Luka dalam Diam (Episode 5)

Luka dalam Diam (Episode 5)

Luka dalam Diam (Episode 5)

Oleh: Cici Ramadhani

 

Hari berikutnya, Kumbara sering datang untuk makan ke warung Bu Fatimah. Walau hanya makan sehari sekali.

“Tumben, anak itu makan sendiri. Biasanya rame-rame sama temennya,” gumam Bu Fatimah pelan, namun cukup jelas di telinga Nina.

“Siapa, Bu? Mas Kum?” Nina balik bertanya.

“Iya, siapa lagi? Kan, cuma dia yang baru selesai makan dari sini.”

“Udah hampir tiap hari Mas Kum datang makan sendiri, Bu,” jelas Nina.

“Oh ya? Kok ibu gak tau?” Dahi Bu Fatimah berkerut.

“Yah, kadang ibu tidur … atau pas ibu belanja ke pasar,” jelas Nina gugup.

***

Bu Fatimah sedang menemani Farhan tidur di kamar. Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Seperti biasa, tidak banyak pelanggan yang datang jam segini. Namun seperti yang sudah-sudah, Kumbara selalu menikmati makan siangnya di jam seperti ini, dalam suasana warung yang sepi. Hari itu pun Kumbara kembali datang, dan Nina kembali menghidangkan makanan pada Kumbara, lalu menemaninya menghabiskan makanan. Hanya saja, wajah Nina hari ini terlihat sedih. 

“Kenapa, Dek?” tanya Kumbara setelah selesai makan.

“Kenapa? Gak ada apa-apa,” Nina berusaha mengelak, tapi tidak dengan raut wajah sendunya.

“Wajah ditekuk gitu, gak mungkin gak ada apa-apa. Coba cerita sama Mamas, mungkin Mamas bisa bantu.”

Nina menarik napas kemudian melepaskannya perlahan. Matanya mulai berkaca-kaca. Hatinya bimbang, kepada siapa ia akan bercerita. Selama ini tempat berkeluh kesahnya hanyalah ibunya. Tapi kini, kesedihan yang ia rasakan justru berasal dari ibunya.

Nina menarik napas lagi, dan menghembuskan perlahan.

“Ibu mau menikahkan Nina, Mas,” Nina berusaha menahan gejolak di dadanya. Rasa sedih, marah menjadi satu. Tapi ia tak mampu meluapkannya pada ibu yang telah berjuang bahkan sebelum Nina lahir ke dunia.

Terlihat raut wajah Kumbara yang terkejut cukup lama. “Lanjutkan,” ucapnya dengan raut wajah telah yang tenang.

“Tadi malam ibu cerita, Bu Rosa, tetangga depan rumah, mau meminang Nina buat adik iparnya. Adik iparnya seorang polisi berpangkat briptu dan sedang mencari jodoh—gadis yang tamat SMA. Kalau memang Nina tidak melanjutkan kuliah, mereka tetap ingin meminang Nina. Seserahannya nanti 10 gram emas,” jelas Nina tanpa mengurangi kata yang ia dengar dari ibunya.

Kumbara masih diam mendengarkan sambil menatap lekat sepasang mata gadis yang beberapa bulan ini menemaninya makan.

“Nina belum mau menikah, Mas. Nina masih pengen kuliah, bekerja … bantu adik-adik sekolah.” Nina membuang wajahnya, berusaha menahan air mata yang terasa akan tumpah. Ia tak ingin terlihat menyedihkan di hadapan orang lain.

Kali ini Kumbara yang menarik napas, berusaha mengisi paru-parunya dengan oksigen. Mengapa aku yang merasa sesak, batinnya.

“Adek udah coba bicara sama Ibu, tentang keinginan Adek? Coba bicara pelan-pelan sama Ibu,” ucap Kumbara kemudian.

“Sudah, Mas, tapi kata Ibu, perempuan itu kodratnya di dapur. Lagian Ibu gak punya biaya buat Nina kuliah. Padahal, Nina udah berjanji kalau Nina kuliah bakal bantuin adik-adik meringankan beban Ibu … Nina gak mau nikah, Mas.”

Nina menelungkupkan wajahnya di meja. Mencoba meredakan sesak di dada.

“Ya udah, Adek tenang dulu, ya. Nanti biar Mamas yang coba bicara sama Ibu.”

Nina mengangkat kepalanya. Menatap wajah Kumbara. Senyum manis menghiasi wajahnya. Mereka saling tersenyum.

“Beneran, Mas? Tapi apa Ibu mau dengar?” Nina kembali manyun.

“Insha Allah. Adek tenang aja, ya.” Kumbara tersenyum meyakinkan.

“Mas balik ke kantor dulu, ya. Nanti sore jam 6, Mas datang lagi.”

Kumbara pun berlalu setelah membayar. Dan, Nina tetap memandang punggung lelaki itu sampai hilang dari pandangan.

***

Setelah cukup lama Nina menanti dengan gelisah, akhirnya yang ditunggu datang juga. Kumbara turun dari motornya, membuka helm, dan masuk ke dalam warung. Nina menyambutnya dengan senyum manis.

“Ibu mana, Dek?” tanya Kumbara setelah duduk.

“Ada di belakang, Mas. Sebentar, ya, Nina panggilkan.”

Kumbara mengangguk dan kemudian Nina berlalu.

“Bu, ada Mas Kumbara. Katanya mau ketemu Ibu,” ucap Nina perlahan dengan degup jantung bertalu-talu.

“Ada apa, ya?” gumam Bu Fatimah sambil berjalan ke depan. Nina hanya diam saja. Tak menyahut pertanyaan Bu Fatimah.

“Assalamu’alaikum, Bu,” sapa Kumbara sambil mencium tangan Bu Fatimah.

“Waalaikumsalam, ada apa ya, Nak?” tanya Bu Fatimah penasaran.

“Ada yang mau saya bicarakan, Bu,” ucapnya kemudian, setelah Bu Fatimah duduk.

“Tentang apa, ya?” Dahi Bu Fatimah berkerut.

“Dek, boleh tinggalkan Mamas berdua dengan Ibu?” pinta Kumbara sambil menatap Nina yang berdiri di samping Bu Fatimah.

“Tapi Nina pengen dengar.” Ada kesal di wajah Nina saat mendengar Kumbara memintanya pergi.

“Tapi Mas cuma mau ngomong berdua dengan Ibu. Adek tunggu di kamar aja, ya,” perintahnya.

Nina tak lagi bisa berontak. Akhirnya, ia berjalan masuk kamar.

***

“Mbak, dipanggil Ibu,” ucap Farhan saat masuk kamar.

Nina keluar dari kamar, kemudian menghampiri Kumbara dan ibunya.

“Sudah selesai, Bu, bicaranya? Ngomongin apaan, sih?” tanya Nina sambil melihat ke arah Bu Fatimah dan Kumbara bergantian.

“Rahasia, ya, Bu,” ucap Kumbara sambil tersenyum jail ke arah Nina.

Nina mengerucutkan mulutnya.

“Sudah, nih. Mas Kum mau pulang. Ibu juga mau beres-beres dapur sebentar,” ucap Bu Fatimah sambil berlalu ke dapur.

“Apa kata Ibu, Mas?” tanya Nina setelah ibunya berlalu.

“Nanti Ibu sendiri yang ngomong sama Adek,” ucapnya sambil berdiri. “Mas mau pulang. Udah mau magrib, Dek.”

Kumbara berjalan keluar dari warung, menuju motornya, sementara Nina mengikutinya dari belakang. Kumbara memakai helm dan duduk di motornya.

“Udah, masuk sana. Jangan sedih lagi, ya. Mamas pulang dulu,” pamit Kumbara kemudian melajukan motornya, berlalu. Nina menatap pria itu sampai hilang dari pandangan.

***

Hari berikutnya, Nina dan Bu Fatimah hanya berdua di warung. Pukul lima sore, ini adalah waktu-waktu senggang di warung, di mana pembeli tidak sebanyak jam makan siang.

“Nin, Ibu sudah bicara pada Bu Rosa. Ibu sudah bilang kalau kamu tidak mau menikah dan mau kuliah,” ucap Bu Fatimah memecah keheningan. Memang, sejak pembicaraan pernikahan itu, ibu dan anak ini hanya banyak diam.

“Benar, Bu?” Mata Nina berbinar mendengar penuturan ibunya.

“Iya, setelah Kumbara kemarin ngomong sama Ibu, Ibu terus memikirkannya,” jelas Bu Fatimah sambil mengelus rambut Nina yang kini sudah dalam pelukannya.

“Emang Mas Kum ngomong apa, Bu?” tanya Nina sambil melepaskan pelukannya.

Bu Fatimah tersenyum. “Intinya, rezeki tiap anak itu beda-beda, dan insha Allah pasti ada buat Nina kuliah selama kita mau berusaha,” jelas Bu Fatimah kemudian.

Nina akhirnya tersenyum lega dengan penjelasan ibunya, walau sebenarnya ia masih penasaran bagaimana Kumbara meluluhkan hati ibunya.

“Terima kasih, ya, Bu,” ucap Nina kembali memeluk erat ibunya.

“Jangan lupa bilang terima kasih juga sama masmu.” Senyum jail Bu Fatimah membuat Nina merona malu.

***

“Mas, makasih, ya, akhirnya ibu membatalkan perjodohan itu,” ucap Nina setelah Kumbara menyelesaikan makannya.

Kumbara hanya tersenyum mendengar kata-kata Nina.

“Mas Kum punya pacar?” tanya Nina kemudian. Entah apa yang mendorongnya untuk bertanya seperti itu pada Kumbara. Nina sudah tidak mampu menutupi rasa penasarannya.

“Gak ada, cuma teman dekat, kayak adik gini.” Lagi-lagi Kumbara menebar senyum manisnya.

Deg. Jantung Nina berdetak tak karuan.

“Gak mungkin Mas belum punya pacar. Boleh Nina lihat foto teman dekat Mas itu?” pinta Nina masih penuh penasaran.

Kumbara tersenyum kemudian mengeluarkan gawai dari kantong celananya. ia mengulurkan gawainya pada Nina. Ada wajah beberapa orang layar itu.

“Yang mana Mas, ceweknya?” Nina menautkan alisnya.

“Yang pakai kacamata. Yang lainnya itu mbaknya Mamas dan masnya Mamas,” jelas Kumbara.

“Cantik,” gumam Nina.

“Masih lebih cantik Adek.” Kumbara mengambil gawainya dari tangan Nina kemudian memasukkannya kembali ke dalam saku celananya.

Nina tersenyum, namun ada perih yang terasa di hati. Mana mungkin teman biasa tapi sudah foto dekat dengan keluarganya, batin Nina.

“Dia satu kampung Mamas dek, makanya dekat juga sama keluarga Mas yang lain,” jelas Kumbara seakan mendengar isi hati Nina.

Nina tersenyum dan suasana menjadi hening. Mereka sibuk dengan pemikiran masing-masing. Hingga akhirnya Kumbara memutuskan kembali ke kantor setelah membayar makanannya.

***

“Mas, Nina mau berangkat ke kota. Mau daftar kuliah,” ucap Nina di lain hari.

“Kapan berangkatnya?” tanya Kumbara.

“Nanti malam, naik bus.”

Suasana hening kembali.

“Mas, Nina boleh minta foto Mas gak? Buat kenang-kenangan,” pinta Nina sambil menyembunyikan rasa malunya.

Kumbara tersenyum, kemudian membuka dompetnya. Mengambil foto dan kemudian menyodorkannya ke arah Nina.

Nina menatap foto ukuran dompet yang kini di tangannya sambil tersenyum lebar. Wajah pria yang beberapa bulan ini mengisi hatinya. Dia, dengan senyum terukir di wajah menggunakan pakaian PNS, bersandar di pintu mobil dengan tangan bersedekap di dada. Keren dan manis, batin Nina.

“Kuliah bagus-bagus, ya, Dek. Semoga cita-cita Adek tercapai.” Kumbara beranjak dari duduknya kemudian mengulurkan tangannya.

Nina terkejut, kemudian segera menyambut mencium tangan Kumbara. Ini pertama kalinya mereka berjabat tangan. Ada desiran halus di hati Nina.

Kumbara berlalu dan Nina menatap lekat punggung itu sampai hilang. Mungkin aku tak kan pernah menatap punggung itu lagi, batin Nina. Tanpa ia sadar airmatanya menetes.

Tak pernah ada kata cinta di antara mereka. Tapi hatinya tak bisa berdusta, bahwa ia menyukai pria itu. Brama Kumbara. Pria yang mengisi hari-harinya beberapa bulan ini. Seorang PNS yang berasal dari keluarga kaya, pemilik perkebunan di kampungnya. Itulah yang ia dengar saat teman kantornya bercerita pada Bu Fatimah di warung. Menceritakan kesederhanaan Kumbara, meskipun ia berasal dari keluarga kaya raya. Cerita itu membuat Nina menciut, tak berani mencinta lelaki yang sangat jauh dari genggaman.

Walau Kumbara pernah beberapa kali memberi sinyal pada Nina, namun Nina tak mengerti. Bukan Nina tak mengerti, tapi Nina tak cukup percaya diri bahwa seorang Brama Kumbara menyukainya. Seorang gadis tanpa dampingan seorang bapak da berusaha keras memenuhi kebutuhan hidup bersama ibunya. (*)

Bersambung …

 

Episode 4 (Sebelumnya)

Episode 6 (Selanjutnya)

 

Cici Ramadhani menyukai literasi sejak SMP. Namun, sempat terhenti hingga beberapa waktu. Kini, setelah menjadi IRT dan bergabung dalam grup literasi, mencoba kembali mengasah hobi lama dan mulai menyampaikan pesan melalui kata. Suatu saat berharap bisa bercerita tentang alam karena sangat menyukai warna birunya laut, suara air terjun, dan dinginnya hawa pegunungan. Semoga dalam tiap cerita dapat tersampaikan hikmah dan bermanfaat bagi pembaca

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply