Luka dalam Diam (Episode 6)
Oleh: Cici Ramadhani
Nina menyimpan kembali foto yang sejak tadi dipandangnya. Ia lantas menghapus air mata yang telah membasahi pipi. Rindu ini sungguh menyakitkan … biarlah ini hanya menjadi kenangan, bisik batinnya lirih.
“Nin, kamu di mana?” Teriakan Bu Fatimah membuyarkan lamunan Nina.
Nina segera ke luar kamar saat mendengar Bu Fatimah memanggil namanya. “Ada apa, Bu?”
“Nin, kamu balik ke kota besok pagi saja. Tadi Ibu bertemu Naya, nanyain kamu udah balik atau belum. Katanya kalau belum, bareng naik mobil mereka aja. Besok mereka mau berlebaran ke rumah saudaranya yang ada di kota,” jelas Bu Fatimah.
“Ya udah, Bu, kalau begitu. Alhamdulillah jadi irit ongkos busnya. Hehehehe,” jawab Nina cengar-cengir.
Naya adalah saudara jauh keluarga Pak Brata. Mereka sudah saling mengenal sejak Bu Fatimah pindah ke kota kecil ini bersama anak-anaknya. Rumah Naya dan Nina juga masih satu kompleks. Jadi, Nina tidak merasa canggung untuk bepergian bersama keluarga Naya. Dulu juga, Nina pernah diajak liburan ke Padang oleh Naya.
***
“Bu, Nina berangkat, ya. Doain Nina, ya, Bu, dan ibu juga jaga kesehatan,” pamit Nina sambil mencium punggung tangan ibunya.
“Ibu selalu mendoakanmu, pandai-pandailah bawa diri di rumah orang, ya,” pesan Bu Fatimah sambil mengelus kepala Nina yang tertutup jilbab instan.
“Kalian baik-baik sekolah, ya. Bantuin Ibu, jangan ngelawan,” pesan Nina kemudian pada adik-adiknya yang mulai menciumi tangan Nina bergantian.
Angga, Doni, dan si kecil Farhan hanya mengangguk.
“Kakak tenang aja, kami baik-baik, kok,” ucap Angga sambil cengengesan.
Nina kemudian masuk ke dalam mobil orang tua Naya. Membuka jendela dan melambai pada ibu dan adik-adiknya.
***
Setelah dua jam perjalanan, mereka merasakan ada yang aneh pada mobil yang mereka tumpangi.
“Pa, mobil kita kenapa ya? Suara apa itu, Pa?” tanya Naya pada papanya.
“Iya, suara apa itu, ya? Sebentar, Papa tepikan dulu mobilnya.” Mobil pun berhenti di pinggir jalan setelah dirasa tidak akan menggangu kendaraan lain yang lewat.
“Waduh, bannya bocor!” ucap Pak Firman setelah mengecek ke belakang mobil.
Akhirnya semua penumpang dalam mobil turun untuk melihat kondisi mobil. Pak Firman menjadi montir dadakan.
Pak Firman mengganti ban mobil seorang diri, karena memang hanya Pak Firmanlah laki-laki yang ada di dalam mobil. Keempat penumpang lainnya semua anak gadis yang sama sekali tidak mengerti otomotif.
“Kita di mana ini, Kak?” tanya Nina pada Naya.
Nina melihat sekeliling, hanya ada perbukitan yang ditanami pohon sawit, rerumputan liar, dan jurang. Keempat gadis itu bersandar pada batas jalan sisi jurang tersebut.
“Kakak juga gak tau. Mana gak ada sinyal lagi.” Naya menaikkan HP-nya tinggi-tinggi, berharap mendapatkan sinyal.
Seperti kompakan, ketiga gadis yang lain melihat HP-nya masing-masing. Tak banyak yang lewat di jalan ini. Hanya beberapa motor yang melintas.
Matahari mulai naik. Setelah sejam menunggu, akhirnya mereka melanjutkan perjalanan. Nina mulai memejamkan matanya. Ini adalah cara ampuh agar ia tidak muntah. Nina mabuk darat, biasanya ia minum Antimo agar sepanjang perjalanan dapat tidur. Namun, kali ini ia lupa meminumnya.
***
“Nin, bangun.” Yani mengguncang pelan bahu Nina. Yani adalah sepupu Naya.
“Udah sampai mana kita, Kak?” tanya Nina setelah keluar dari mobil.
Yani hanya mengangkat kedua bahunya.
“Kita makan dulu, ya, sekalian Papa mau cari bengkel. Mobil kita kayaknya ada masalah,” ucap Pak Firman setelah mereka semua duduk di sebuah warung makan pinggir jalan.
“Mobil tua, sih, Pa” sahut Tari, putri bungsu Pak Firman.
Pak Firman adalah seorang duda dengan tiga anak gadis. Pak Firman sendiri seorang perwira polisi. Istrinya baru dua tahun lalu meninggal dunia karena sakit kanker payudara.
Setelah selesai makan, Pak Firman pergi bersama seseorang. Keempat gadis itu duduk di bangku panjang yang tersedia di depan pintu masuk warung makan.
Nina menatap sekeliling, hanya ada perbukitan di tumbuhi pohon-pohon liar. Sepi … Hanya ada warung makan di sini.
“Kalian sedang apa?” tanya seorang pria paruh baya.
Kompak, Nina, Naya, Yani dan Tari menoleh ke arah suara. Kemudian, mereka saling pandang.
Naya yang paling tua diantara yang lain angkat suara. “Mobil kami mogok, Pak. Papa kami lagi cari bengkel,” jelasnya.
Kemudian Naya terlibat obrolan panjang pada pria paruh baya itu yang ternyata juga seorang polisi, seperti Pak Firman.
“Kamu kuliah, Nak?” tanyanya pada Nina.
“Hah, saya, Pak?” Nina meyakinkan diri bertanya, melihat pria itu menoleh ke arahnya.
“Iya, nama kamu siapa?”
Nina yang sedari tadi hanya diam saja merasa kikuk menjawab pertanyaan pria itu.
“Nama saya Nina, Pak. Saya kuliah semester tiga,” jelas Nina.
“Di Medan?” tanyanya lagi.
“Iya, Pak,” jawab Nina sambil mengangguk.
“Boleh Bapak minta nomor HP kamu?”
Syok, serentak keempat gadis itu saling pandang. Biasanya yang minta nomor HP dan mengajak kenalan adalah muda-mudi, tapi kali ini, justru yang melakukannya adalah seorang pria paruh baya, dengan alasan “untuk diberikan kepada anaknya”.
Aneh. Kok, cuma aku, ya? Kami kan bertempat di sini, batin Nina.
“Bapak punya anak laki-laki. Sudah PNS. Tapi, ia pernah kecelakaan. Mungkin kalian bisa cocok. Ya … kenalan aja dulu,” ucapnya kemudian.
Nina menatap kembali ketiga temannya, tatapannya mengisyaratkan pertanyaan “aku harus bagaimana?”.
“Udah, kasi aja, Nin, itung-itung nambah teman,” bisik Naya yang duduk di sebelah Nina.
“Ini, Pak, nomor HP saya.” Nina mulai membacakan nomornya dan disalin oleh pria paruh baya tersebut di gawai miliknya.
Setelah mendapat nomor HP Nina, pria paruh baya itu pamit. (*)
Cici Ramadhani menyukai literasi sejak SMP. Namun, sempat terhenti hingga beberapa waktu. Kini, setelah menjadi IRT dan bergabung dalam grup literasi, mencoba kembali mengasah hobi lama dan mulai menyampaikan pesan melalui kata. Suatu saat berharap bisa bercerita tentang alam karena sangat menyukai warna birunya laut, suara air terjun, dan dinginnya hawa pegunungan. Semoga dalam tiap cerita dapat tersampaikan hikmah dan bermanfaat bagi pembaca
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata