]December, 2014
Inspired by Padi – Mahadewi
Devin Elysia Dhywinanda adalah hasil hibridisasi dunia Koriya dan wibu yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata