Maafkan Mama, Nak!
Oleh : Nurwati Urumachy
Aku pernah mendengar, samudera cinta yang tak bertepi adalah ibu. Lalu, apakah kalimat itu pantas ditujukan untukku? Sepertinya aku harus bercermin lagi. Mungkin kalimat itu benar untuk wanita-wanita lain, tetapi tidak untukku.
Hari ini, di sebuah ruangan dengan aroma obat yang begitu menyengat dan hawa dingin yang seakan menusuk ke tulang, aku menatap nanar ke arah lampu sorot menyilaukan yang seakan-akan menantang dan menatapku dengan sinis, mencitrakan kebencian yang dalam, pada sosok perempuan tak berdaya yang tengah melawan rasa sakit luar biasa.
Perlahan, aku merasa gelap. Tak ada celah cahaya, senyap … senyap.
Terlintas senyum dari wajah seorang gadis kecil yang terus memenuhi ruang bawah sadarku. Aku ingin berteriak, tak berdaya. Namun senyum tulusnya memberikan sebuah isyarat, agar aku tetap hidup … untuknya.
Priya, ini Mama ….
*
Awalnya, kehidupan rumah tanggaku dengan Bang Genta baik-baik saja. Meskipun tiada celoteh dari balita, hubungan kami tidak menjadi hambar. Ya, meskipun dalam hati kecilku, aku sangat menginginkan kehadiran buah hati, tentu saja dari rahimku sendiri. Tak terbesit di benakku untuk mengangkat anak ataupun mengambil dari keluarga untuk pancingan—sesuai bahasa mertuaku.
Menjelang usia pernikahan yang kedelapan, Bang Genta berkeinginan untuk mengangkat anak saja, mengingat upaya yang bertahun-tahun dijalani untuk memiliki keturunan belum juga membuahkan hasil.
Keinginannya semakin membuncah setelah ia mendengar ceramah di sebuah kajian rohani yang menyatakan bahwa salah satu penerang setelah masa hidup berakhir adalah doa anak yang saleh.
Berulang kali kujelaskan, itu berlaku untuk anak kandung, tetapi ia tetap beranggapan bahwa siapa pun yang dipelihara dengan penuh kasih sayang dan dianggap seperti anak sendiri, memiliki nilai yang sama dengan isi ceramah tersebut. Doa anak itu tetap akan di dengar.
“Bang, tolong deh … memang nanti Abang mau ambil resiko saat anak itu besar? Banyak kasusnya, diurus baik-baik, sudah besar dia bahkan nggak inget orang tua angkatnya!” tegasku saat ia kembali mengutarakan niatnya.
Lagi-lagi jika amarahku meluap laksana ombak baruna, ia tetap tenang, santai, bahkan dengan asyiknya bernyanyi, membuat reda api amarah yang menyala dalam jiwaku.
“Namun ‘ku selow … sangat selow, santai … santai … anak tak akan ke mana!”
“Abanggggg!” teriakku. Aku mencubit lengannya, sedangkan ia tampak begitu menikmati irama lagu yang dia nyanyikan.
Menyebalkan!
Namun ternyata, suara hatinya benar-benar Tuhan dengar.
Saat lembayung di langit Jakarta menghiasi semesta, ia memintaku ke rumah sakit tempatnya bekerja. Jelas sekali terdengar nada suka cita saat menelpon. Ia mengatakan bahwa ada sebuah hadiah istimewa sebagai kado pernikan kami hari ini.
Seperti biasa, aku berusaha tampil sempurna. Buatku, penampilan adalah nomor satu, terlebih akan bertemu dengan rekan kerjanya sesama dokter di rumah sakit.
Bayanganku seperti film-film yang ada di televisi, perayaan yang seru dengan pesta kejutan. Meskipun memang, sepertinya mustahil di rumah sakit ada pesta kejutan. Pikiranku pun menerka-nerka, mungkin … mungkin ….
Kupacu Honda Civic menuju kawasan yang sebenarnya malas kulewati. Jalanan super macet, terlebih saat jam pulang kerja, setiap sudut segitiga emas Jakarta, seakan tak ada celah untukku mengebut.
Setelah satu jam, sampailah aku di sebuah bangunan bertingkat seluas hampir lima hektar. Warna hijau yang mendominasi dindingnya sangat menyejukkan saat terbias cahaya lampu.
Tak sabar, aku menuju lantai lima. Ada kejutan apa di sana? Beb … I’m coming!
Irama jantungku makin tak beraturan, tatkala melihat dari kejauhan, suamiku berdiri tepat di ruangan bayi. Untuk apa? Bukankah ia seorang dokter syaraf?
Aku melangkah lebih cepat dari sebelumnya, ingin segera mengetahui jawaban atas rasa penasaranku. Mendengar irama dari sepatu yang sangat ia kenal, lelaki berwajah teduh dengan senyum merekah secerah surya memberi isyarat untuk ke arahnya.
Di balik kaca besar, terlihat seorang bayi perempuan mungil berwajah oriental.
Lelaki yang telah mendampingiku hampir delapan tahun itu menjelaskan betapa menyedihkan nestapa yang harus bayi itu lalui. Ia seorang anak dari mantan TKW. Saat kembali ke tanah air, ibu kandungnya dalam kondisi hamil tua. Ia dihamili majikannya dan sang majikan tidak mau bertanggung jawab.
Si ibu yang masih belia dan berasal dari keluarga yang pas-pasan menyerahkan bayinya ke rumah sakit tempat ia melahirkan. Ia merasa tak sanggup merawat bayi yang tak pula diinginkannya. Sejak awal kehamilan, berusaha menggugurkan janinnya, tetapi tak berhasil. Saat kembali ke tanah air, keluarganya tak bisa menerima karena itu dianggap aib besar.
Mataku menatapnya dalam. Aku bukannya terenyuh dengan cerita itu, melainkan tak habis pikir. Di hari istimewa seperti ini, ia telah membulatkan tekad, mengadopsi bayi malang itu. Penolakanku tak digubris; ia tetap membawa bayi merah yang begitu tenang tidurnya ke istana cinta kami.
Aku benar-benar tidak siap.
“Bang, Maaf … aku tak bisa merawatnya. Biar nanti Bi Ijah yang mengurus.” tandasku menyebut asisten rumah tangga yang telah lama mengabdi di rumah kami.
*
Hari demi hari, kehadiran bayi yang lucu dan menggemaskan itu semakin membuatku cemburu. Semua perhatian Bang Genta tercurah padanya, bahkan seakan-akan waktu Bang Genta habis bersama sosok mungilnya yang diberi nama Priya, nama yang berarti “cinta”.
Aku benar-benar tak mau direpotkan dengan urusan bayi. Berulang kali Bang Genta memberikan pemahaman dan mencoba membuka celah hatiku untuk tulus menerima bayi itu, tetap saja kukatakan, “Bang, aku butuh waktu dan jangan dipaksa!”
Entahlah, lelaki itu hatinya terbuat dari apa. Ia selalu sabar, tak pernah kecewa atau marah dengan sikapku.
Tak terasa ….
Waktu begitu cepat berlalu. Priya tumbuh menjadi bayi yang menyenangkan. Pola laku dan celotehnya mampu mengalihkan pandangan siapa pun yang melihatnya. Perlahan, ia pun tumbuh menjadi anak yang cerdas.
“Mama … Ma, aku mau dimandikan Mama ya!” rajuknya sembari memegang lenganku. Seperti biasa, aku menolak. Ya, sejak bayi hingga enam tahun, aku tak pernah memandikan anak itu.
Guratan lara yang tersirat di wajahnya tak dapat disembunyikan.
Jejak pribadi Bang Genta benar-benar melekat di sanubari anak itu. Meskipun tak mendapatkan curahan cinta yang tulus, tetapi ia tetap perhatian padaku.
“Mama haus ya? Aku ambilkan minum ya ….”
Jemari mungilnya menekan dispenser dan terdengar aliran air yang meluncur ke gelas kaca. Aku pun meminumnya, sekedar menghargainya, tanpa mengucapkan terima kasih.
“Ma, kok enggak pernah peluk atau cium aku kaya ayah?”
“Ma, kupijat ya kakinya. Mama capek kan?”
“Mama, aku sayangggg Mama.”
Celoteh-celoteh yang sering kudengar. Namun, tak sedikit pun mengubah sikapku. Aku tetap dingin padanya.
Priya adalah seorang anak yang tak pernah merasa lelah. Ia sangat senang jika diajak ke peternakan sembari memberi makan sapi, memancing, dan berenang.
Sosok yang mampu menghangatkan suasana, wajar ia disayangi seluruh keluarga besar kami
Hingga suatu ketika, Priya jatuh saat mencoba menaiki pohon mangga di halaman rumah. Bang Genta cemas luar biasa, khawatir ia mengalami patah tulang. Awalnya tidak terlihat gejala aneh pada Priya, tetapi seminggu kemudian ia sulit menggerakan tangannya. Ia pun segera dibawa ke rumah sakit tempat Bang Genta bekerja. Dokter menyatakan ada tumor di otak Priya dan ia dinyatakan terkena DIPG (Diffuse Instrinsic Pontine Glioma).
Tak tahu dari mana datangnya gejolak itu, ada sebuah rasa yang membuncah seakan merobek dinding hatiku. Sangat sakit. Untuk pertama kalinya, kupeluk Priya. Aku seakan-akan tak ikhlas dengan pernyataan dokter tentang penderia DIPG yang memiliki harapan hidup rendah.
“Maafkan Mama Nak ….” Kupeluk dan kukecup berulang sosok gadis kecil itu.
“Mah … kok nangis? Priya nakal ya?”
“Tidak, Nak. Mama yang nakal.”
Bang Genta tentu merasakan gejolak yang sama, hanya ia lebih tegar.
“Ma … Priya sayang Mama.”
“Iya Nak ….” Kurengkuh tubuhnya, seakan tak rela untuk melepasnya.
*
Setelah beberapa kali terapi, kondisi Priya sempat membaik. Tubuh mungilnya sangat kuat. Ia telah melalui empat tahap terapi radiasi, padahal sebagian besar anak-anak gagal melewati dua atau tiga tahap.
Meskipun demikian kami sadar, melakukan terapi radiasi putaran kelima seperti menambahkan garam ke laut karena tumor otak Priya tak berhenti tumbuh.
Aku mencoba berprasangka baik atas ketentuan Sang Pemilik Jiwa. Penyakit kerap membawa hikmah dibanding hanya sekedar rasa sakit dari yang diderita.
Aku pun berharap akan ada sebuah keajaiban. Aku … benar-benar mulai mencintai Priya. Semoga Tuhan mau memberiku kesempatan lebih lama bersamanya. Waktuku total akan kuberikan untuknya.
Aku merasa pedih dan sangat sakit saat menyaksikan putri kecil yang mulai kusayang terus berperang melawan penyakitnya. Tumor itu makin agresif dan membuat Priya mengalami kelumpuhan dan kebutaan.
“Mama … jangan sedih ya. Aku masih bisa melihat Mama kok!” ucapnya sembari meraba-raba mengusap aliran sungai kecil dari sudut netraku.
“Ya Allah, Nak.”
*
Doa yang tak putus di sepanjang malam. Sebuah asa membuncah dengan harap menjulang angkasa, meminta sebuah kehidupan.
Namun ternyata ….
Rencana Tuhan lebih hebat. Di luar dugaan, ginjalku mengalami masalah. Dari diagnosis dokter, aku mengalami gagal ginjal dan membutuhkan donor.
Kuikhlas, semoga rasa sakit ini menjadi penawar dosaku.
Awalnya, Priya tak mengetahui akan sakit yang kuderita, hingga ia mendengar dari neneknya tentang sakitku.
Suatu hari, Priya berkata padaku, “Ma, aku ingin Mama hidup!”
Aku memeluk dan mengecup Priya berulang kali seraya memandang mata indahnya. Bang Genta pun merengkuh tubuh kami dalam kehangatan tubuhnya. Memastikan semua akan baik-baik saja.
“Kalian tim yang kompak. Insya Allah … semua masa sulit, bisa kita lalui.”
*
Kondisiku semakin parah. Tim dokter mencoba meyakinkan bahwa aku benar-benar membutuhkan ginjal Priya.
“Mas, tidak mau. Aku tak rela!” tegasku.
Aku tahu, Bang Genta berada di posisi yang rumit sebab aku dan Priya adalah orang yang sangat ia sayangi.
“Bang, tolong selamatkan anak kita. Aku yakin, dirimu dan tim masih memiliki cara. Aku tak mau, dan tak akan rela mengambil bagian dari tubuh Priya. Dengar Bang! Aku mau dia hidup ….”
Jemariku demikian keras meremas pakaiannya. Jatuh butiran hangat dari sudut mata. Berharap karma bisa berubah.
“Sayang, dengar … aku yang terlebih dahulu mencintainya, Ayah mana yang rela ginjal anaknya diambil … tapi ini pilihan terbaik yang bisa diambil. Priya ingin, jika ia tak ada ….”
Seakan tersekat, Bang Genta terdiam sesaat kemudian menguatkan lisannya berucap, “Priya ingin, ada bagian dari dirinya yang melekat padamu.”
“Ya Allah, Bang ….”
*
“Ayah, Mama … semalam aku bermimpi. Aku dijemput om ganteng dengan pakaian yang serba putih. Om itu mengajak ke sebuah istana, bagussss deh, Yah ….” Kurasakan suhu tubuhnya menurun meski senyum tetap merekah di wajahnya. Tak taukah ia, senyum itu laksana ribuan belati yang menikam dadaku.
Bang Genta mencoba menguatkancaku yang sudah mulai parau dan menangis tak henti.
“Mama sayang Priya, baik-baik ya Nak di sana. Tunggu Ayah dan Mama ya.”
Priya mengangguk, kedua tangannya diangkat ke atas, ingin sekali digendong sang ayah untuk yang terakhir kalinya.
“Priya mau tidur di gendongan Ayah ya ….”
Bang Genta mengangkat perlahan tubuh ringkih putri yang sangat ia sayangi hingga terkulai lemas tanpa daya.
“Innalilahi wa inna ilaihi rojiuun.” Terdengar suara parau Bang Genta. Genangan air di bola matanya tak dapat lagi dibendung. Belahan hatinya meninggal dalam pelukannya.
“Priyaaaa ….” Tangisku pecah tak tertahan.
Kupeluk dan kecup berulang dirinya yang tak lagi memberi respon. Sebuah bisikan penuh cinta menyusuri saluran pendegarannya. Aku tahu … ia masih mendengarku. Namun, ia sudah tak bisa memberi jawaban.
“Sayang, maafkan Mama. Terima kasih telah mengisi kehidupan Mama dan Ayah. Tunggu kami ya, Nak.”
Gadis kecilku, begitu lelap dalam tidur panjangnya.
Tabir cintanya telah terbuka.
Menjelang senja, operasi untuk mengambil organ ginjal dilakukan. Dokter telah mengabulkan keinginan Priya menyumbangkan ginjalnya padaku.
*
Perlahan, terlihat secercah cahaya. Operasi transpalasi ginjal berhasil.
Tak banyak yang dapat kukatakan sepeninggal gadis kecilku.
Kini satu-satunya yang ada hanyalah kenangan serta ginjalnya.
Sesak ….
Sangat menyakitkan.
Sebuah kado kehidupan yang ditukar dengan kepergiannya. (*)
Nurwati Urumachy. Pertengahan tahun 2018, Ia mulai mencetuskan diri sebagai embrio dalam rahim literasi, berharap kelak akan lahir menjadi penulis yang mampu memberikan kebaikan melaui aksara.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata