Luka-Luka Ibu
Oleh : Tiska Yuli Setiowati
“Apa? Ibu hamil? Heh … aku yakin, ini sebuah kesengajaan yang Ibu buat. Iya, kan?”
“Ibu mencintai lelaki itu, Karan. Dia orang yang baik.”
“Ibu lupa? Tidak pernah ada lelaki baik yang datang ke sana. Ibu ingat itu.”
“Itu hanya pelarian. Dia kesepian sejak ditinggal meninggal istrinya.”
“Apa pun alasannya. Jika dia pria baik-baik, dia tidak akan mencari wanita untuk sekadar ditiduri. Lalu, apa rencana Ibu sekarang? Apa lelaki itu sudah tahu?”
“Iya. Mas Wisnu sudah tahu, dia berjanji akan menikahi Ibu secepatnya.”
“Lihat saja apa yang akan aku perbuat padanya, jika dia berani lari dari tanggung jawabnya.”
***
Aku beranjak dari dudukku, meninggalkan Ibu yang menatap piring kosong yang ada di hadapannya.
Aku berdiri memandang ke luar jendela. Seorang pemulung terlihat sedang mengais tumpukan sampah dalam tong. Berharap ada rezeki untuknya.
Aku tahu, aku pernah merasakan keadaan itu. Setiap pagi menelusuri jalanan, mengharap ada rezeki dari sisa orang.
25 tahun lalu, saat Ayah meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Aku baru berumur empat tahun, belum bersekolah dan belum mengerti apa pun.
Yang aku tahu, aku sedang menjaga Kiran, adikku. Ia sudah bisa berjalan dan aku harus mengawasinya,itu yang Ibu katakan padaku. Sebelum ia meninggalkan kami, Ibu harus mencuci pakaian. Cucian sudah menumpuk. Begitu beberapa kali kudengar Ibu mengeluh.
Suara ketukan pintu berulang. Ibu keluar untuk melihat siapa yang datang. Seorang tetangga bersama seseorang yang aku kenali betul dari pakaiannya, seorang polisi.
Aku tak begitu mendengar apa yang mereka katakan. Yang aku tahu, setelah itu Ibu berteriak, kemudian tubuhnya melemas dan ambruk. Tetanggaku dan polisi itu segera mengangkat tubuh Ibu ke dalam.
Beberapa saat kemudian, rumahku ramai dipenuhi tetangga yang mulai berdatangan. Ibu bangun dari tidurnya, kemudian ia kembali menangis.
Aku hanya diam, tak mengerti. Aku pun tak berani bertanya. Semua yang hadir terlihat begitu sedih.
Aku mulai mengerti setelah mobil ambulans datang mengantar jenazah Ayah. Ibu selalu bercerita, kalau mobil ambulans untuk mengantar orang yang sudah meninggal. Hari itu, kulihat jenazah Ayah yang diantarkan.
Rajev Singh. Ia ayahku. Pria berkebangsaan India. Meski ayahku orang India, tetapi aku belum pernah pergi ke negera asal Shahrukh Khan itu. Ibu bercerita, kalau Ayah sudah tak memiliki kerabat di sana. Hanya kamilah yang ia punya.
Ayahku memiliki sebuah toko baju di kompleks Pasar Tanah Abang. Pasar yang terkenal sebagai pusat grosir pakaian murah.
Ibu berencana akan meneruskan usaha Ayah. Pagi itu kami sudah bersiap. Pukul delapan kami sudah sampai di kios milik Ayah. Ibu menyuruhku menjaga Kiran, sementara ia membereskan kios yang sudah hampir dua minggu tak diurus.
Setelah semua beres, kami bersiap untuk menyambut pelanggan yang datang. Pasar sudah mulai ramai dengan pembeli, rata-rata mereka adalah pedagang pakaian eceran di tempat tinggalnya.
Hari sudah cukup siang, tetapi belum ada satu pun pembeli yang datang ke kios kami. Ibu menyuruhku makan. Kulihat Kiran sedang tidur di gendongan Ibu.
Tiga pria bertubuh kekar datang. Mereka membentak Ibu yang hanya bisa diam menahan air mata yang mau tumpah. Aku tak mengeti apa yang mereka bicarakan. Aku benar-benar tak mengerti apa yang sudah terjadi. Yang pasti, saat itu juga Ibu mengajakku pulang. Hari-hari selanjutnya, Ibu tak lagi kembali ke kios Ayah.
Belakangan aku tahu, kalau Ayah meninggalkan utang yang cukup banyak. Kios dan isinya disita untuk melunasi utang-utang Ayah.
Ibu terus memikirkan cara, bagaimana agar kami bisa tetap melanjutkan hidup. Ibu mencoba berjualan kue keliling. Hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Beberapa kali, kue bikinan Ibu tak laku sama sekali. Ibu memutuskan berhenti berjualan, karena sudah tak lagi memiliki modal.
Seorang tetangga mengajak Ibu untuk menjadi buruh cuci gosok di kompleks perumahan, yang tak jauh dari tempat tinggal kami.
Ibu membawa kami ke tempatnya bekerja, karena khawatir tidak ada yang menjaga kami di rumah.
Tiga hari bekerja, siang itu kulihat Ibu berlari ketakutan. Ia mengajak aku dan Kiran untuk segera keluar dari rumah majikannya. Ibu menyuruhku berlari secepat mungkin. Aku tak berani bertanya, aku hanya menuruti perintahnya.
Keesokan harinya Ibu tak lagi bekerja di rumah majikannya. Dari warga sekitar aku mendengar, katanya ibuku mencuri uang di rumah majikannya.
Aku sama sekali tak percaya. Namun, Ibu tak menceritakan apa-apa kepadaku. Semua hanya menyisakan tanya di dalam benakku.
Sebulan berlalu, Ibu tak lagi bekerja. Kami bertahan hidup dari memulung. Kami mengumpulkan botol plastik yang bisa didaur ulang, untuk dijual ke pengepul barang rongsokan. Hasilnya, hanya cukup untuk kami makan.
Seterusnya, kami diusir dari kontrakan karena tak lagi bisa membayar uang sewa. Kami luntang-lantung di jalanan. Sampai seorang wanita bernama Ibu Mira menolong kami. Beliau membawa kami tinggal di rumahnya.
Bu Mira, wanita baik hati yang sudah mau menampung kami, memiliki rumah yang sangat besar. Mobilnya lebih dari satu. Saat itu aku belum bisa berhitung, yang kutahu, ada banyak mobil terparkir di garasi rumahnya.
Sejak kami datang ke rumah itu, kami disambut dengan hangat. Ia memperlakukan kami layaknya saudara. Bu Mira memberikan kami sebuah kamar yang luas. Ia juga memberikan aku baju-baju yang bagus. Kiran tentu saja tak ketinggalan. Ia menjadi primadona di rumah itu.
Di rumahnya yang besar, Bu Mira hanya ditemani oleh pembantunya. Suaminya sudah lama meninggal, sedangkan anak semata wayangnya sudah menikah dan tinggal di luar negeri. Mereka jarang sekali pulang untuk menengok Bu Mira.
Seminggu sudah kami tinggal di rumah Bu Mira. Selama ini, Ibu hanya membantu pekerjaan rumah. Di sana sudah ada lebih dari cukup pembantu. Kadang Ibu tak enak hati karena tidak berbuat apa-apa di sana.
Pagi itu kudengar Ibu berbincang dengan Bu Mira. Aku sedang asyik menonton acara kartun kesukaanku. Entah apa yang mereka bicarakan, terlihat cukup serius.
Malam harinya, ketika Kiran sudah tidur. Ibu menggendong Kiran keluar. Menurut Ibu, mulai malam ini Kiran akan tidur bersama Bu Mira. Sedangkan ibuku harus bekerja.
Ibu menggantikan pekerjaan Bu Mira, karena Bu Mira sedang kurang enak badan. Ibu harus membalas jasa Bu Mira yang sudah baik kepada kami. Aku hanya diam, berusaha mengerti tiap perkataan Ibu.
Malam itu, aku tidur sendirian. Ibu pergi bekerja. Ia baru kembali menjelang azan Subuh. Aku melihatnya datang, karena aku tak bisa tidur semalaman.
Begitu tiba di rumah, Ibu langsung mandi. Meski aku berpikir, masih terlalu pagi.
Cukup lama Ibu mandi. Aku sempat khawatir. Kupanggil namanya berulang kali. Baru akhirnya Ibu keluar.
Ibu menangis sambil memelukku. Aku tak mengerti kenapa ia menangis. Aku hanya diam saja saat Ibu terus mendekap tubuh kecilku. Hingga perlahan tangis Ibu mulai mereda, dan ia melepaskan pelukannya.
Sejak hari itu, aku selalu tidur sendiri. Ibu bekerja semalaman. Sedangkan Kiran, selepas magrib ia sudah diboyong ke kamar Bu Mira.
Aku tak pernah tahu apa pekerjaan Ibu, aku juga tak berani menanyakannya. Yang aku rasa, hidup kami lebih baik. Kami tak pernah lagi kekurangan makanan. Aku memiliki baju-baju bagus dan mainan yang banyak. Menurutku itu sudah cukup.
Tidak terasa hampir setahun kami tinggal di rumah Bu Mira. Aku sudah mulai bersekolah. Setiap pagi aku diantar jemput oleh sopir. Sebenarnya aku ingin diantar Ibu. Namun Bu Mira selalu melarang. Ibu sudah capek bekerja semalaman, aku harus membiarkan Ibu beristirahat. Begitu yang selalu beliau katakan. Aku hanya bisa diam menuruti omongannya.
Hari itu, aku bersekolah seperti biasa. Diantar jemput oleh Pak Kardi, sopir pribadi Bu Mira. Saat aku baru turun dari mobil. Entah kenapa teman-teman sibuk menyorakiku.
Mereka mengataiku dengan sebutan anak pe**k. Aku ingat sekali kata-kata itu. Sampai kini, masih sangat membekas.
Aku tidak begitu mengerti apa yang mereka maksud. Yang aku pahami, mereka terus-terusan mengataiku. Aku kesal, kukejar mereka sambil membawa penggaris panjang milik Bu Guru. Mereka berlari ketakutan. Aku menangkap salah seorang dari mereka. Kupukul ia dengan penggaris yang kupegang.
Orang tua kami dipanggil datang ke sekolah. Sejak itu, aku tahu apa pekerjaan ibuku.
***
Seperempat abad sudah berlalu. Aku kini telah memiliki sebuah usaha sablon dan fotokopi yang cukup maju. Tak bisa kumungkiri, ada andil Tante Mira. Namun, aku tentu tak selamanya ingin Ibu terus berkubang di dunia hitam. Perlahan-lahan, aku mencoba melepaskan diri dari pengaruh Tante Mira.
***
“Bu, jangan lupa nanti malam kita ke rumah Rania,” ujarku sambil berpamitan pada Ibu.
“Iya, tenang saja. Ibu ingat,” jawabnya sambil tersenyum.
Rania adalah kekasihku. Rencananya kami akan melanjutkan hubungan yang lebih serius lagi. Malam ini, rencananya kami akan melalukan perkenalan keluarga.
Rania sama sepertiku, ia sudah ditinggal ayahnya sejak masih kecil. Beruntung, ayahnya meninggalkan harta warisan yang lumayan. Ia tak harus mengalami hidup sepertiku. Tante Sukma—mamanya—pun berhasil meneruskan usaha ayahnya hingga berkembang pesat.
***
Kami disambut hangat oleh Tante Sukma. Makan malam sederhana dengan suasana yang penuh kehangatan.
“Assalamualaikum ….”
Seseorang pria tampak datang di sela makan malam kami. Tante Sukma terlihat menyambutnya dengan gembira.
“Rania, Karan, kenalkan ini Om Wisnu. Dia teman dekat Mama. Kami berencana akan menikah setelah pernikahan kalian selesai digelar. Mama gak mau tinggal sendirian kalo kamu nanti ikut suamimu,” ujar Tante Sukma sambil tersenyum malu.
“Mas Wisnu ….” Kali ini Ibu yang tampak terpukul setelah melihat lelaki yang baru saja datang.(*)
Tiska Yuli Setiowati, ibu dua orang putri yang sedang belajar menulis. Menulis adalah salah satu bentuk me time di saat suntuk dengan pekerjaan rumah tangga.
Editor : Fathia Rizkiah
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.