Luka Sebaris Doa

Luka Sebaris Doa

Oleh: Ferlia W

Dua orang suster memboyongku ke atas ranjang pasien, mendorong dengan lekas menuju ruang IGD. Saat itu dokterku sedang tidak di RS karena memang sudah lewat larut malam. Penanganan diganti oleh bidan jaga. “Ketuban sudah pecah, tapi belum ada pembukaan. Kita induksi saja, ya, Bu!” saran bidan itu. Aku mengangguk, sejujurnya aku tak mendengar jelas ucapan bidan tersebut.

Setengah sadar, kulihat Mas Reza bolak-balik di depan pintu kamar dengan wajah bingung. Sibuk memainkan kedua jempol tangannya di atas layar ponsel, mungkin mengabari keluarga kami.

“Sayang, kamu sabar, ya. Istigfar terus, biar dedeknya bisa lahir normal, sehat.”

Ia menggenggam tanganku yang sudah diinfus. “Aw, sakit,” teriakku pelan. Mendengar ia memanggilku sayang, itu yang terasa sakit di hati.

Saat itu pukul sepuluh pagi, hujan deras di luar tak terdengar karena aku sedang berada dalam ruangan dingin. Silau cahaya lampu operasi membuat mata enggan terbuka. Para suster sibuk memasang kateter, mengganti botol infus, melepaskan semua bajuku dan menggantinya dengan gaun hijau khusus tanpa kancing.

“Kok masih nangis, aja, Bu? Kan mau menyambut anak pertama, semangat, dong!” ucap suster yang aku belum kenal namanya. Aku memaksakan senyum.

Operasi selesai, 45 menit lamanya. Bagaimana rasa irisan pisau mengiris tujuh lapisan perutku, atau jarum dengan benang yang menyatukannya kembali, aku tidak tahu. Yang kurasa setelah satu jam pemulihan hanya dingin dan sakit yang luar biasa. Bahkan dengan mengulum jemari kaki saja terasa ngilu sampai ke perut lalu sampai ke hati yang pilu.

***

Kemarin malam, tepat acara tujuh bulanan usia kandunganku. Sorenya, Mas Reza mengantar ibu mertuaku mencari buah. Ia meninggalkan laptopnya dalam keadaan masih menyala. Iseng, kulihat-lihat apa sih, isi benda yang tak pernah lepas darinya ini.

Layar depan terpasang foto pernikahan kami, kacamata yang tersangkut di hidung bangirnya juga alis tebal hampir menyatu membuat ia mirip Shah Rukh Khan dengan kulit lebih putih. Senyumku mereda ketika ada suara E-mail masuk dan tak sengaja kutekan.

Risma : [I Love You too, Honey. Nggak sabar menjadi yang halal bagimu.]

Perutku kontraksi, degup jantung terasa lebih cepat. Tangan dengan hati sama-sama bergetar, “Apa-apaan ini?” gumamku sambil menahan mulas. Kucoba tenangkan diri, menarik napas panjang lalu membuangnya perlahan. Ujung-ujung jemariku sedingin es. Begitulah aku ketika menahan gemuruh hati.

Kubuka semua isi E-mail atas nama Risma Damayani. Ada ratusan percakapan yang aku tak sanggup lagi membacanya. Antara rasa ingin tahu lebih jauh dan hati yang tak kuat lagi menahan belati.

Suara motor terdengar. Beriringan dengan suara ibu mertua, “Mayla, buah anggurnya lagi kosong, Nduk. Mamah ganti kelengkeng aja, ya, Nduk.” Mamah masuk lalu terdengar meletakkan semua belanjaannya di meja lalu mengeluh, “Huuuh, panas kali, yo, hari ini.”

“May, Mayla. Kamu tidur, May?” teriak beliau lagi.

“Sudah, Mah. Mamah istirahat saja, Reza ke kamar dulu temuin Mayla.”

“Ya udah, sana!”

Terdengar jelas percakapan mereka dari bilik kamar kami. Aku masih terduduk di depan benda kesayangan suamiku. Saat Mas Reza masuk, perang dingin pun dimulai.

“Kamu sedang apa, May?” Wajah putihnya semakin putih karena pucat. Aku yakin ia tahu bahwa aku menemukan kebusukannya. Aku tak menjawab, hanya melemparkan tatapan tajam dengan bening bulir yang menetes perlahan.

“Aku bisa jelasin, May. Kamu tenang dulu, ya, jangan emosi.” Ia melepas kacamatanya lalu menyugar rambut hitamnya. “Ini semua nggak seperti yang kamu pikirkan, May.”

“Setelah anak ini lahir, ceraikan aku, Mas!” Aku tersenyum, mengusap sisa air di wajah lalu keluar menemui ibu mertua yang selalu ceriwis.

Reza menahanku. “May, plis, May!” Ia menggelengkan kepala dengan mata penuh pinta. Lalu menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada.

Aku tak acuh, tetap berjalan menemui Mamah. “Beli buah apa saja, Mah?” tanyaku sambil memijit lembut pundak ibu dari lelaki yang baru saja ingin kubenci. Tak ingin menyakiti perasaannya, kusimpan luka ini sendiri. Entah bagaimana nanti bila ia tahu yang sebenarnya. Biarlah, kupikirkan itu nanti. Saat ini sebisa mungkin terlihat baik-baik saja.

***

Acara tujuh bulanan selesai dan Mamah pamit pulang dijemput oleh Adik Ipar. Mas Reza memang anak yatim saat kami menikah, sedangkan aku sudah sendiri sejak usia enam belas tahun. Aku tinggal bersama Nenek dan Kakek di Pekalongan. Saat kuliah aku memilih tinggal di ibu kota, menyewa kos murah dari hasil bekerja sebagai SPG.

Menikah dengan Reza adalah kebahagiaan luar biasa. Sosoknya yang bijak seperti almarhum Ayah, juga ibu mertua yang ceriwis persis seperti Ibu mengisi kekosongan hatiku, mengobati rindu pada Ayah dan Ibu. Kini aku harus kehilangan mereka lagi, bahkan dengan cara yang menyakitkan.

“May … kita bicara, ya,” sapa Mas Reza menyadarkan lamunanku. Aku memang sangat ingin mendengar penjelasannya. Namun, sepertinya hanya menambah luka saja.

“Setidaknya dengar dulu penjelasanku, setelah itu aku terima apa pun keputusanmu,” tambahnya lagi.

“Bicaralah, aku mendengarkan,” jawabku tanpa menatap wajahnya.

“Risma itu ….”

“Aku tahu!” sergahku sebelum ia menyelesaikan ucapannya.

“Aku tahu semuanya, Mas!” Aku bangkit dari duduk sambil menahan beban perut dan beban luka di hati. Tak bisa kutahan lagi. Tangisku meruah dengan amarah yang tak lagi bisa terarah. Kupukuli tubuh suamiku, lelaki panutanku. Memakinya dengan kata-kata yang tak pernah kuucapkan sebelumnya.

“Brengsek kamu, Mas! Bajingan!” Aku terus memukuli kepala, wajah, bahu dan entah apa lagi.

“May … May, maafin aku, May. Risma itu masa lalu aku. Iya, aku salah karena telah membiarkannya masuk kembali ke hatiku, tapi aku berniat untuk mengakhirinya, kok. Aku hanya belum tahu bagaimana menyampaikannya.” Ia bicara sambil menahan semua pukulanku tanpa membalasnya.

Tiba-tiba aku terduduk, perutku kontraksi kembali. Kali ini benar-benar kontraksi. Terasa ada yang mengalir di pahaku, merah, darah?! Dadaku sesak dan pandangan semua menjadi kabut.

***

“Istri Anda mengalami kontraksi hebat, sehingga memicu pecahnya ketuban dan terjadi pendarahan. Jika dibiarkan, berbahaya bagi janin dan ibunya. Jadi harus segera dioperasi.”  Obrolan dokter yang baru tiba subuh ini terdengar jelas di telingaku.

“Dengan risiko bayi lahir prematur dan harus ditangani lebih lanjut di ruang inkubasi,” tambah dokter itu lagi. Aku menangis, menangisi semuanya. Kecewa dan gagal melahirkan secara normal membuatku kesal. Semakin kesal dan menyalahkan Mas Reza. Dalam sekejap aku jadi sangat membencinya. Sangat!

Ibu mertuaku datang, sambil bersedih ia menyemangati. Mengusap-usap perut buncitku sambil mulutnya komat-kamit dengan mantra-mantra indahnya. Aku kembali menangis, menangis karena tak ingin membuat sosok ibu ini bersedih jika aku berpisah dari anaknya.

“Ibu … kita siap-siap pindah ke ruang operasi, ya,” sapa suster lembut dengan senyum melayaniku. Mas Reza masih mendampingku hingga ruang tunggu operasi. Sebelum melepasku masuk, ia mencium keningku dan berbisik, “Maafin aku, May.”

Bayi kami lahir dengan berat 2 kg. Sehat dan kuat, hanya perlu inkubasi selama dua minggu. Usai tujuh bulan sebetulnya janin dalam kondisi yang kuat dan layak lahir, hanya saja biasanya kurang berat badan. Namun, secara organ vital sudah kuat. Beda halnya jika usia janin masuk delapan bulan. Katanya janin kembali melemah, atau kalau istilah orang tua, bayinya muda lagi. Entahlah aku tak mengerti.

Aku dibolehkan pulang lebih dulu dan pemulihan di rumah. Sementara putriku dirawat selama satu minggu lagi. Kami menengoknya setiap hari, memberikan ASI peras. Selama itu aku tak bertegur sapa dengan ayahnya. Lebih tepatnya, aku yang tak pernah menggubris setiap ucapan dari bibir tipisnya.

Setelah pulang ke rumah, putri kami yang ia namakan Mayeza disambut dengan penuh cinta oleh Mamah, cucu pertama yang ia dambakan.

“Mirip banget sama si Reza ya, May. Liat itu tahi lalatnya masa sama di pipi kanan.” Ibu mertuaku tertawa semringah, terpancar betapa bahagianya ia. Namun, tidak denganku.

“May masuk kamar dulu, ya, Mah. Kepala Mayla pusing,” ucapku pada Mamah. Mas Reza mengikutiku. Lama kami saling terdiam, aku mulai menatapnya dalam dan cukup lama. Ia terlihat tak nyaman hingga akhirnya bicara.

“Kamu masih mau pisah?” tanyanya sambil membenarkan kacamata.

“Kamu masih mau sama aku?” tanyaku balik.

Ia menghela napas panjang. “May, aku nggak akan bisa menemukan wanita lain seperti kamu, dan nggak pernah sedetik pun aku berpikir akan meninggalkan kamu. Risma adalah kesalahan yang seharusnya kamu nggak perlu tahu. dosa yang hampir aku kubur. Aku sudah …”

“May, boboin aja, ini cucu Mamah, kasian di gendong terus nanti bau tangan.” Mamah tiba-tiba masuk ke kamar membawa Eza. Melihatku mengusap air mata, wanita paruh baya yang hanya mengenakan ciput kerudung sebagai penutup kepalanya itu terlihat kaget dan bertanya, “Kamu kenapa? Kalian berantem?”

“Enggak, Mah. Aku cuma terharu, akhirnya aku jadi seorang ibu,” sergahku sebelum ia bertanya lebih panjang lagi.

“Ya sudah, istirahat, ya. baik-baik ya, kalian. Biasanya kalo sudah ada anak, cintanya makin kuat,” ucap Mamah meledek Mas Reza. Kami hanya tertawa kecil.

Melihat ibu mertuaku keluar dengan bahagia, aku teringat ibuku sendiri. Andai ia di sini, aku mungkin juga tak sanggup bercerita padanya. Mengganti senyum dengan kesedihanku sendiri. Akhirnya kuputuskan untuk bertahan.

Mungkin benar, Mas Reza hanya khilaf dan tak sengaja membuka hati pada Risma. Akan tetapi, luka tetaplah luka, sekalipun sembuh bekasnya tetap ada. Ia membuang Risma jauh-jauh dari hidupnya. Sebuah bukti percakapan terakhir mereka yang ia tunjukkan padaku, di situ Risma marah dan mengatakan Mas Reza bajingan setelah itu Mas Reza mengganti nomor ponselnya.

Belakangan memang Mas Reza menunjukkan niatnya menebus kesalahan. Perhatian, kasih sayang juga waktu luang buatku dan putri kecil kami. Aku memaafkannya, tetapi belum bisa melupakan rasa sakit pengkhianatannya. Aku hanya bisa berdoa agar hatinya tulus mencintai dan tak mengulangi lagi.

Bahkan dalam sujud tengah malam, bersama tangis yang dalam, doa-doaku masih terluka. Andai bisa kubunuh takdir, menghapus luka pertama yang membekas noda. Menghidupkan bahagia tanpa jeda. Namun, dari luka aku belajar bahwa dalam proses sembuh, banyak doa yang berlabuh. (*)

 

Ferlia Winata. Pernah memakai nama pena Rei Nataya. Lahir tanggal 14 Februari 1987. Ibu rumah tangga yang hobi bersenandika. Mulai menulis puisi sejak sekolah menengah pertama, tetapi mulai serius dan bergabung dalam dunia literasi sejak 2019. Sudah menerbitkan beberapa antologi puisi dan antologi cerpen. Dia juga sedang menekuni profesi sebagai editor.

 

Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay

 

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply