Luka dalam Diam (Episode 4)
Oleh: Cici Ramadhani
Akhirnya, Nina memutuskan pergi bersama Bu Fatimah dan si bungsu Farhan, sedangkan Angga dan Doni lebih memilih berlebaran ke rumah teman sekolahnya.
Matahari mulai naik ketika mereka sampai di lapangan. Penonton mulai memenuhi area, para pedagang juga terlihat di mana-mana. Ya, momen seperti ini tentu dimanfaatkan para pedagang, karena memang banyak orang yang butuh hiburan, apalagi ini masih suasana lebaran.
Nina berjalan sambil matanya tak lekang mencari sosok yang memang menjadi tujuannya berpeluh ke tempat ini. Dan, kebetulan ibu dan anak itu bertemu dengan sang pembalap.
“Mas Kum,” suara Nina terdengar bersemangat.
Pria itu menoleh, kemudian mendekat. “Buk’e, apa kabar?” Pria itu meraih tangan Bu Fatimah kemudian menciumnya.
“Alhamdulillah, baik. Mas Kum ikutan balap?” tanya Bu Fatimah penasaran.
“Hehehe, iya, Buk. Daripada balapan liar di aspal, jatuh luka-luka, mending balapan di tanah. Menyalurkan hobi aja, Buk,” jelas Kumbara sambil melihat Nina.
Nina yang sedari tadi mencuri pandang secepatnya menundukkan wajahnya dan mempererat pegangannya pada lengan Bu Fatimah.
“Bram, cepatan siap-siap, yuk!” Seorang pria menghampiri Kumbara.
“Buk’e, pamit dulu, ya,” ucap Kumbara berpamitan dan mengacak rambut Doni yang sedang asyik menyeruput es di tangannya.
“Semoga juara, ya, Mas,” ucap Nina sambil mengangkat wajah.
Kumbara hanya membalas dengan senyuman. Senyuman itu kembali membuat debaran aneh di hati Nina. Selalu senyuman yang sama. Nina menatap punggung pria itu sampai hilang tertutupi punggung banyak orang.
Tak berapa lama menonton balapan, Nina mengajak Bu Fatimah dan Farhan pulang.
“Kita pulang, yuk, Bu. Hari sudah sangat panas, kita juga gak tau Mas Kumbara yang mana,” ucap Nina sambil tetap memperhatikan para pembalap yang kejar-kejaran.
Debu-debu dari tanah kering hasil lintasan para pembalap pun beterbangan di udara, membuat napas Nina seakan terganggu.
“Ya udah. Yuk!” ajak Bu Fatimah kemudian.
***
Seminggu setelah lebaran, Nina mulai mem-packing pakaiannya ke dalam tas. Dia akan kembali ke kota. Liburan sisa beberapa hari lagi, tapi Nina memutuskan cepat kembali karena ingin bersilaturahmi dulu ke rumah sanak saudara sebelum masuk kerjta
Nina menatap foto kecil di tangannya yang dia ambil dari dalam album. Brama Kumbara. Nina berharap pria itu akan menemuinya setelah bertemu di lapangan kemarin. Tapi harapan tak sesuai kenyataan.
Brama Kumbara adalah salah satu langganan Bu Fatimah. Setelah tamat SMA, Nina menganggur. Karena itu selama beberapa waktu, Nina pun mengisi waktu dengan membantu menjaga Doni dan sesekali membantu ibunya di warung.
***
Dua tahun lalu.
Entah bagaimana mulanya, Nina menjadi dekat dengan Kumbara. Biasanya Kumbara makan bersama teman-temannya. Namun hari itu, Kumbara makan sendiri ketika warung Bu Fatimah sepi.
“Dek, ada soto?” tanya Kumbara, mengagetkan Nina yang sedang asyik menonton TV.
“Eh, ada …,” jawab Nina terbata-bata.
“Satu, ya, sekalian perkedelnya tiga,” lanjut Kumbara sambil tersenyum, kemudian duduk memperhatikan Nina menyiapkan pesanannya.
Saat itu, Bu Fatimah sedang belanja ke pasar dan Farhan tidur di kamar yang ada di warung. Kamar itu tidaklah besar, cukup untuk shalat dan beristirahat.
“Silakan.” Nina menghidangkan pesanan Kumbara.
“Duduk sini, yuk, temani Mas makan,” ajak Kumbara sambil menebar senyum.
Awalnya Nina ragu, tapi kemudian dia memberanikan diri duduk di hadapan langganan ibunya. Karena bukan baru kali ini Kumbara makan di warung ibunya.
Kumbara tersenyum karena akhirnya Nina mau menemaninya makan. “Ibu ke mana?” tanyanya setelah Nina duduk di hadapannya.
“Ke pasar. Farhan tidur di kamar,” jelas Nina seolah tahu Kumbara akan bertanya tentang adik bungsunya.
Kumbara mulai makan, dan Nina memperhatikannya dengan melipat tangannya di meja.
“Mas, makannya gak kesorean, nih?” tanya Nina memecah keheningan setelah melihat jam menunjukkan pukul empat sore.
Kumbara tersenyum melihat Nina. “Tadi lagi banyak kerjaan. Nanggung mau ditinggalin, jadi makan siangnya sekalian pulang kerja aja.”
“Alhamdulillah.” Kumbara telah selesai makan. Nina membereskan piring kotor, kemudian kembali duduk di hadapan Kumbara. Ada yang aneh di hati Nina ketika menatap wajah teduh pria itu, serta senyumannya membuat Nina terpesona.
“Mamas suka pergedelnya Ibu, enak,” puji Kumbara setelah menghabiskan air putihnya.
Mamas? Apa dia mau aku memanggilnya Mamas? batin Nina berbisik.
Nina tersenyum.
Setelah membayar, Kumbara meninggalkan warung, tapi mata Nina tak lekang menatap pria itu sampai berlalu.
Wajah teduh, senyum manis, kulit sawo matang, hidung bangir, sudah menghiasi pikiran Nina. Padahal tak sampai satu jam pria itu berada di hadapannya. (*)
Bersambung …
Cici Ramadhani menyukai literasi sejak SMP. Namun, sempat terhenti hingga beberapa waktu. Kini, setelah menjadi IRT dan bergabung dalam grup literasi, mencoba kembali mengasah hobi lama dan mulai menyampaikan pesan melalui kata. Suatu saat berharap bisa bercerita tentang alam karena sangat menyukai warna birunya laut, suara air terjun, dan dinginnya hawa pegunungan. Semoga dalam tiap cerita dapat tersampaikan hikmah dan bermanfaat bagi pembaca
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata