Lukisan

Lukisan

Lukisan

Oleh : Halimah Banani

Ruangan itu berukuran 8×8 meter, dengan dinding, lantai, dan langit-langit berwarna putih bersih. Di kiri dan kanan pintu masuk terdapat masing-masing meja keramik kecil untuk tempat menaruh vas kaca berukuran sedang berisi bunga-bunga kala lili putih. Dan di dinding berbaris lukisan-lukisan yang kau buat sejak masih duduk di bangku kuliah sampai lima bulan lalu. Di ruangan itulah kau menghabiskan waktu selama tiga jam sejak menerima sebuah panggilan telepon pukul 20.12 tadi sambil memegang segelas wine, meneguk sedikit demi sedikit isinya. Kakimu melangkah sangat pelan dan matamu memindai satu per satu lukisan yang kau lewati dalam pencahayaan ruangan yang sengaja kau buat remang.

Tiap berjalan beberapa langkah, kau akan berhenti, berdiri cukup lama di depan sebuah lukisan sambil berusaha menyelami perasaanmu sendiri ketika melukiskan sesuatu di atas kanvas itu. Sayangnya, seberapa kerasnya pun kau mencoba menyelami ingatanmu, membayangkan kembali bagaimana perasaanmu saat memegang kuas dan menorehkan cat-cat akrilik itu, kau hanya akan berakhir dengan mengembuskan napas kuat-kuat.

Kau bertanya-tanya sendiri apa yang membuat semuanya berbeda? Apa karena galeri barumu ini? Dulu, galeri itu berada di lantai satu rumah dua lantai yang kau tempati bersama suamimu. Lantai satu memang dikhususkan sebagai galeri, itu keputusan yang dibuat oleh suamimu ketika kalian sepakat untuk membeli rumah tersebut. Bahkan suamimu jugalah yang menata ruangan itu, mulai dari mengecat dindingnya dengan warna putih, menggantung lukisan-lukisan yang kau buat, sampai mengatur pencahayaannya. Berbeda ketika kau memindahkan galeri itu ke bangunan bekas kafe milik temanmu yang kau sewa ini, semua kau lakukan seorang diri. Namun, kalau diamati, tak ada yang berbeda. Semuanya sama. Persis seperti galeri lamamu. Mulai dari luas ruangan, penataan lukisan dan meja dan vas, merek lampu yang dipakai, termasuk juga letak pintu dan jendela.

Kemudian, kau menduga kalau mungkin saja pencahayaan ruangan yang dibiarkan remang ini membuat semua lukisan jadi berwarna muram. Seperti halnya lukisan tiga tangkai mawar di dalam sebuah gelas yang saat ini sedang kau pandangi. Mawar dalam lukisan itu seharusnya berwarna merah. Merah merona.

Masih segar dalam ingatanmu tentang sore di mana suamimu pulang bekerja sambil membawa tiga tangkai mawar merah sebagai hadiah ulang tahunmu yang kedua puluh lima. Sebenarnya, kau tak begitu suka bunga. Bunga selalu cepat layu dan mati. Dan kau tak pernah suka sesuatu yang cepat mati. Seperti kematian ibumu yang terlalu cepat—beberapa jam setelah melahirkanmu. Atau seperti kematian kucing yang dulu kau temukan lalu kau pelihara ketika SMP.

Tapi, kau tak mungkin mengatakan kepada suamimu kalau kau tak menyukai bunga. Kau juga tidak bertanya kenapa suamimu hanya memberikan tiga tangkai mawar. Kenapa tidak satu tangkai saja atau satu buket sekalian? Kau tak ingin membuat senyum lebar di wajah suamimu lenyap dan karenanya kau hanya menatap suamimu yang sedang menyanyikan lagu “Selamat Ulang Tahun” sambil menyalakan dua puluh lima lilin yang sudah ditancapkannya di atas kue tar, lalu memintamu untuk meniup lilin-lilin itu seraya membuat permohonan.

Api-api pada lilin-lilin itu sudah padam ketika kau tiup.

Tak ada yang tersisa dari pesta sore itu, selain tiga tangkai mawar yang sudah kau letakkan di sebuah gelas kaca panjang—karena kau tak memiliki vas—yang sengaja kau abadikan dalam lukisan keesokan paginya, sebelum bunga itu layu dan mati. Selama dua puluh lima tahun hidupmu, itu adalah perayaan ulang tahunmu yang pertama, dua bulan setelah kau menikah dengan suamimu, dan kau ingin mengabadikan momen penting itu.

Setiap kali melihat lukisan itu, kau merasa selalu berada pada hari itu, dan membuat sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas. Tapi, di dalam ruangan yang dibiarkan remang ini, mawar itu tak tampak merah merona. Letak lukisan yang berada di pojok ruangan membuat cahaya tak mampu menjangkaunya. Warna merah itu tampak sangat gelap di matamu. Terlalu gelap. Dan yang kau bisa lihat sekarang hanya tiga tangkai mawar hitam. (*)

 

Jakarta, November 2023–Juli 2024

Halimah Banani, penyuka mi rebus rasa soto.

 

Editor: Imas Hanifah N

 

 

 

Leave a Reply