Luka dalam Diam (Episode 7)

Luka dalam Diam (Episode 7)

Luka dalam Diam (Episode 7)

Oleh: Cici Ramadhani

 

Dua bulan kemudian.

“Assalamu’alaikum, Ibu. Gimana kabar Ibu hari ini?” balas Nina pada deringan pertama gawainya. Tak butuh waktu lama mengangkat telepon dari orang yang selalu dirindukannya.

“Waalaikumsalam, alhamdulillah ibu dan adik-adikmu baik-baik saja. Kamu sendiri gimana, cowok itu jadi menemuimu?” Bu Fatimah menanyakan tujuan utamanya menelepon putri sulungnya itu. Bu Fatimah ingin putrinya membuka hati pada seorang pria, berharap rasa benci pada bapaknya perlahan hilang.

“Gak jelas, Bu, kemarin katanya mau ketemu ketika mengantar neneknya ke Asrama Haji. Tapi kemudian dia bilang gak sempat. Terus, tadi malam telponan tiba-tiba nanya, Nina pernah pacaran berapa kali? Nina jawab aja asal, udah 7 kali. Hehehehe.” Geli, Nina membayangkan percakapannya dengan Hendra.

Hendra adalah anak dari lelaki paruh baya yang meminta nomor HP Nina saat mobil Pak Firman mogok dua bulan lalu.

Hendra sering menelepon Nina. Dua bulan mereka melakukan pendekatan melalui media sosial. Namun, Nina tidak merasakan getaran apa pun. Bahkan Nina sangat takut ketika Hendra ingin bertemu.

“Kenapa kamu jawab seperti itu?” tanya Bu Fatimah heran.

“Iseng, Bu. Lagian pertanyaannya aneh.”

Bu Fatimah terdengar mengembuskan napas perlahan. Sungguh, ternyata anakku tidak mengerti pertanyaan pemuda itu, pikirnya.

“Nin, kamu tau? Sebenarnya dia ingin tau seberapa banyak kamu dekat dengan laki-laki.”

“Terus, kalau banyak dekat dengan laki-laki emangnya kenapa, Bu?” tanya Nina heran.

“Ya, dia pasti mikirnya macam-macam, lah, kalau kamu sudah pacaran segitu banyak,” jelas Bu Fatimah kemudian.

“Biarin aja, Bu, lagian Nina takut kalau ketemu dia. Di bayangan Nina tuh, wajahnya pasti jelek, pasti tubuhnya ada cacatnya karena kecelakaan motor itu. Kakinya sampai patah, kok, Bu. Ih, Nina takut.” Mendadak Nina bergidik ngeri.

“Kalau dia gak jelek, ngapain coba bapaknya sibuk carikan calon buat anaknya. Kan, bisa cari sendiri, apalagi PNS kan gak susah cari jodoh, Bu” sambung Nina kemudian.

“Ya sudah, terserah kamu saja,” akhirnya Bu Fatimah mengakhiri percakapan.

Benar saja seperti kata Bu Fatimah, sejak terakhir percakapan Nina dengan Hendra, cowok itu tidak pernah lagi menghubungi Nina. Sudah dua minggu. Nina pun tidak peduli, hanya saja dia tak habis pikir, Kenapa jaman sekarang orang masih memiliki pandangan sempit seperti Hendra. Apa salahnya jika punya pacar banyak?

*

Nina sedang menonton Extravaganza ketika gawainya berbunyi. Ternyata, SMS dari MbaK Sari, anak dari Bude Ratna—kakak Pak Brata.

Nin, besok pagi joging yuk!

Dimana mba? Lapangan Merdeka atau Kartika?

Lapangan Merdeka aja, sama mba Dian juga.

Oke!

Nina memasukkan gawainya ke dalam kantong celananya, kemudian melanjutkan tontonannya sambil tertawa-tawa sendiri. Beginilah tiap malam Minggu Nina, menjaga warung milik pakdenya sambil menonton TV. Extravaganza tontonan favoritnya, karena bisa membuatnya tertawa lepas.

“Mbak, Lala jalan bentar ya, sama Rizal.” Lala, anak bungsu Pakde Rahmat, masuk ke dalam warung, berpamitan pada Nina yang sedang asyik menonton TV. Setiap malam, Nina memang bersama dengan Lala menjaga warung. Kalau pagi, warung dijaga oleh Bude Sri—istri Pakde Rahmat.

“Mbak, mau dibelikan apa? Burger?” tawar Lala.

“Hmm … Boleh, Dek,” jawab Nina.

Pakde Rahmat memiliki tiga anak perempuan dan dua anak laki-laki. Tapi, cuma Lala yang dekat dengan Nina. Mungkin karena Lala seumuran dengan Angga, dan sifat Lala yang ramah terhadap Nina, membuat Nina lebih nyaman pada Lala.

“Pergi bentar ya, MbaK,” pamit Rizal, pacarnya Lala. Mereka sudah berpacaran sejak kelas X dan kini mereka sudah kelas XI.

Nina hanya membalas dengan anggukan dan senyuman.

Satu jam kemudian, Lala dan Rizal pulang dengan membawa bungkusan buat Nina. Nina langsung melahap burger-nya. Sudah biasa, tiap kali ngapel, Rizal akan membawa makanan buat Pakde Rahmat dan Bude Sri, dan juga terkadang buat Nina.

Nina melihat jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Biasanya, tiap malam Minggu, warung tutup jam sebelas. Namun malam ini, Nina memutuskan untuk tidur lebih awal.

Nina berjalan ke teras rumah, menghampiri Lala yang sedang duduk bersama Rizal.

“La, mau tutup warung jam berapa? Mbak mau tidur. Besok mau jogging sama Mbak Sari dan Mbak Dian.”

“Ya udah, Mbak duluan tidur aja. Biar Lala yang jaga warung, nanti biar dibantu Rizal nutupnya.”

“Ok!” jawab Nina, langsung masuk ke dalam rumah. Sebelum tidur Nina menunaikan salat Isya terlebih dahulu.

*

Pukul enam, ketiga gadis tersebut—Nina, Mbak Sari, dan Mbak Dian—berangkat ke Lapangan Merdeka. Mereka memang lebih sering menghabiskan waktu kebersamaan dengan olahraga dibandingkan dengan jalan ke mall.  Itu karena mereka ingin kurus walaupun sebenarnya tubuh mereka tidak terlalu gemuk.

Tentu, sudah jadi kebiasaan para gadis untuk memperhatikan bentuk tubuhnya. Bahkan, Nina dan Lala mengikuti Dian yang sempat kurus karena mengkonsumsi pil diet. Tapi, itu tidak berlangsung lama karena Nina dan Lala ketahuan oleh Bude Sri—ibunya Lala—hingga akhirnya mereka berdua mendapat omelan, “Minum pil diet itu resikonya banyak! Salah satunya peranakan kalian bisa kering, susah punya anak!” Bude Sri selalu menemukan di mana kedua gadis itu menyimpan pil dietnya dan langsung membuangnya.

“Nina?” tegur seorang pria saat ketiga gadis itu duduk, beristirahat di pinggir lapangan.

Nina mengerutkan dahinya, mencoba mengingat wajah lelaki di hadapannya. Seperti pernah lihat tapi dimana? batin Nina.

“Ini Kak Iwan, kakak kelas kamu di SMA,” jelasnya kemudian.

Nina tersenyum dengan ekspresi bahwa dia mulai mengingat lelaki tersebut.

“Sering olahraga dinsini? Sama siapa?” Iwan ikutan duduk di samping Nina.

“Kadang-kadang aja, Kak,” jawab Nina ramah. “Oh ya, kenalin nih kak sepupuku, Mbak Dian dan Mba Sari.” Dian dan Sari menjabat tangan Iwan bergantian.

Sari melihat jam tangannya menunjukkan pukul delapan lewat. “Kita pulang yuk,” ajaknya lalu berdiri.

“Yuk,” balas Dian ikut berdiri.

“Maaf ya, Kak, kami pulang duluan.” Kini Nina ikutan berdiri sambil berpamitan pada Iwan.

“Eh, kok cepat kali.” Seketika, Iwan juga ikutan berdiri.

“Udah dari jam enam lewat di sini kak,” jawab Nina ramah.

“Oh ya, kalau gitu Kakak minta nomor HP kamu, dong.”

“Boleh, Kak, ini nomor Nina.” Nina kemudian membacakan nomor handphone-nya. Kemudian, ketiga gadis itu berpamitan pulang ke rumah.

Malamnya, saat menjaga warung, tiba-tiba gawai Nina berbunyi. Nina mengambil gawainya dari dalam kantong celana. Dia melihat sebuah pesan dari Iwan.

Assalamu’alaikum, lagi apa, Dek?

Waalaikumsalam, lagi jaga warung, Kak.

Adek tinggal di mana? Kakak boleh main ke rumah?

Nina tinggal di rumah Pakde, Kak. Boleh, Kak, tapi emang kakak tau alamat Nina? Nina menuliskan alamatnya.

Gampang, Dek. Minggu depan Kakak datang ya.

Boleh, Kak. (*)

 

Episode 6 (Sebelumnya)

Episode 8 (Selanjutnya)

 

Cici Ramadhani menyukai literasi sejak SMP. Namun, sempat terhenti hingga beberapa waktu. Kini, setelah menjadi IRT dan bergabung dalam grup literasi, mencoba kembali mengasah hobi lama dan mulai menyampaikan pesan melalui kata. Suatu saat berharap bisa bercerita tentang alam karena sangat menyukai warna birunya laut, suara air terjun, dan dinginnya hawa pegunungan. Semoga dalam tiap cerita dapat tersampaikan hikmah dan bermanfaat bagi pembaca

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply