Lupa (Bagian 1)

Lupa (Bagian 1)

Lupa (Bagian 1)
Oleh : Zalfa Jaudah Jahro

“Kenapa judes banget sih?”

Seorang gadis bernama Fecisheera Avegza Lioneveeca terbelalak kaget sambil menutup mulutnya dengan rapat, saat pertanyaan itu terlontarkan begitu saja.

“Tuh, Ra. Dengerin, senyum dong, jangan judes begitu,” balas temannya mengompori.

Pipi Sheera langsung mengeluarkan rona merah. “Apaan sih, orang gue biasa aja,” balas Sheera, menunjukkan sedikit lengkung garis bibir miliknya.

Sedikit mencuri pandang ke arah sosok lelaki yang berdiri di hadapannya, hanya terhalang oleh meja berukuran sedang. Sheera dapat melihat jelas bahwa lelaki tersebut seolah tidak berniat untuk mengalihkan pandangannya.

“Nih, Kak,” ujar Sheera sambil menyodorkan satu cup besar minuman Latte.

Lelaki itu langsung mengambil pesanan miliknya dengan diam, lalu membalikkan tubuhnya. Ia beranjak mendekati beberapa temannya yang sedang duduk pada salah satu meja yang berada paling dekat dengan tempat ia memesan minuman.

“Lain kali, kalo lo bikinin pesanan punya kakak kelas yang itu, lo harus senyum, jangan judes gitu,” sindir temannya tanpa mengalihkan pandangan dari telepon genggam miliknya.

Sheera mendengkus. “Lagian, dia gak sadar apa kalo kejudesannya melebihi gue.?”

“Dia gak judes kok, cuma cuek aja,” jawabnya mengelak. Sheera hanya menatap temannya tak acuh, kemudian duduk di samping temannya sambil sesekali memperhatikan lelaki yang sedang meminum pesanan yang baru saja ia buatkan.

Lelaki itu selalu memiliki pesona yang berbeda. Sorot matanya tampak berbinar jika menatap Sheera. Sejak awal pertemuan dengannya, seolah Sheera menemukan rumah. Hatinya terasa nyaman, meski tidak dapat dimungkiri jika ia masih terus merasakan gugup ketika bertemu.

Keringat Sheera akan terus terjatuh jika berhadapan dengannya. Terutama jika ia mendapati tatapan itu terus tertuju kepadanya. Namun, wajah jutek yang dimiliki olehnya seolah menjadi tameng. Sheera tidak dapat menjaga sikap, ia akan terdiam dan menunduk jika tengah berhadapan langsung dengannya. Dengan begitu, wajahnya seketika tertekuk.

Sampai akhirnya, bel tanda waktu istirahat sudah habis berbunyi. Sheera melihat lelaki itu beranjak pergi dari meja beserta beberapa temannya.

“Kelas yuk, udah bel,” ajak Sheera.

“Yuk. Mbak, kita ke kelas dulu, ya,” pamit teman Sheera pada seorang perempuan muda pemilik salah satu tempat makan kantin.

“Ya,” balas Mbak Dirafah.

Sambil berjalan menuju kelas yang lumayan jauh dari kantin, Sheera terdiam beberapa detik sambil terus melangkahkan kakinya. Seperti ada yang mengganjal, Sheera terus memikirnya pertanyaan Kakak kelas tadi. Kenapa judes banget sih?

“Emang gue tadi judes banget, ya?” tanya Sheera merasa bersalah.

“Banget, Ra. Lo harusnya banyakin senyum, kalo ada dia,” jawab temannya, Chelyn.

“Tapi, Lyn, gue gugup,” ujar Sheera pelan. Ia meremas ujung seragam miliknya.

“Dia gak semenakutkan itu, Ra,” balas Chelyn meyakinkan. Setelah sampai ke kelas, Sheera dan Chelyn langsung mendudukkan tubuhnya di bangku yang berbeda meski dalam kelas yang sama.

Sheera dan Chelyn sering menghabiskan waktu istirahatnya pada tempat Mbak Dirafah menjajakan makanannya. Hanya sekadar mengobrol, atau membantu Mbak Dirafah membuatkan minuman dan bakwan untuk siswa yang datang.

Mereka sudah sangat dekat, bahkan Sheera sering kali mendatangi tempat itu hanya sekadar duduk-duduk saja.

“Nggak ke tempat Mbak Dirafah, Ra?” tanya Kiva, sahabat Sheera sekaligus teman sebangku.

“Baru juga balik ke kelas,” balas Sheera sambil mengambil sebuah buku novel yang ada pada tasnya.

“Oh, mau tau nggak, Ra? Kak Verhel ngajak gue meet up, besok di kafe biasa.” Kiva mulai bercerita.

“Oh, ya? Terus lu mau?” tanya Sheera sedikit antusias.

“Enggak, males,” jawab Kiva cuek.

Sheera mendengkus kesal. Dalam hatinya, ia memberikan umpatan untuk Kiva. Perempuan yang ada di hadapannya itu terkadang memang sulit ditebak.

“Lah? Bukannya lu udah kangen banget sama dia? Kesempatan, loh, Va. Kapan lagi coba Kak Verhel pulang? Asal lo tau ya, tugas kuliah tuh rumit banget, mungkin lain waktu dia gak bisa pulang demi ngerjain setumpuk tugasnya, bener gak?” jelas Sheera, sambil bertanya.

Kiva menghela napas kasar. “Iya juga sih, tapi gue kesel aja, dulu dia ngejanjiin buat setiap minggu dua kali pulang. Tapi nyatanya?”

Sheera meletakkan novelnya asal, kemudian menatap lurus kedua bola mata sahabatnya.

“Va, lo tuh beruntung, Kak Verhel ngajak lo meet up, sementara gue? Gue gak seberuntung lo, gue harus berbulan-bulan nahan kangen, gue harus berbulan-bulan mastiin bahwa hati gue harus tetap tegar. Gue gak boleh rapuh, dia gak pernah muncul lagi di hadapan gue lagi, Va. Gue hancur, tapi gue gak bisa nyalahin waktu, mungkin udah saatnya gue gak bisa ketemu dia, gak bisa ngeliat senyum dia. Tapi gue yakin, suatu saat dia akan balik lagi ke sini, ke sekolah ini, Va. Dia akan pulang.”

Sheera menghela napas pelan, kemudian melanjutkannya. “Jadi … kalo lo ada waktu, lo harus ketemu sama Kak Verhel, sebelum nantinya lo nyesel. Waktu terus berjalan, Va. Sebelum dia lebih sibuk nantinya, lo ambil setiap kesempatan buat ketemu sama Kak Verhel.”

Kiva terdiam sebentar, sedikit menghela napas kasar. Sepertinya Kiva sudah memahami situasi, ia sangat mengerti jika Sheera sudah mengarahkan pembicaraannya tentang sosok yang pernah ada di hati Sheera, Kiva harus lebih bisa menjadi seorang yang bersikap dewasa.

Selama ini, sulit bagi Sheera untuk membuka hati setelah kepergian lelaki yang dicinta. Sampai akhirnya, kedekatan Sheera dengan kakak kelas yang selalu ia temui di kantin sekolah mampu membuatnya sedikit lebih tenang. Namun, tidak dapat dimungkiri jika terkadang, ia masih merasakan rindu yang teramat dalam.

“Gue ngerti, Ra. Oke, gue temuin Kak Verhel,” balas Kiva singkat, meskipun Kiva sedikit malas untuk bertemu seniornya.

“Va, apa gue salah kalo gue kangen Kak Afkhar? Afkhar Zieel Rathaniel,” ujar Sheera, menyebutkan nama seniornya dengan lengkap.

“Nggak, Ra. Gue ngerti posisi lo, tapi lo harus bangkit. Gue yakin kalo Kak Afkhar akan pulang, bukan hanya ke rumah, tapi ke hati lo,” jelas Kiva sambil tersenyum.

“Gue, kangen …,” lirih Sheera.

Jika ini semua sudah terjadi, Sheera akan terus mengenang sosok yang dicintainya. Melupakan semua lelaki yang ada di dalam hidupnya.

Sebelum Sheera terlarut dalam kesedihan, Kiva segera mengalihkan pembicaran dengan topik obrolan yang lain. Hingga guru mata pelajaran selanjutnya datang, mereka langsung menyiapkan buku, duduk rapi di tempat masing-masing. Hingga saat bel pulang sekolah berbunyi, Chelyn mengajak Sheeren untuk mengunjungi tempat Mbak Dirafah kembali.

“Ra, ke tempat Mbak Dirafah, yuk,” ajak Chelyn.

“Yuk, tapi bentar, gue bedakan dulu. Kebiasaan kalo jam pulang sekola tuh, ya, muka udah kayak tempat bakwan punya Mbak Dirafah,” sengit Sheera sambil membubuhkan bedak tabur miliknya, juga sedikit mengoleskan liptin, agar tidak terlihat terlalu pucat.

Chelyn mengambil bedak yang telah digunakan oleh Sheera, kemudian ikut mengoleskan pada wajahnya. “Mau dong,” ujarnya, tanpa melirik Sheeren.

“Liat, berantakan gak?” tanya Sheera sambil menunjukan wajahnya.

“Enggak, sip,” balas Chelyn.

Sheera langsung menyambar tas berwarna merah muda miliknya, kemudian berjalan keluar kelas bersama dengan Chelyn.

“Lyn, muka gue berantakan nggak?” tanya Sheera setelah keluar dari kelas.

“Nggak,” balas Chelyn tanpa melirik.

“Ih, liat dulu,” suruh Sheera memaksa.

Chelyn menghela napas kasar. “Nggak, Ra.”

Sheera hanya menganggukkan kepalanya pelan, hingga perjalanan dari kelas ke kantin sudah hampir sampai, Sheera tetap menanyakan keadaan mukanya.

“Lyn,” bisik Sheera.

“Nggak, Ra. Lo udah nanya lebih dari enam kali, muka lo udah rapi. Kalo gak percaya, nih ngaca,” gerutu Chelyn, sambil memberikan sebuah kaca kecil.

“Dari tadi kek,” balas Sheera sambil menunjukkan deretan giginya. Ia mengambil kaca itu dengan cepat.

Sambil melirik perlahan ke arah kaca yang ia genggam, sesekali Shereen menatap lurus jalan, memastikan siapa saja orang yang berkunjung ke tempat Mbak Dirafah.

“Ra, itu ada Kakak Ganteng,” bisik Chelyn.

“Ssttt. Berisik lo! Gimana muka gue?” tanya Sheera lagi. Chelyn hanya membalas dengan menunjukkan ibu jarinya.

Sheera mengembuskan napas kasar. Ia menghentikan langkah kakinya seketika. “Tapi, gua lagi kangen Kak Afkhar.”

Chelyn menepuk pelan pundak Sheera. Ia mengerti posisi yang sedang Sheera hadapi karena selama ini hanya Sheera dan Kiva-lah yang selalu menjadi tempatnya berkeluh kesah.

“Lupain dia, Ra. Mulai detik ini, lihat ke depan. Gue bisa liat perlakuan manis itu tertuju buat lo.”

“Lyn, gue udah berusaha,” lirih Sheera.

“Cuma diri lo sendiri yang bisa mendobrak semuanya, Ra. Sampai kapan lo mau terus-terusan ada di titik terpuruk?” tanya Chelyn sembari menatap Sheera lekat.

“Udah saatnya lo harus bahagia.” Chelyn menggenggam jemari Sheera.

Sheera mengangguk, berusaha untuk bersikap biasa saja. Ia melanjutkan langkah kakinya, berjalan pelan menuju tempat Mbak Difarah, di depan tempat tersebut sudah terdapat segerombol kakak kelas, yang salah satu dari mereka ada seorang kakak kelas yang dapat menarik perhatian Sheera.

“Langsung pulang, Ra?” tanya Mbak Dirafah.

“Nggak, Mbak, saya mau ngadem dulu di sekolah,” balas Sheera tersenyum.

“Kalo kamu, Lyn?” tanyanya lagi.

“Ada rapat eskul, Mbak,” balas Chelyn.

Mbak Dirafah hanya menangguk, hingga ada salah satu senior yang datang dan membuat kelucuan di sana, Mbak Dirafah langsung mengejar senior tersebut, diiringi dengan gelak tawa segerombolan kakak kelas yang sedang duduk di depan tempat Mbak Dirafah, kecuali seorang lelaki yang tetap terdiam.

Lelaki itu hanya menatap datar setiap apa pun yang terlihat sangat lucu, ia tidak memberikan sedikit pun ekspresi wajah tertawa. Sheera yang tadinya ikut terbawa suasana tawa di tempat tersebut mulai menghentikan gelaknya, setelah ia menatap lekat wajah lelaki yang terdiam tanpa suara.

Merasa seperti masuk ke dalam dunia lelaki itu, Sheera benar-benar menghentikan tawanya. Hingga saat lelaki tersebut menoleh ke arahnya dengan datar, Sheera itu gelagapan. Dengan cepat dirinya mengalihkan pandangan dari wajah lelaki itu, berusaha kembali tertawa agar ia tidak menyadari bahwa dari tadi, Sheera menatap lekat ke arahnya.

“Senior aneh,” gumam Sheera sangat pelan.

Bersambung ….

 

Zalfa Jaudah Jahro, lahir di Karawang pada 03 Oktober. Si penyuka awan dan cokelat.

Editor : Lily

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply