Luka-Luka di Bumi

Luka-Luka di Bumi

Luka-Luka di Bumi

Oleh: Lily Rosella 

Kedua tangan itu mencekam seprai. Gigi-giginya digeretakan. Dari mata yang terpejam kuat keluarlah sebaris cairan bening, mengalir dan mendarat mengenai daun telinga. Tak ada pilihan lain selain pasrah, menerima takdir yang begitu perih. Memaksa diri mendengar desah napas yang tak beraturan, beradu dengan suara embusan angin kencang di luar.

Dulu, tanah itu diisi dengan hamparan bunga-bunga lily putih yang mekar di setiap tahunnya, juga ada beberapa kelinci liar yang terkadang keluar dari lubang-lubang persembunyian mereka, melompat-lompat.

Kau tahu? Kupu-kupu selalu menjadi penghuni negeri ini, mereka terbang ke manapun mereka suka. Terkadang mendarat di salah satu jari jemari bayi-bayi yang tengah berjemur, menghangatkan diri dengan sinar matahari pagi. Sementara tawa… kata itu tak pernah lepas dari jiwa-jiwa penghuninya.

Hanya saja itu dulu. Sebelum semuanya direnggut.

“Haruskah aku membunuhnya?”

“Kau harus memikirkan cara untuk tetap hidup.”

“Tapi ….”

“Berhenti memikirkan orang lain! Kau bahkan tidak tahu apa besok kau masih hidup atau tidak.”

“Apa kau berencana untuk terus hidup? Untuk apa kita tetap bertahan seperti ini? Ini tidak ada bedanya dengan mati.”

“Hentikan!”

Matahari lagi-lagi tertutup kabut. Bau mesiu menyeruak, menembus kelambu-kelambu tipis yang menutupi bangunan-bangunan kecil yang terbuat dari kayu rapuh dan tripleks. Tak hanya itu saja! Tapi juga banyak bau-bau yang saling berbaur. Minyak, darah, bangkai, dan bau-bau mengerikan yang membuatmu berpikir tak ingin hidup lebih lama di sini. Sayangnya kau bisa apa jika takdir memang tertulis demikian.

Haruskah seseorang mengabdi pada kegelapan?

Haruskah mereka membawa neraka ke dunia?

Ah, manusia-manusia bodoh. Harusnya orang-orang seperti mereka cepat mati agar tidak membawa kehancuran dan malapetaka.

Perang masih berkecamuk di luar. Suara dentum senapan terdengar kencang, saling bersahut-sahutan. Jangankan untuk melihat bunga-bunga lily mekar, rumput-rumput liar yang baru tumbuh saja sudah mati terinjak, seolah tak ada harapan untuk hari esok.

Apa mereka mendengarnya? Suara jerit dan tangis bocah-bocah yang terpisah, sendirian di tengah perebutan kekuasaan. Juga isak dan ratapan-ratapan kehilangan setelah banyaknya nyawa-nyawa yang melayang.

Tidak! Mereka tidak pernah mendengarnya.

Ah, harus bagaimana kujelaskan padamu kalau mereka itu hanya para jalang yang berkeliaran. Tengok saja bagaimana mereka begitu menikmati hidup di atas penderitaan orang lain.

Mereka tidak tuli, pun bisu atau buta. Mereka hidup dalam kegelapan, dan seperti itulah cara kegelapan menggerogoti hati satu persatu pemujanya, lantas memperbudak mereka untuk terus menebarkan benih-benih kebencian di sepanjang peradaban.

Dan sama seperti biasa, malam menjadi waktu yang tak kalah mengerikan. Tanpa perlu bertanya, tangan-tangan keji itu menyeret paksa wanita-wanita dan anak-anak untuk menyerahkan diri. Menjadi pelampias nafsu berahi yang membabi buta. Membuka paksa kain-kain tipis penutup tubuh yang hanya terdiri dari baju usang dan kain sebagai pengganti rok.

“Lepaskan …!” Lagi-lagi suara jerit-jerit seperti itu kembali terdengar di setiap malamnya. Tak ada yang dapat memilih.

Bukan! Bisakah kau bercerita yang benar tentang apa yang kau lihat!

Mereka bisa memilih, tapi hanya akan ada dua pilihan. Menyerahkan diri untuk dinodai, atau mati dengan peluru yang menembus ke jantung.

“Ayo kita pergi!”

“Ke mana?”

“Ke mana saja. Ke mana pun selama kita bisa hidup dengan cara terhormat.”

“Kita tidak bisa pergi.”

“Jangan hidup di sini. Aku tidak bisa melihatmu terus disentuh pria-pria biadab seperti mereka!” teriaknya marah.

Hening. Tak ada satu kata pun yang bisa digunakan untuk membantah. Kau bahkan tidak bisa melihat air mata mengalir di antara salah satunya. Dan sampai kata itu tertulis, kau baru akan bertanya, “Kenapa?”

Itu semua karena orang-orang takkan pernah tahu seberapa luka telah membuat air mata membanjiri hati setiap manusia, sebelum akhirnya semua kesedihan itu tak bisa lagi dibendung, lantas menguap dan berubah menjadi cairan bening yang mengalir.

Entah ini akan berlangsung berapa lama lagi. Sehari? Seminggu? Sebulan? Atau setahun? Tak ada yang pernah tahu kapan semuanya akan kembali seperti sediakala. Menempatkan orang-orang pada tempat yang seharusnya.

Dan sungguh, tanah itu telah lama mati. Kau bahkan tidak bisa lagi menanam bibit-bibit bunga lily sama seperti dulu, terlalu banyak ranjau yang tertanam. Meski begitu, suatu saat ketika negeri kembali damai, mungkin ranjau-ranjau itu bisa saja meledak sewaktu-waktu. Memangsa nyawa-nyawa tak berdosa setelah berabad-abad lamanya para penguasa meninggalkan negeri juga dunia, diceburkan ke dalam neraka yang sesungguhnya.

Bukankah memang seharusnya seperti itu? Mereka juga perlu tahu seperti apa tempat yang mereka ciptakan. Jadi jangan pernah berpikir untuk bersimpati. Itu azab namanya!

“Ayo!”

Berbeda dari kemarin. Jika kau melihat sebuah buntalan yang berisi satu-dua helai pakaian, maka kini kau akan ditunjukan pada sesuatu yang lain. Sesuatu yang mungkin tidak akan diperhatikan oleh siapa pun di tengah orang-orang yang sibuk menjaga kelangsungan hidup mereka masing-masing.

“Apa yang akan kau lakukan?”

“Ayo kita pergi!”

“Hentikan!” tangan dekil itu langsung mencekam baju lusuhnya yang sudah terseok di sana-sini.

“Kenapa? Kenapa kau selalu ingin bertahan atas hidup yang menyedihkan ini?”

Sama seperti seseorang yang ada di hadapannya, ia juga ingin menangis. Mereka benar-benar ingin meluapkan perasaan yang terus berkecamuk di dalam jiwa mereka. Mengubah semua kelam ini menjadi sebaris air mata. Berharap setelah menangis maka keadaan menjadi sedikit membaik.

Bodoh! Kau pikir mengapa orang-orang menangis?

Mereka bukan ingin mengubah keadaan menjadi lebih baik. Hanya saja… setidaknya dengan menangis maka beban di hatimu bisa sedikit berkurang. Dan sama seperti kedua orang ini. Mereka telah terjebak lima tahun lamanya di bagian bumi yang salah.

“Mari kita pergi,” ucapnya sambil menyeka air mata yang telah mengalir begitu saja.

Malam ini, sebelum orang-orang bejat itu datang, sebaris demi sebaris air mata mengalir tanpa bisa dihentikan. Dan andai saja kau berada di sana, pasti kau akan ikut menangis bersama mereka. Karena nyatanya kau tidak akan bisa menipu dirimu sendiri meski—dengan berusaha—tertawa ribuan kali di depan orang yang kau cintai.

“Kau benar-benar ingin pergi?”

“Iya,” jawabnya pelan.

“Dasar bodoh!”

Dengan suara isak yang masih terdengar juga air mata yang masih membasahi pipi, kedua bola mata itu terus saja menatap kosong ke arah kelambu kusam yang bergerak-gerak tertiup angin.

Bersiaplah! Jemput mereka dan temani dalam perjalanannya menuju ke sini.

“Selama ini aku terus bertahan di sini agar kau tetap bisa hidup. Tapi lihatlah balasanmu!”

“Setidaknya kita bisa mengakhiri semua ini lebih cepat.”

“Kenapa kau begitu ingin mengakhirinya?”

Dia terdiam, matanya yang sayu menatap tajam. “Pikirkanlah bagaimana perasaanku yang duduk di dekat pintu, melihatmu meremas seprai dan menahan kesakitan. Dicumbui orang-orang bejat yang berbeda di setiap malamnya. Kau… benarkah ingin aku hidup seperti mereka?” tanyanya parau.

“Tidakkah kau ingin memikirkannya se—”

“Ibu! Jika aku terus bertahan maka aku tak menjamin jika suatu hari nanti aku takkan mendendam atas takdir kejam ini.” Ia menangis, tubuh kurus yang hanya memiliki tinggai 120 sentimeter itu mengepal kedua tangannya. Matanya yang sayu kini menatap dengan cara berbeda. Ia tengah memelas iba.

“Selamatkan aku, Ibu! Selamatkan aku!”

Wanita berusia tiga puluh tahun itu mengangguk, memeluk putranya yang baru saja berusia 8 tahun. “Baiklah.”

Hanya dalam waktu beberapa detik, darah bersimbah dan membasahi tanah kering di di dalam bilik kecil tersebut. Membuat air mata yang tadi mengalir menjadi terhenti. Sunyi.

Jiwa-jiwa yang pergi, hampir separuhnya meninggalkan tempat itu seraya mengutuk. Mengucap sumpah serapah. Namun… jiwa semurni dia telah terjebak lama di bagian bumi yang salah, ia juga mengambil bagian yang salah dalam menyusun skenario penutup.

***

Bisakah kau melihatnya?

            Di sini, bunga-bunga lily kembali bermekaran. satu per satu. Tanah yang dulu kupijaki bukan lagi tempat bergulatnya hidup dan mati. Bukan pula melihat bagaimana ibu hidup seperti orang mati.

Mereka hanya hamparan rumput-rumput hijau yang membentang beratus-ratus meter luasnya. Lantas tumbuh bunga-bunga yang rekah.

Dan sama sepertimu, orang-orang menyebutnya surga!(*)

 

Lily Rosella, seorang gadis pencinta hujan yang lahir di Jakarta pada bulan Desember ini penyuka dongeng dan cerita-cerita bergenre fantasi juga mistis. Menyukai warna-warna pastel.

FB: Aila Calestyn/Lily Rosella

Email: Lyaakina@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita