Ma

Ma

Ma
Oleh: Khansa Malihah

“Jangan bawa pergi anakku! Jangan bawa pergi!”

“Sekaaar … Sekaaar ….”

Jeritan itu kembali menggema, tangis kehilangan semakin terdengar kencang. Sekilas aku melihat wajah wanita yang memanggil-manggil namaku. Jelas, semakin jelas, wajah itu tampak kuyu, rambut kusutnya diikat asal, lingkaran hitam terlihat jelas di mata sayunya.

Dia mengulurkan tangan ke arahku, senyum sendu tergambar dari bibir pucatnya. Gemetar aku mencoba menggapai tangan wanita itu.

Sedikit lagi aku bisa menggapainya, kami nyaris saling menggenggam, tapi tiba-tiba bayang hitam menyeret tubuh wanita itu. Jeritan kembali terdengar, aku berlari kencang mencoba menggapai tangannya, tapi sayangnya tak bisa, wanita itu lenyap ditelan gelap bersama dengan boneka kesayanganku.

“Ma … Ma ….”

***

Aroma busuk sampah menyambutku, sesaat setelah aku turun dari mobil. Beberapa bocah tampak berkerumun di depanku dengan pandangan mata takjub, tampaknya mereka mengagumi mobil yang baru saja kuparkir di bawah pohon beringin.

Bocah-bocah kecil itu tampak saling berbisik, lalu saling menunjuk penuh semangat ke arah Honda Brio putih yang terparkir manis di antara tumpukan sampah berbau busuk. Sebagian dari mereka bahkan ada yang memberanikan diri menyentuh mobilku.

Sekilas aku memperhatikan mereka, wajah-wajah polos itu terlihat begitu kumal, kulit mereka menghitam, mungkin karena terlalu sering berjemur di bawah terik matahari. Rambut mereka bahkan kecokelatan, tak ada pita manis yang menghiasi rambut bocah-bocah perempuan, tak ada sepatu keren yang dikenakan bocah laki-laki.

“Kalian mau cokelat?”

Aku mengambil sebungkus bola-bola cokelat dari dalam tas. Iya, aku selalu membawa cokelat ke mana pun pergi, itu salah satu jajanan favoritku.

Mereka mengangguk bersamaan, lalu salah satu di antara bocah itu berlari mendekatiku. Dia tersenyum malu-malu sambil menggaruk-garuk rambut kusutnya.

“Untuk kami?” ucapnya sambil menunjuk sebungkus cokelat di tanganku.

“Iya, tapi ada syaratnya.”

Bocah itu menautkan kedua alis, lalu mengangguk tanda setuju.

“Kamu kenal wanita ini, kan?”

Aku menunjukkan foto wanita berparas rupawan ke arahnya. Bocah kecil itu tampak mengamati wajah wanita tersebut, sesekali dia mengeryitkan dahi, lalu menggaruk-garuk kepala.

Ndak, aku ndak kenal.”

Anak kecil dengan gelang karet di pergelangan tangannya itu menggeleng cepat. Ah, sial! Tak mungkin warga di sekitar sini tidak mengenalnya. Alamat ini sesuai dengan yang diberikan oleh almarhum Papa.

“Kalau ini? Ini juga? Dan ini? Coba tolong lihatlah!”

Aku mengeluarkan berlembar-lembar foto dari dalam tas, tapi nihil! Bocah itu sepertinya enggan memberi tahu, sama seperti beberapa warga kampung yang tadi aku hampiri. Mereka menggeleng dengan cepat, lalu membuang muka, enggan menatap foto wanita itu kembali, seolah-olah wanita dalam foto itu adalah sosok yang menyeramkan.

Ndak, kami ndak mengenalnya! Ndak!”

Anak kecil itu menepis tanganku, membuat sebagian dari foto-foto itu berhamburan ke tanah. Dia bahkan berlari kencang, diikuti bocah-bocah lainnya sambil menjerit ketakutan menyebut satu nama yang membuat dada ini sesak.

“Mama di mana? Ma ….”

Aku berlutut, dada ini menjadi semakin sesak, tak sanggup lagi menahan tangis. Perih, rasa rindu dan bersalah ini sungguh menyiksaku.

Andai aku mengingat Mama lebih cepat mungkin tak akan seperti ini? Andai Papa mengungkapkan kebenaran itu sejak lama, mungkin sekarang aku sudah mendekap tubuh wanita yang melahirkanku.

“Kamu mencari wanita di foto ini?”

Sebuah tepukan di bahu mengejutkanku, dengan cepat aku menghapus air mata, lalu menatap gadis remaja yang tampak memperhatikan foto Mama.

“Apa ini bonekamu?”

Gadis dengan rambut yang diikat asal itu tampak menunjuk boneka usang yang dipeluk oleh Mama.

Aku mengangguk, lalu gadis itu tersenyum manis.

“Kamu anak yang dia tunggu. Ikutlah, aku akan mengantarmu.”

Bocah perempuan itu menarik tanganku, dia memaksaku bangkit, lalu menuntunku melewati jalanan sempit yang kanan dan kirinya berbaris rumah berdinding bambu.

“Kenapa kamu baru mencarinya? Apa kamu ndak melihatnya dalam mimpi-mimpimu?”

Langkah kecil itu tiba-tiba berhenti, dia menoleh ke arahku, menatapku lekat, lalu tersenyum manis.

“Aku tau dia datang dalam mimpimu. Kata Ayah, panggilan wanita itu akan sampai kepadamu lewat mimpi. Sama seperti ibuku, aku tau Ibu memanggil dan menyebut namaku dari sana, makanya aku pun sering bermimpi tentangnya.”

Gadis itu menunjuk langit, lantas kembali memindai wajahku. Entahlah, gadis ini tampaknya tahu banyak hal tentang Mama, dia pun bertingkah lebih dewasa dari umurnya.

“Kamu tau? Kata Ayah, wanita itu ndak dikutuk Tuhan. Mereka salah, mereka yang jahat membakar rumah wanita itu, lalu mengusirnya. Sekarang dia tinggal bersamaku juga bersama Ayah, jauh dari sini. Rumah kami dekat dengan makam-makam. Mereka ndak mau berdekatan dengan kami, katanya takut terkena malapetaka. Padahal kamu tau?”

Gadis berkulit sawo matang itu menghela napas panjang.

“Ibuku ke surga karena Tuhan sayang kepadanya. Bukan karena malapetaka dari ibumu seperti yang mereka bilang. Kamu ndak usah bingung, aku memang pandai, otak ibuku ada di kepalaku. Itu kenapa aku tahu apa itu malapetaka, aku juga tahu ibumu orang baik sama seperti ibuku,” lanjutnya kembali seolah-olah paham dengan apa yang ada di pikiranku.

Gadis yang kutebak berusia dua belas tahunan itu kembali menarik tanganku, kali ini tanpa mengeluarkan satu patah kata pun, dia terus saja berjalan.

“Masuklah.”

Bocah perempuan bermata kecokelatan itu berhenti tepat di depan rumah yang letaknya jauh di ujung kampung. Dia benar, rumah ini dekat dengan area pemakaman.

Gadis itu kembali menarik tanganku, membawaku ke dalam rumah berlantai tanah dan beraroma kayu lapuk.

Deg!

Jantungku seketika berdetak lebih kencang, dada pun kembali sesak. Saat pandanganku jatuh pada tubuh wanita ringkih yang meringkuk di ranjang reyot sambil menggendong boneka usang.

“Se-kar … Se-kar ….”

Wanita berambut kusut itu semakin erat memeluk boneka itu, sesekali kulihat bulir bening menetes dari matanya saat memanggil-manggil namaku.

“Kamu dengar, kan? Dia memanggilmu.”

Tangisku seketika pecah, tak sanggup memandang wanita kurus yang dua puluh empat tahun lalu melahirkanku.

Papa dan wanita itu pernah melakukan dosa besar hingga tumbuhlah aku dalam rahim wanita yang harusnya kupanggil mama.

Mama diusir dari kampung, rumahnya bahkan dibakar oleh warga karena dianggap membawa malapetaka.

Tak ada Papa di sampingnya, Papa lari dari tanggung jawab. Mama sendiri terlunta-lunta, melahirkanku dan merawatku hingga berusia empat tahun.

“Papah mengambil paksa kamu dari ibumu! Papah berdosa padanya, memisahkannya darimu, anak kandungnya.”

Ucapan Papa kembali terngiang. Tepat sepuluh hari yang lalu, sebelum Papa meninggal, beliau mengungkap segalanya, termasuk tempat di mana Papa meninggalkan Mama dengan segala kerinduannya kepadaku.

“Kemarilah.”

Gadis itu menarik tanganku, membawaku ke ranjang, tempat di mana Mama meringkuk ketakutan.

“Panggilah, kata Ayah, dia sangat merindukanmu.”

Tangisku seketika pecah, tubuhku jatuh di lantai tanah. Tak sanggup rasanya bibir ini berkata-kata.

“Ma … Ma ….”

Sama seperti dua puluh tahun yang lalu, kata itu keluar dari bibirku.

“Maafkan aku, Mah. Sekar baru mengingat Mamah.”

Mama memandangku ketakutan, dia mengeratkan pelukan pada boneka usang itu. Tubuhnya tampak gemetar, tangisnya pun semakin deras.

“Jangan! Jangan ambil anakku! Jangan!” (*)

 

Khansa Malihah, manis, suka nulis. Baginya menulis adalah salah satu cara untuk mengembalikan kewarasan. Ingin kenal lebih dekat bisa follow FB Khansa Malihah.

Editor : Lily

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply