Kai Kun
Luka yang Hidup
Terbaik 13 Lomba Cerpen Fantasi Lokerkata
Aku bukan seorang pendongeng hebat. Tak seperti orang-orang seusiaku, aku tak menyimpan banyak kisah untuk diceritakan. Tapi kini, mungkin hanya aku yang tersisa dari desa sehingga mau tak mau aku mesti menyimpan dan menyebarkan kisah-kisah yang kudengar, kulihat, dan kusimpan. Semua orang seusiaku telah mati dimakan usia. Ada pula karena kelaparan, penyakit, atau kehilangan harapan. Anak-anak yang dulu sering berlarian ke sana-kemari pun satu per satu mulai meninggalkan desa pergi ke kota yang lebih dekat dengan kerajaan. Gilanya, pos yang dahulu sangat sibuk di perbatasan hutan kini benar-benar tak meninggalkan sisa. Mereka pergi setelah hutan mulai sekarat, padahal mereka yang membuatnya demikian. Yang tinggal di hutan ini kini hanya orang tua yang terus-menerus digerogoti penyesalan, beberapa pohon kekurangan air, dan mayat-mayat yang baru mulai dimakan belatung. Ya, nyatanya aku hidup di tempat pembuangan akhir, bukan hanya untuk sampah, melainkan juga para lansia yang sudah mulai tak berguna. Anak-anak mereka bukan sekadar tak peduli—mereka pengecut. Mereka bahkan tak punya nyali untuk membunuh orang tua mereka sendiri.
Padahal dulunya hutan ini sangat subur, banyak hewan, pohon, dan buah-buahan di sepanjang kau berjalan. Namun, keserakahan yang mulai membesar sedikit demi sedikit mengoyak kedamaiannya.
Bumi, yang dulunya penuh kehidupan, kini menjerit dalam kesunyian yang pilu. Hutan-hutan yang hijau dan rimbun, tempat ribuan spesies hewan dan tumbuhan pernah hidup berdampingan, kini tersisa sebagai lahan-lahan gersang yang tandus. Pohon-pohon yang menjulang tinggi, dulunya penguasa langit dengan daun-daunnya yang menari dalam angin, kini hanya tinggal tunggul-tunggul patah, memutih kering di bawah terik matahari yang semakin terik setiap tahunnya. Tidak ada lagi nyanyian burung di pagi hari, hanya desau angin yang membawa debu dan kenangan akan masa lalu yang hilang.
Aku mungkin sudah tinggal di sini selama 110 tahun. Dan sebagian besarnya dilalui bersama teror. Bayangan-bayangan masa lalu yang tak rela melihatku tertidur.
Dulu, ada sebuah keluarga kecil yang tinggal di hutan ini. Namun, hanya tiga yang tersisa kemudian, salah satunya ialah si bungsu, Widia. Dia gemar bermain di hutan seorang diri, sama seperti ayahnya dulu. Ibu dan kakaknya sering memarahinya jika ketahuan bermain di hutan, tapi tetap tak membuatnya jera. Bagi Widia, hutan entah kenapa seperti menjadi rumah kedua. Bukan cuma keluarganya yang tahu, semua orang di desa pun mengetahuinya. Mereka sering melihat Widia berjalan sendirian di antara pohon-pohon menjulang seakan-akan ia putri di hutan tanpa raja.
Di suatu hari yang gelap, saat cuaca mendung tak terbendung, Widia tersesat di hutan untuk pertama kalinya. Dia ketakutan sepanjang jalan dengan guntur yang sesekali memecah langit. Dia tiba di sebuah tempat yang tak pernah ia bayangkan, tempat di mana tulang-belulang monster raksasa, Asta, terbaring. Orang menyebutnya demikian. Sebelum ia jadi tulang belulang, ia pernah benar-benar hidup sebagai penjaga hutan.
Kegiatannya selalu sama, mengelilingi hutan. Kadang dua hari sekali ia sudah terlihat di titik yang sama, kadang juga bisa sampai 8 hari lamanya, tergantung apa yang ia temui. Makin banyak kerusakan alam, makin lama ia berjalan. Sedikit yang berani merusak hutan. Jika ada yang tertangkap merusak, pelaku bisa langsung dijerat sulur-sulur dari tubuh Asta, kemudian diremas hingga mati lemas.
Namun, saat raja baru dilantik, para prajurit untuk pertama kalinya memasuki hutan dan mulai menebangi pohon satu demi satu. Sungai-sungai yang dulu jernih mulai berwarna kusam, beracun oleh limbah yang tak terbendung. Permukaannya dipenuhi sampah dari kota. Mayat juga sesekali mengapung menyebarkan penyakit dan bau busuk.
Asta pun mengamuk. Tapi, apa artinya jika ia melawan ratusan prajurit sekaligus? Bahkan, orang yang berjuang bersamanya juga tak luput ditewaskan. Sejak itulah Asta terbaring menjadi tulang belulang, dibunuh prajurit-prajurit bedebah yang bersembunyi di balik kata “mengabdi” kepada Raja.
Widia, yang sebelumnya ketakutan, entah kenapa berubah terpukau. Dia menatap tengkorak besar Asta seolah melihat sesuatu yang indah. Rasa kagum itu begitu kuat hingga ia merasa terikat dengan monster tersebut, meskipun ia tak tahu mengapa. Perlahan, ia masuk ke dalam tengkorak Asta, menjelajahi bagian-bagian dalam kepala raksasa itu. Ketika ia duduk di mulut tengkorak, tiba-tiba sebuah cahaya terang keluar dari Asta, menembus langit gelap. Angin-angin liar yang dingin tercabik-cabik oleh sesuatu yang lebih gelap dari tinta.
Ada suara yang muncul kemudian. “Hutan… Astaa…” Suara berat dan serak, entah dari mana. Suara itu terdengar kesakitan.
Widia terkejut dan bingung, lalu sebelum ia sempat membuat kesimpulan tiba-tiba tangan kakaknya, Evelyn, meraih tubuhnya, menariknya keluar dari tengkorak. Evelyn mencoba membawanya pergi, namun mereka mendadak dikepung sekelompok prajurit bersenjata lengkap.
Evelyn tahu alasannya. Semua orang di desa yang cukup umur tahu.
“Sigeric? Serius?” Evelyn mendelik.
Prajurit yang ia sebut melangkah maju sembari mengacungkan pedang. “Ini tugasku.”
Wajah Evelyn merah menahan amarah. “Dan ayahku tak akan pernah kembali karena tugasmu.”
“Ayahmu menentang Raja.”
“Ayahku berusaha menyelamatkan hutan ini!” Evelyn berteriak, membuat para prajurit terkejut. “Tidakkah kalian lihat? Hutan ini hancur! Hampir tak ada pohon yang cukup untuk hewan-hewan bertahan hidup.”
Sigeric menanggapi dingin, “Raja menebang pohon untuk kesejahteraan rakyat.”
“Perburuan hewan langka, sampai membunuh Asta, begitu maksudmu?”
Sebelum Evelyn bisa melangkah lebih jauh, tiba-tiba sebuah anak panah menghujam tanah di dekat kakinya. Hutan mulai bergetar, dan suara raungan besar terdengar. Tulang-belulang Asta yang semula diam, bangkit perlahan.
Berdasarkan legenda, monster tersebut akan bangkit ketika ada orang yang ia rasa layak, demikian yang dilalui ayah Evelyn juga. Tanah di bawah kaki mereka mulai bergetar hebat, udara berubah pekat dengan aroma tanah yang membusuk. Tulang-belulang Asta, yang awalnya diam tak bergerak, perlahan berderak dan menggeliat. Suara raungan besar menggetarkan dada Evelyn, membuat hatinya penuh dengan ketakutan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
“Hutan… Astaaa…” suara itu terdengar lagi, kali ini lebih keras.
Di tengah kepanikan, ada dua ekspresi yang kontras: Widia, dengan wajah penuh rasa sakit, dan Sigeric yang tersenyum jahat. Secara kilat, pedang prajurit itu telah menancap di dada Widia. Pedang itu menancap sangat dalam seolah-olah ingin menghancurkan harapan hidup sekecil apa pun.
Evelyn berteriak marah, menendang Sigeric hingga terpental. Widia terkulai di tanah, darah hitam mengalir dari lukanya. Pedang yang menusuknya juga berubah menjadi hitam pekat. Sigeric tahu dengan jelas apa yang ia lakukan. Sebab, itu bukan kali pertama baginya. Dan bukan kali pertama pula Asta kembali kehilangan “pegangan”.
Widia jatuh terkulai. Darah hitam yang mengalir dari lukanya seperti mengguratkan tanda kutukan di hutan ini. Sejak hari itu, tak ada yang sama. Pohon-pohon perlahan meranggas, dan satu per satu, kehidupan di hutan ini memudar …
“Pak Tua!” Sebuah teriakan membuatku tersadar. Teriakan itu datang seperti selalu, seakan-akan tak ada yang berubah. “Sampai kapan kau akan menghalangi pekerjaan kami? Ceritamu itu konyol.”
Sekumpulan orang dengan banyak alat penebang kayu menatapku dengan tatapan tak percaya, kesal tapi sebagian dari mereka tak mau bicara.
Aku tersenyum pahit, lelah. Entah berapa kali aku mendengar ejekan itu, dan entah berapa lama lagi aku akan terus mendengarnya. Meski aku berharap cerita ini hanya dongeng, setiap luka di tubuhku mengingatkanku bahwa itu nyata. Namun, yang paling mengganggu ialah pedangku, yang dulu berkilau putih, kini hitam—seperti harapan yang telah terkubur di dalam hutan ini.
Kota berawalan I, 25 Oktober 2024
Yang ditekan pikiran sendiri
Komentar Juri, Berry:
Ide yang menarik, namun pada beberapa bagian, penggambaran situasi di dalam cerita ini terasa janggal Misalnya setelah muncul cahaya terang dari tengkorak Asta, pada kalimat selanjutnya malah diterangkan bagaimana angin tercabik-cabik oleh sesuatu yang lebih gelap dari tinta? Bagaimana bisa keterangan semburat cahaya terang itu diikuti dengan sesuatu yang gelap seperti tinta? Adegan di akhir juga terasa datar karena terjadi “tiba-tiba”, tanpa bangunan narasi yang kuat.
Aku suka ide dan plotnya, tetapi eksekusi terhadap ceritanya masih lemah.