Maaf, Aku Mencintai Suamimu
Oleh: Fuka Hana
Kalian tahu apa yang konyol dari hidup ini?
Sesuatu yang kita anggap penting, justru menjadi paling tabu untuk kita miliki.
***
Sama seperti remaja pada umumnya. Aku memiliki banyak mimpi, cita-cita, dan beberapa hal seperti khas para gadis lainnya. Namun tidak dengan yang satu ini.
Cinta. Ya, berbeda dari remaja lain yang menggebu-gebu dan sekali dirayu akan dengan mudah jatuh ke pelukan orang yang diidamkannya.
Aku tidak. Barangkali aku memang tak sama, atau ada yang bermasalah dengan diriku. Di saat yang lain asyik bersenda ria membicarakan pacar baru yang berhasil mereka gebet, atau berapa banyak mantan yang mereka hempaskan, Aku malah terduduk diam di pojokan. Menatap mereka, atau mereka yang memandangku dengan tatapan aneh. Seolah aku makhluk yang salah tempat dan berbeda jenis dengan yang lain. Entahlah ….
***
Bukan aku tak percaya yang namanya cinta, atau munafik menampiknya. Tidak. Tidak seperti itu. Aku percaya, cinta itu ada. Itu terlihat dalam bola mata ayahku tiap kali beliau memandang ibuku, juga sorot syahdu kedua orangtuaku saat melihatku. Bagiku, itulah cinta. Cinta yang sesungguhnya. Cinta abadi dan tak mungkin terganti.
Namun, sayang … takdir sedang ingin bermain-main denganku. Ia seolah-olah ingin mematahkan persepsiku tentang cinta, atau mungkin ingin menambahkan lagi daftar cinta dalam kamusku.
Bahwa cinta bisa datang kapan saja, pada siapa saja.
Cuma, aku tak menyadari bahwa cinta itu akan melekat sedemikian kuat dalam hati. Menusukku berulangkali. Lalu dengan kejam menghempasku, seolah aku sampah tak berarti.
———————-
Dear.
Aku tak mengenalnya, lalu jatuh cinta dengan begitu mudah. Meski usiaku terbilang belia, akan tetapi pikiranku boleh dikatakan maju selangkah dibanding remaja lainnya.
Usiaku 17 tahun saat itu. Tetapi aku tahu apa yang kubutuhkan dalam hidup ini. Bukan melulu soal materi. Namun kehidupan lain yang lebih kekal, menanti bekalku menemuinya.
Aku terbiasa dengan kegiatan rohani dan semacamnya. Baik yang diadakan sekolah, atau di desaku. Ayahku memang salah satu tokoh agama di sana. Tetapi, itu belum cukup untuk membuat siapa saja terbiasa melakukan aktivitas keagamaan tanpa diiringi hidayah.
Bukannya aku menyombongkan diri. Aku tak lagi merasa berat atau lelah saat harus duduk berjam-jam mendengarkan ceramah agama atau wirid bersama.
Dan satu hari dalam hidupku, ketika aku menghadiri majelis ilmu, hatiku dan segala prinsipku tentang cinta, porak poranda seketika.
————————
Kamu pasti pernah dengar, witing tresno jalaran soko kulino? Asal mula cinta karena kebiasaan?
Itu tak berlaku untukku. Aku bertekuk lutut, menyerah, hanya dengan sekali pandang. Aneh? Iya. Sudah kubilang ‘kan, kalau aku ini makhluk yang salah tempat, menetap di bumi ini?
Jika wanita lain tertarik oleh ketampanan, sopan santun ataupun harta melimpah seorang pria, Aku tidak. Cukup menatap dari kejauhan, sosok lelaki yang duduk paling belakang di majelis ilmu pimpinan ayahku, melihat rambut lurus di belakang kepalanya yang tertunduk, mengangguk dalam tiap kali Ayah berbicara, membuat hatiku tergelitik akan sosoknya.
Ini bukan pertama kali aku menyaksikan lelaki muda bergabung di majelis Ayah, akan tetapi ini pertama kalinya aku tertarik secara khusus pada seorang pria. Dan saat pengajian itu bubar, aku berdiri tegak di samping masjid sambil menunggu Ayah untuk pulang bersama, sekaligus menuntaskan rasa penasaranku akan sosoknya.
Lelaki berwajah biasa, dengan kacamata bertengger di pangkal hidungnya. Dengan perawakan kurus dan tinggi yang tak terlalu menonjol dari jamaah lainnya. Seulas senyum tipis ia sematkan tiap kali ada ikhwan yang menyapa. Wajah tirus nan berbinar cerah, melembut ramah pada setiap orang yang menyalaminya.
Tapi, bukan itu. Pandanganku justru tertuju pada titik kecil di sudut matanya. Bekas air mata. Entah mengapa, dadaku serasa dihantam palu. Dan dari sana juga, ribuan kupu-kupu mengepakkan sayapnya untuk terbang. Rasanya tidak ada orang lain di sana kala itu. Hanya ada aku dan lelaki misterius yang membuat jantungku berdetak dengan kecepatan tak semestinya.
Aku terpaku di tempatku. Hingga tepukan ayahkulah yang mampu mengembalikanku ke dunia nyata.
“Kamu lagi liatin apa sih?”
Aku menoleh. Ayah tersenyum penasaran padaku.
“Eh, bukan apa-apa kok, Yah,” jawabku gugup. Lalu mencuri pandang ke arah lelaki perebut duniaku tadi.
Ayah menatap ke arah pandanganku. “Ooh, dia Bryan. Ikhwan yang baru bergabung tadi. Nama mualafnya, Kamil. Kamilul Himam,” Ayah menjawab rasa penasaranku.
Aku menoleh cepat pada Ayah. “Maksud Ayah?”
“Iya, dia bergabung dan memutuskan masuk Islam tadi, sebelum Majelis dimulai. Alhamdulillah, Allah berkenan memberikannya hidayah. Meski hidup di lingkungan nonmuslim, tapi hidayah itu menyusup ke dalam hatinya. Lihat, betapa sebenarnya Allah menyayangi hamba-Nya,” jelas Ayah.
Aku mengangguk-angguk. Seperti paham saja. Padahal seluruh indraku terfokus pada sosok di sana dengan kemeja biru langit dan celana jeans biru gelapnya. Jika Ayah menyuruhku mengulang sekali lagi perkataannya, mungkin beliau akan tahu, aku tak bisa mendengar seluruh penjelasannya.
Kamilul Himam. Sempurnanya cita-cita. Kamil, ia sempurna di mataku. Melengkapi semua angan dan pandanganku tentang cinta.
Ia berjalan ke arah kami. Membuatku bernapas cepat. Ingin pergi dari tempat itu, tapi justru pijakanku terpaku. Ia tersenyum pada Ayah dan menatapku dengan sorot ingin tahu.
“Assalamualaikum, Taz,” salamnya. Ayah menjawab salamnya. Sementara aku hanya berdiri tegak seperti orang bodoh.
“Terima kasih untuk semuanya, Ustaz mau membimbing saya menuju hidayah Allah yang sesungguhnya. Kiranya Ustaz mau melanjutkan bimbingan itu hingga saya lebih mengenal agama ini beserta seluk beluknya,” ucapnya lugas.
Aku terpaku, pada suara serak lembut yang mengalir jernih. Dan pada manik cokelat yang memancarkan keanggunan sejati.
“Alhamdulillah. Tentu saja, Nak Kamil. Saya dengan senang hati akan membantu semampu saya untuk Nak Kamil. Pertahankan dan bertahanlah dengan hidayah ini. Insya Allah, Allah akan menolongmu. Rumah saya terbuka lebar untukmu,” jawab Ayah tersenyum tulus.
Kamil mengangguk-angguk. Ia ganti menatapku. “Putri Ustazkah?” tanyanya.
Ayah mengangguk. “Dia Rumaisha. Satu-satunya permata dalam hidup kami.” Ayah tersenyum setengah merangkul bahuku. Aku tersenyum ragu.
Kamil mengerutkan kening sebentar lalu membalas senyumku. Hanya itu. Tidak lebih. Tak ada perkenalan istimewa di antara kami. Namun cukup untuk membuat hatiku melambung tinggi.
—————————-
Dear.
Aku tahu cinta tak semestinya hadir. Hanya dalam sekali tatap lalu jatuh hati. Namun apa yang bisa kukatakan pada dunia? Jika kali ini, bukan gravitasi yang menahanku berpijak. Tapi dia, di ujung sana. Yang mematung menunggu, meski kutahu, bukan aku yang ia tunggu.
***
Hari-hari berikutnya, pertemuan kami semakin intens terjadi, meski sebenarnya, Kamil-lah yang sering berkunjung ke rumahku. Untuk belajar agama; mengaji, mempelajari hukum-hukum islam serta hal lainnya.
Aku melihat keteguhan di matanya. Meski terbata-bata, lantang suaranya dalam membaca ayat-ayat Allah. Tak terbesit sedikit pun keraguan dalam pancaran wajahnya kala Ayah menjelaskan syariat Islam. Justru semakin menggelora keyakinan itu dari sorot matanya.
Kalian pasti heran, bagaimana bisa aku menangkap semua kesimpulan itu? Jawabannya sederhana. Aku beberapa kali mengintipnya saat menghidangkan minuman dan makanan kecil untuknya. Meski sekilas, aku percaya pada penilaianku bahwa ia tak main-main pada agama barunya.
Sering kali tatapan kami bertemu, dan itu sukses membungkam semua nyaliku. Aku segera undur diri, masuk kamar, lalu membenamkan wajahku di bawah bantal. Berusaha menghilangkan semuanya. Walau kutahu, itu sia-sia.
Ia selalu datang di malam hari, karena bekerja di pagi hingga sore. Dan aku sedikit bersyukur akan hal itu. Setidaknya aku tak melewatkan waktu untuk menghidangkan sesuatu di depannya. Karena seperti yang kalian ketahui, aku harus sekolah di siang hari.
Setiap kedatangannya ke rumah kami, aku merasa dilimpahi berkah berlebih. Setiap saat, setiap sujud doaku, tak luput namanya tersebut. Bahwa aku menginginkan dia, lebih dari menginginkan udara untukku bernapas. Berlebihan? Kurasa tidak. Karena kalian tidak tahu, apa yang kualami dan rasakan.
Kamil mulai bercerita, lebih tepatnya meminta solusi kepada ayahku di kunjungannya yang kesekian, tentang orangtua yang menentang, serta saudara yang mengucilkannya. Minggu demi minggu berlalu, tidaklah mengubah apa pun pandangan keluarganya terhadap agama barunya. Namun Kamil memilih teguh mempertahankan.
Ayahku tak memberi banyak solusi. Beliau hanya meminta Kamil untuk lebih bersabar dan terus bersabar. Rasulullah 13 tahun mendakwahkan agamanya di Makkah, tempat kelahirannya. Namun apa yang Baginda peroleh? Hanya hinaan, permusuhan dan rencana pembunuhan. Akan tetapi, Baginda memilih tak melawan.
Aku bahagia, mendengar suara serak itu mengucap haru. Bahwa ia akan berusaha membuka lapang dadanya, dan meminta segenggam hidayah lagi untuk keluarganya.
***
Hari ini, Kamil datang lebih awal. Aku tidak sempat mengintip kedatangannya dari balik tirai karena aku harus belajar menghadapi UAS esok hari. Yang jelas, kudengar riang nada suaranya berbicara dengan Ayah. Tak sabar rasanya menunggu Ibu menyuruhku mengantar minuman ke depan.
Aku membawa nampan berisi 3 gelas dan setoples kue kering dengan hati berbunga. Tunggu dulu, 3 gelas? Apa mungkin ada orang lain di sana?
Aku mendapat jawabannya tatkala menghidangkannya di meja ruang tamu. Di sebelah Kamil, duduk seorang wanita anggun nan cantik dengan jilbab separuh menutupi rambutnya. Senyum manis tersungging di bibirnya, dan binar bahagia terlontar dari sorot pandangan Kamil. Begitu pula Ayah. Keceriaan tengah meliputi mereka. Hanya aku yang terdiam terpaku. Hati kecilku berkata, ada yang salah.
“Perkenalkan, Rumaisha. Ini Indah, istriku,” Kamil berkata dengan wajah semringah. “Alhamdulillah, dia berkenan mengikutiku untuk memeluk agama ini,” Kamil meneruskan.
Aku mengangguk kaku. Lalu membeku.
————————
Dear.
Kepahitan hidup yang kau rasakan, tak sebanding dengan kebahagiaan yang kau miliki. Kau terlalu memandang sisi buruknya tanpa menangkap anugerah di dalamnya.
***
Pernahkah kukatakan pada kalian bahwa Ayah mengatakan akulah permata satu-satunya dalam hidupnya?
Itu benar. Namun tak sesederhana makna kiasannya. Aku “benar-benar” permata dalam hidup orangtuaku. Permata yang mahal, yang harus ditebus dengan segenap harta, jerih payah, hingga air mata.
Aku tahu, Ayah dan Ibu tak pernah mengeluh untuk itu. Akan tetapi, satu waktu, ingin rasanya aku berhenti. Berhenti mencemaskan dan membuat mereka khawatir.
Kalian tidak tahu rasanya menjadi seseorang yang setiap menit dalam hidupnya sangatlah berharga. Karena malaikat maut senantiasa membayangi setiap langkahnya. Siap mencabut kapan pun jua. Dan kali ini, aku memilih menyerah.
Kutatap bola mata kedua orangtuaku yang basah karena isak tangis. Dengan tangan gemetar, susah payah aku mengusap pipi mereka. Ayah menangkap tanganku.
“Bertahanlah untuk kami, Nak.”
Aku menggeleng. Hampir aku tak bisa merasakan tubuhku sendiri. Tumor hati ini semakin hari semakin mengganas. Menggerogoti dan menghisap nyawaku secara perlahan. Aku mengembus napas.
“Bertahanlah untuk Kamil,” ucapan Ayah sontak membuatku terpana. Bagaimana bisa?
“Kamu bisa menyimpan apa pun pada siapa pun. Tapi tidak pada kami. Kami orangtuamu. Kami lebih mengerti yang kau rasakan tanpa kamu mengutarakannya.”
Aku menghela napas lagi.
“Ayah akan memintanya menikahimu. Indah wanita yang baik. Dia akan mengerti. Lagi pula dia sudah menganggap kamu sebagai adik sendiri.”
Tatapanku menerawang. Teringat beberapa perbincangan kami. Semenjak masuk Islam, Indah lebih dekat dengan keluargaku bahkan dari suaminya sendiri. Ia akan duduk bersamaku, bercerita banyak hal dan membantuku belajar. Ia sangat sabar dan murah senyum.
Lagi-lagi aku menggeleng. “Justru itu, Ayah. Aku tak ingin membuat keyakinannya goyah karena poligami. Syariat itu sangat berat. Bahkan oleh wanita yang terlahir muslimah sekalipun.” Aku tersenyum pada Ayah dan Ibu.
“Kewajiban kita seharusnya menjaga iman saudari kita, bukan malah menggoyahkannya. Aku tahu, Ayah dan Ibu sangat menyayangiku.”
Tangan kurusku menggenggam jemari Ayah. 10 tahun berjuang melawan tumor ini, kurasa sudah saatnya Allah memanggilku kembali.
***
Ummu Sulaim atau Rumaisha radhiallahu anha, adalah salah satu sahabat wanita idolaku. Gigih pendiriannya hingga membuatnya memilih mempertahankan agama daripada suaminya sendiri. Cobaan apa yang lebih berat bagi seorang istri saat suaminya menentang kepercayaannya hingga mengancam akan meninggalkannya?
Rumaisha adalah contoh, satu dari sekian contoh sahabat Nabi yang bertahan atas siksaan suaminya sendiri. Memilih berpisah daripada melepas agama. Hingga Allah hadirkan bahagia. Allah hadirkan hidayah dalam hati seorang Abu Thalhah.
Ungkapan cinta dari lelaki itu hanya beliau balas dengan ucapan, “Aku menginginkan keislamanmu sebagai maharku.”
Betapa mulianya. Namun, aku bukan Ummu Sulaim. Aku Rumaisha. Yang bisa saja merenggut hidayah itu dari tangan saudariku sendiri. Dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi meski udara untukku bernapas sebagai imbalannya.
Aku sudah selesai.
—————–
Indah memeluk diary itu dengan air mata berderai. Kamil mendekap tubuh istrinya dari samping, menguatkan. Mereka merasakan kepedihan yang sama. Menatap nanar pada gundukan tanah merah bertabur bunga.
Indah tertegun. Diingatnya kalimat terakhir yang dikatakan Rumaisha padanya.
“Aku ingin Kakak menyimpan buku ini baik-baik. Jangan berprasangka yang bukan-bukan. Aku hanya ingin Kakak tahu, kecintaanku pada hidayah Allah jauh lebih besar dari apa pun.”
Indah menggeleng. Gadis seagung dan sesuci Rumaisha tak pantas mendapatkan kematian secepat ini. Ia yang lebih berhak. Jika saja Allah memberi kesempatan, ia rela menukar nyawanya demi gadis itu. Gadis baik hati yang berhati mulia.
“Kak, tulisan ini bukan bermaksud menyakitimu. Aku hanya ingin menyampaikan padamu, aku minta maaf atas semuanya. Aku minta maaf telah menyakitimu sesama wanita. Aku minta maaf, telah mencintai suamimu. Dan aku memilih melepaskan semuanya. Satu permintaanku, jaga dengan sekuat tenaga hidayah yang telah kau dapatkan. Hidayah yang kau perjuangkan, kita perjuangkan, dengan segenap air mata.”
—————–
Dear.
Apa yang lebih membahagiakan dari ini?
Di saat kau menginginkan sesuatu. Namun kau melepaskannya demi sesuatu lain yang lebih berharga. Bukankah itu istimewa? (*)
Fuka Hana, adalah nama penaku. Aku hanya seorang wanita yang suka baca dan menghayal.
FB: Fuka Hana
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita