Luka itu Masih Ada

Luka itu Masih Ada

Luka itu Masih Ada

Oleh : Ardhya Rahma

 

Aku memandang sosok gadis di hadapanku yang tertunduk. Dia bagaikan bunga yang segera layu. Luruh tak bertenaga, bahkan dengan satu embusan angin sepoi mampu merontokkannya ke tanah.

Sempat kulihat wajahnya sekilas, ketika dia memasuki ruang tamu kantor kami, Annisa Center. Sebuah tempat untuk para wanita bisa mendapatkan solusi atas sebuah masalah. Bahkan perlindungan di saat membutuhkannya. Mungkin seperti itulah harapan dua orang wanita yang siang ini duduk di depanku. Wanita separuh baya yang terlihat memendam kesedihan dan gadis muda yang tampak tak kuat menanggung beban.

Wanita yang lebih tua memperkenalkan dirinya bernama Ibu Nur, sedangkan wanita yang menunduk sejak tadi sebut saja bernama Mala. Ibu Nur menyebut Mala adalah keponakannya yang baru mendapat musibah. Dia mengalami pelecehan seksual dari beberapa orang lelaki. Peristiwa tragis itu terjadi kemarin malam.

Diiringi isak tangis, gadis yang menunduk di hadapanku itu menceritakan peristiwa terkutuk itu. Kemarin, Mala pulang kuliah cukup malam karena ada kuliah tambahan. Biasanya kalau dia pulang di atas pukul tujuh malam, ada teman yang mengantarnya. Sayang hari itu temannya tidak kuliah, terpaksa Mala menunggu angkutan umum.

Sudah menjadi hal yang umum diketahui, kalau di atas pukul enam sore angkutan umum bernama angkot itu sudah jarang lewat. Posisi kampus yang berada di ujung membuat angkot malas melewatinya dan lebih memilih memotong jalur. Hampir satu jam menunggu, belum tampak satu pun angkot. Mala kebingungan antara ingin naik taxi atau tetap menunggu angkot.

Mala tahu naik taxi sampai ke rumah pasti akan sangat mahal, sedangkan dia tidak memiliki uang. Dia tidak ingin merepotkan Bulik yang sudah baik menampungnya selama tinggal di kota. Naik ojek online dari tadi juga sulit dapat. Mungkin karena posisi kampusnya yang terkenal sulit signal atau bisa jadi kuotanya yang tinggal sedikit membuatnya menjadi sangat lambat.

Akhirnya, Mala pasrah dan memutuskan menunggu angkot. Dia menjadi girang ketika tak lama kemudian ada angkot yang lewat dan berhenti di depannya. Ada dua orang ibu di dalamnya. Mala pun naik dengan lega.

Sayang perasaan nyaman tak lama dia rasakan. Satu demi satu ibu itu pun turun di dekat perumahan yang mereka lewati. Ada sedikit rasa waswas ketika dia adalah satu-satunya penumpang. Namun, dia sedikit lega ketika kaca antara penumpang dan sopir dibuka. Dia mengenal sopir tersebut. Orang yang usianya sepantaran dengan dirinya dan selalu memperlakukannya dengan sopan. Mala pun merasa tenang dan sesekali berbincang dengan sopir tersebut.

Perjalanan sampai terminal masih cukup jauh dan dia ingin membunuh waktu agar tidak mengantuk, sambil berharap ada penumpang lainnya di perumahan depan. Sayang, sekali lagi harapannya tidak terwujud. Tidak ada penumpang dari perumahan yang terakhir mereka lewati. Sekarang jalur angkutan umum yang dia tumpangi memasuki kawasan persawahan yang sangat sepi. Dia mulai gelisah. Menjadi makin gelisah ketika di tengah perjalanan ada dua motor berpenumpang lima orang yang mencegat angkot. Rupanya para penumpang motor itu baru pulang menonton bola. Mereka pun berbincang akrab karena rupanya sang sopir mengenal para penumpang motor tersebut.

Awalnya yang mereka bicarakan adalah tentang pertandingan bola yang mereka saksikan. Kemudian, salah satu dari mereka mulai melirik Mala dan menggodanya. Sopir tersebut sempat melarang, tetapi sepertinya dia takut dengan salah satu dari kelima penumpang motor tersebut. Terbukti dia tidak bisa berbuat apa pun ketika melihat para penumpang motor tersebut memaksa Mala turun dari angkot dan menyeretnya ke persawahan. Terjadilah peristiwa laknat yang paling ditakuti oleh setiap gadis.

“Begitulah, Bu, kejadian yang saya dengar dari–“ Belum tuntas Bu Nur menyelesaikan kalimatnya, kami semua menjerit melihat Mala lemas dan kemudian pingsan.

Aku pun panik dan berteriak, Retnoo …  Antii … tolong aku!

Kedua orang teman yang berada di ruang belakang bergegas keluar. Mereka pun terlihat bingung ketika menyaksikan ada gadis muda yang pingsan di sofa ruang tamu. Ditambah ada wanita paruh baya yang menangis sesenggukan sambil mengguncang lengan gadis muda tersebut.

Ayo, Retno! Bantu aku membaringkan dia di sofa. Anti tolong carikan minyak kayu putih atau lainnya yang bisa merangsang indera penciumannya supaya dia cepat sadar, perintahku pada kedua teman tersebut.

Mereka pun melakukan apa yang kuminta. Di saat aku melonggarkan ikat pinggang Mala, Anti datang membawa roll on aromatik. Aku segera mengusapkan sedikit di dada dan menciumkannya beberapa kali ke hidung. Tak lama Retno datang membawakan dua gelas teh hangat dan meminta Ibu Nur meminumnya agar lebih tenang.

Aku memandangi wajah Mala yang masih belum sadar. Wajah manisnya terlihat pucat. Aku tahu dia syok. Mendengar buliknya bercerita, pasti dia teringat kembali kejadian yang menimpa dirinya. Wajar dia menjadi kehilangan kesadaran karena beratnya beban yang mesti ditanggungnya.

Hampir tiga bulan waktu yang kuhabiskan untuk mendampingi Mala. Mendampingi mengurus kasusnya secara hukum, juga untuk mengembalikan semangat hidupnya. Berulang kali Mala berupaya melakukan tindakan bunuh diri, tetapi gagal. Dia merasa dirinya sudah tidak berharga sebagai wanita.

Pagi tadi, Bu Nur menelepon dengan suara panik. Mala sakit katanya dan dia curiga Mala hamil. Dia bingung mesti berbuat apa. Aku pun terperanjat mendengar informasi ini dan memintanya membawa Mala ke rumah sakit untuk diperiksa.

Tak lama aku sudah berada di ruang dokter untuk mendengar diagnosis penyakit Mala. Dugaan Ibu Nur benar,  Mala hamil! Sungguh malang nasibnya. Kasihan gadis itu, entah bagaimana aku harus menyampaikan kabar ini.  Tanpa kehamilannya saja dia sudah terpuruk, apalagi nanti ketika dia tahu kondisinya.

***

Persidangan dimulai. Kondisi Mala yang depresi berat membuatnya tidak bisa bersaksi sebagai korban. Beruntung Wawan mengakui semua perbuatannya dan mau bersaksi melawan teman-temannya. Akhirnya, enam orang terdakwa itu dapat menerima hukuman yang setimpal. Meskipun buat korban pastilah itu tidak akan pernah setimpal dengan kehilangan kesucian juga impiannya.

Bu Andin, terima kasih banyak. Selama ini Ibu sudah mendampingi keponakan saya. Juga membantu menghukum semua pelaku kejahatan itu,” kata Bu Nur suatu sore di kantor Annisa Center.

Sama-sama, Bu. Saya harap apa yang saya lakukan bisa sedikit membantu meringankan beban Mala dan Bu Nur. Bagaimana kabar Mala,  Bu? tanyaku.

Alhamdulillah, setelah menjalani terapi di psikiater yang Bu Andin sarankan, saat ini kondisi Mala lebih baik. Dia tak lagi menyesali nasibnya dan mulai bisa menerima bayi dalam rahimnya,” jawab Bu Nur.

Alhamdulillah. Saya senang mendengarnya, Bu.”

Oh ya, kedatangan saya saat ini untuk berpamitan. Saya dan Mala akan kembali ke desa. Mala juga akan melahirkan di desa,” ucap Bu Nur.

Ooo, begitu. Senyamannya Mala saja. Kalau memang tinggal di desa membuat dia lebih tenang dan bisa melupakan peristiwa tersebut, kenapa tidak? Salam saya untuk Mala, ya, Bu,” balasku.

***

Waktu berlalu tanpa terasa, hampir lima tahun sejak aku membantu Mala. Meski banyak kasus yang aku tangani, tetapi aku tidak pernah melupakan gadis muda yang harus melepaskan mimpinya karena perbuatan keji orang lain.

“Mbak Andin ada yang cari, tuh, di ruang tamu,” panggil Retno.

“Siapa?” tanyaku.

“Entah. Dia gak mau ngaku,” balas Retno singkat.

Aku pun segera melangkah ke ruang tamu dan terkejut melihat dia duduk tenang di sofa.

“Kamu? Ada perlu apa kamu kemari?” tanyaku tanpa basabasi.

“Maaf kalau saya mengganggu. Sebenarnya sudah lama saya ingin menemui Bu Andin. Sejak saya bebas dari penjara, tapi saya takut dan malu. Sekarang saya memberanikan diri datang karena saya ingin menebus dosa saya. Tolong berikan alamat Mala, Bu.” Ucapan Wawan terlalu mengejutkan hingga aku terdiam.

Melihatku hanya diam, Wawan kembali berkata, “Tolong saya, Bu. Saya siap menikahi Mala kalau dia masih melajang dan mau menerima. Kalau tidak mau, saya siap memenuhi kebutuhan hidupnya. Saya mohon, Bu.”

Melihat kesungguhan Wawan, aku pun berkata, “Saya tanyakan dulu pada buliknya, ya. Nanti saya kabari.”

Ternyata Bu Nur tidak keberatan dengan keinginan Wawan. Sekarang kondisi Mala sangat baik. Mungkin dia bisa menerima Wawan. Seperti pagi ini, aku dalam perjalanan mengantar Wawan menemui Mala. Setelah dua jam perjalanan, kami pun sampai di desa Mala. Tidak sulit mencari rumah Mala. Dari jauh kami sudah melihat Mala bermain dengan seorang gadis kecil. Wawan terlihat menatapnya lekat. 

“Siapa gadis kecil itu, Bu?” tanya Wawan.

“Anak Mala,” jawabku singkat karena aku sedang konsentrasi menyetir. 

“Maksud Bu Andin … Mala hamil waktu itu?” Wawan bertanya.

“Ya. Mala hamil sejak peristiwa itu,” Aku menjelaskan.

Wawan membekap mulutnya. Tak sabar dia segera keluar dari mobil yang belum berhenti sempurna, kemudian menghampiri ibu dan anak tersebut. Tanpa diduga, melihat kedatangan Wawan,  Mala berdiri dari kursi dan wajahnya menjadi pias.

“Kakamu?! Mau apa kamu kemari?! Berani sekali, hah!” jerit Mala sambil menuding Wawan. “Pergi! Pergi dari sini!” Jeritan Mala semakin tak terkontrol. Dia berlari masuk dan kembali keluar sambil menghunus pisau.

“Tenang … tenang Mala. Aku bermaksud baik!” Wawan mencoba menenangkan Mala. Namun, percuma Mala terlanjur kalap.

Demi menghindari hal yang tidak diinginkan, aku mendorong Wawan masuk ke mobil dan segera berlalu dari hadapan Mala. Aku juga mengabarkan kepergianku pada Bu Nur.

Beberapa hari kemudian aku menerima kabar menyedihkan dari Bu Nur. Mala mencoba bunuh diri, lagi. Meski sudah lima tahun berlalu, ternyata luka itu masih ada dan meninggalkan trauma yang sulit dihilangkan.(*)

 

 

Bionarasi

Ardhya Rahma, nama yang ingin ditorehkan dalam setiap buku yang ditulis. Berdarah campuran Jawa dan Kalimantan. Mempunyai hobi membaca dan travelling. Baginya, menulis adalah proses mengikat ilmu dan pengalaman hidup. Berharap mampu menuangkannya dalam buku yang sarat makna bagi pembaca. Tulisan yang lain bisa dijumpai di akun FB @Ardhya Rahma

 Editor: Respati

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

 

 

Leave a Reply