MANTAN
Penulis: Syifa Aimbine
Hatiku sakit lagi. Kecemburuan membuat napasku memburu. Aku melempar asal telepon pintar berlogo apel tergigit itu. Mengutuk rasa kepo yang akhirnya menyakitiku. Seharusnya tidak kubuka story chat -nya. Lagi-lagi Lisa – wanita dari masa laluku itu memajang foto keluarga. Satu-satunya yang tidak pernah kubuat bersama istri dan anakku. Enggan saja, tidak menceraikannya sudah cukup baik yang kulakukan padanya. Ancaman membawa putri kami pergi menjadi senjatanya.
Lisa, dulu pernah aku meremehkannya. Wanita itu sangat biasa. Banyak yang lebih cantik pastinya, termasuk salah satunya. Namun, kuakui kenyamanan yang kudapat ketika bersamanya tidak kutemukan pada wanita lain. Ia cantik dan seksi sesuai porsinya, tidak lebih dan tidak pula kurang. Sebenarnya aku juga pernah melamarnya, tapi ia kembali menolak. Kisah percintaan kami cukup rumit saat itu, sehingga aku memilih menyerah dan meninggalkannya.
Kami masih saling berkomunikasi dengan dalih pertemanan. Namun, tetap saja aku tidak bisa membohongi nuraniku yang masih mengharapkannya. Ia bahkan menjadi orang pertama yang tahu tentang rencanaku melamar Suci, istriku. Entahlah, aku hanya ingin membuat cemburu. Meski ternyata tidak sesuai harapanku.
Aku batalin aja ya ngelamar Suci. Aku maunya sama kamu Sa, ujarku akhirnya. Tidak sanggup menutupi perasaanku lagi.
Pernikahan bukan permainan, Gas. Kasihan Suci kalau hanya kamu jadikan pelarian, ”balasnya tegas.
Setelah itu aku berhenti menghubunginya, hingga sampai hari pernikahanku. Ia bahkan menolak datang ketika kuundang. Lisa beralasan jika ia sedang ke luar kota. Padahal aku tahu, ia hanya ingin menjaga perasaan Suci.
Setelahnya aku tidak perduli, masa-masa bulan madu kunikmati tanpa ratingnya. Hingga beberapa tahun kemudian, aku menerima undangan pernikahannya. Kuremas undangan berwarna ungu itu, aku masih cemburu. Sulit menerima pria lain yang memiliki.
Aku bahkan datang ke acara pernikahannya, ingin melihat seperti apa pilihan Lisa. Cih! Ternyata tidak ada apa-apanya, aku masih menang banyak. Pria itu, sangat biasa, mana bisa menandingi aku. Kukira seleranya tinggi, ternyata aku jauh lebih baik. Apalagi dengan label CEO dari perusahaan yang kubangun atas usahaku sendiri sejak awal. Mana bisa bergaji bulanan menandinginya. Namun, senyum di wajahnya tidak pernah lepas. Hatiku panas, seharusnya aku yang berada di sampingnya. Ah, seharusnya aku memang tidak hadir saat itu.
Sudah sering aku mengamatinya dari jauh. Dari mengikuti perkembangan sosial medianya kudapatkan info tentang hidupnya. Bagaimana ia dengan bodoh meninggalkan pekerjaannya, menjadi ibu rumah tangga, dan membesarkan kedua anaknya tanpa asisten. Sudah kubilang, pria itu takkan mampu membahagiakannya. Dari foto terakhirnya, kulihat wajah lelah itu. Ah, bodoh! Coba kau menikah denganku, hidupmu pasti lebih bahagia, Lisa.
Sudahlah, kenapa juga aku masih mengingatnya. Dengan kesuksesanku saat ini, seribu wanita cantik bisa dengan mudah kudapatkan. Suci? Biarkan saja dia menikmati apa yang kuberi. Toh, aku tidak peduli lagi padanya. Pernikahan kami hanya di atas kertas. Aku bahkan sudah lama tidak menyentuhnya. Sifat kekanak-kanakannya membuatku muak. Kecantikannya pun kini sudah pudar. Seharusnya dengan bulanan yang kuberikan ia gunakan untuk merawat diri. Ia juga tidak pernah mempedulikanku, jadi lengkap sudah. Kami sama-sama muak dengan sandiwara pernikahan ini.
***
Aku sakit, sudah dua hari aku terbaring di rumah sakit. Kata dokter, lambungku kembali bermasalah. Seperti biasa, jika sedang sakit atau ada masalah, malamnya aku pasti bermimpi bertemu Lisa.
Kulihat ia tengah duduk di bangku taman, memandangi danau yang airnya tenang. Seperti pada umunya mimpi, wajahnya tidak terlalu jelas, tapi aku tahu itu dia. Di dalam mimpi itu aku memandangnya. Ia tersenyum menatapku, lalu bergeser seakan memberi tempat untuk duduk. Aku berjalan mendekat dan duduk di sampingnya, ikut memandangi danau berair hijau. Mungkin akibat pantulan bayangan sekitarnya yang penuh pepohonan.
Lisa, aku sakit, aduku.
Lisa hanya mengangguk, seakan mengatakan ia tahu.
“Lisa, apa kau bahagia dengan pernikahanmu?” tanyaku lagi.
“Ya, aku bahagia.” Ia menoleh, lalu tersenyum padaku.
“Bohong, wajahmu itu terlihat semakin tua. Pria itu bahkan tak becus merawatmu. Sudahlah, akui saja, kau juga tidak bahagia,” ujarku sinis.
“Kau hanya bisa memperkirakan, aku yang menjalaninya,” balasnya telak.
“Baiklah, aku kalah. Aku tidak bisa melupakanmu. Seandainya ada kehidupan lain nanti, bolehkah aku memilikimu?”
“Jangan bodoh, Gas. Kau tahu itu tidak pernah ada. Kita hanya hidup sekali.”
“Kan aku bilang seandainya, setidaknya berikanlah aku sedikit harapan.”
“Seandainya waktu diulang pun, aku tetap tidak akan memilihmu, Gas. Sudahlah, berhenti menyesali semua.”
“Kau kejam, Lisa.”
“Justru aku perduli denganmu. Sudahlah, hidup hidup, dan cari kebahagiaanmu sendiri. Kau juga pantas bahagia, Gas. Meski tanpa aku.”
Lisa lalu berdiri, seperti ingin beranjak pergi. Aku mewujudkan cepat. Masih banyak hal yang ingin kuceritakan padanya.
“Kau mau ke mana? Setidaknya dalam mimpi ini, temani aku.”
“Jangan bodoh! Aku hanya serpihan memori yang enggan kau hapus. Aku tidak nyata, Gas.”
“Aku tidak peduli, setidaknya aku merasa nyaman melihatmu di sini.”
Lisa tersenyum dan kembali duduk di sampingku. Aku lega, aku menuruti permintaanku kali ini.
“Kau tahu apa kepanjangan mantan?” tanyanya.
“Emang ada kepanjangannya? Kukira itu hanya sebuah kata.”
“Mantan itu singkatan dari; Memori Absurb tapi Nyata Tentang Akhir yang Nelangsa. Jadi, tidak akan pernah kisah kita ini berakhir bahagia, Gas. Bahkan dalam mimpi sekalipun. Jadi, bangunlah. Hidup dan bahagia di alam nyata. Bukan merekayasa bahagia di alam khayalan. “
“Cih! Perempuan sama saja. Padahal ia senang ketika tidak ada yang dapat menggantikan dirinya.” Aku kesal, dalam mimpi pun ia sama kerasnya.
“Akhir bahagia hanya rasa penasaranmu saja, Gas. Belum tentu kau akan bahagia ketika berhasil mendapatkanku. Kadang-kadang sesuatu yang sulit didapatkan itu terasa menantang dan membuat penasaran. Meskipun semua ilusi ego. Sudahlah, tolong lepaskan aku dari sini. Hapus aku dari memorimu, Gas.” Lisa kembali berdiri, dan melepaskan tanganku.
“Tapi, kau mau ke mana?”
Ia tidak menjawab. Lisa hilang menuju danau, dan aku terbangun dari mimpiku.
Beberapa hari kemudian Lisa benar-benar pergi. Pria itu bilang, napasnya hilang saat fajar menyingsing. Hari yang sama ketika ia berbicara terlalu banyak dalam mimpiku. Mungkin inilah yang ia maksud, bahwa aku tetap tidak akan bahagia meski bisa bersatu dengannya. Lisa benar, kisah ini akan tetap berakhir nelangsa.
Depok, 9 November 2020
Syifa Aimbine, dalam Harry Potter suka dengan tokoh Luna Lovegood, unik, seperti aku.
Editor: Erlyna