Luka dalam Diam (Episode 2)
Oleh: Cici Ramadhani
“Kenapa kamu melamun, Nin?” Ibu memegang bahu Nina, berusaha menyadarkannya dari lamunan panjang.
“Kamu sudah ingat? Kenapa dulu kamu enggak pernah cerita sama Ibu?” cecar ibunya seolah penasaran mendapat jawaban Nina.
Nina menarik napas perlahan. “Tadinya Nina sama sekali enggak ingat kejadian itu, Bu. Terlalu banyak perih yang Nina rasa. Jadi, Nina memutuskan untuk tidak mengingat hal-hal yang menyakitkan.”
Tapi, memori Nina dengan cepat memutar kenangan sebelas tahun silam saat ibunya bertanya, “Nina, kamu ingat enggak dulu saat masih SD kamu pernah dilempar kursi sama bapakmu? Saat kamu minta uang buat berobat Ibu?”
“Nina enggak ingat. Kenapa, Bu?” jawab Nina, sambil berusaha memutar ulang memorinya.
“Masa kamu enggak ingat? Ibu tau dari tetangga bapakmu di sana. Kenapa enggak cerita sama Ibu kalau kamu dikasari bapakmu kayak gitu?” Ibunya terus menyelidik.
Seketika kenangan itu terus bermunculan, membuat perih yang teramat dalam. Ah, kenapa baru Ibu tanyakan sekarang? Apakah Ibu baru tau? Atau Ibu menunggu sampai aku dewasa? Pertanyaan itu hanya tersimpan dalam kepala Nina tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dari dulu Nina memang lebih suka memendam semuanya sendiri. Dia menganggap dukanya belum berarti apa-apa dibandingkan duka sang ibunya selama berpuluh-puluh tahun.
“Jangan pernah membenci bapakmu. Bagaimanapun dia tetap bapakmu. Lihat Inu, bagaimana perlakuannya dari dulu, Ibu tetap menghormatinya.” Ibu Nina mencoba menasihati putri sulungnya.
Bu Fatimah, ibunya Nina adalah wanita yang sabar dan kuat. Pak Brata terkenal kejam, tapi Bu Fatimah sanggup bertahan hingga dipoligami. Kadang Nina berpikir, kenapa ibunya bodoh sekali menghabiskan waktu bersama pria seperti itu?
“Nina benci Bapak, Bu. Nina enggak mau menikah. Nina benci laki-laki!” Akhirnya air mata itu tak terbendung. Tangis Nina pecah.
Harusnya malam ini hatinya bersuka cita karena besok seluruh umat muslim merayakan kemenangan setelah sebulan berpuasa. Namun, tidak bagi Nina. Saat sore hari ibunya mengingatkan untuk menghubungi bapaknya, menanyakan apakah bapaknya sudah membayar zakat fitrah mereka semua.
“Sudah Bapak bayar semua, bahkan Agung dan Sinta juga sudah Bapak bayar, kecuali kamu,” ucap Pak Brata di ujung telepon.
“Loh, kenapa? Dua keponakan Bapak saja sudah Bapak bayar, kenapa Nina tidak sekalian? Nina anak Bapak, loh. Anak kandung!” teriak Nina seketika sambil menahan emosi.
“Kamu kan sudah kerja, bisa bayar sendiri. Sementara dua sepupumu itu yatim piatu. Jadi mereka Bapak bayarkan zakat fitrahnya,” jelas Pak Brata dengan tenang.
“Ya Allah, Pak … tapi mereka sudah dewasa, Pak. Dan Nina anak perempuan Bapak, tetap jadi tanggung jawab Bapak sebelum Nina menikah.” Kesabaran Nina habis, embun di matanya juga sudah menetes.
“Tapi kamu sudah bekerja, punya gaji, sedangkan mereka enggak jelas kerjanya. Sudah, kamu bayar sendiri saja, ya.”
Sambungan telepon terputus.
Tangis Nina pecah. Dia merasakan sakit di hatinya. Mengapa bapaknya berpikir demikian? Memang dirinya bekerja, tapi hanya sebagai guru honorer dengan gaji 500 ribu per bulan, itu pun diterima 3 bulan sekali. Nina mengajar sambil kuliah.
Sementara Nina tak pernah mendapat kiriman bulanan layaknya anak-anak lain yang merantau ke kota mengenyam bangku kuliah. Karena Nina tinggal di rumah Pakde Rahmat, abang dari Pak Brata.
Memang Pakde Rahmat orang yang sangat kaya, seorang PNS, memiliki warung, serta puluhan rumah kontrakan. Tanahnya juga banyak. Menyewakan teratak dan keyboard buat hajatan juga. Hanya beliau dan keluarganya terbiasa hidup hemat sehingga Nina juga harus berkali-kali menelan ludah saat mereka makan sate dua bungkus keroyokan, atau makanan yang lainnya.
Nina tak pernah mau ikut makan jika tidak ditawari. Bagaimana bisa kenyang, jika hanya dua bungkus sate dimakan oleh empat sampai lima orang? Nina adalah anak yang cukup tahu diri tinggal di rumah orang lain, walau itu abang kandung bapaknya.
Nina kuliah di universitas swasta, kelas khusus karyawan. Saat puasa libur sebulan mengajar, Nina akan pulang kampung. Dia bekerja di toko pakaian anak-anak di pusat pasar. Nina menjadi pekerja “cabutan” di toko itu sejak kelas 3 SMA.
Jadi, setiap tahun bosnya akan menelepon Nina. “Kuliah Nina libur atau tidak? Kalau libur, pulkam, ya? Kerja lagi di toko,” ucap si bos.
“Iya, Bos, insya Allah nanti sore pulkam, besok langsung masuk kerja,” jawab Nina bersemangat.
Nina adalah anak yang pekerja keras. Sejak kelas 2 SMA Pak Brata tidak menafkahi ibu dan dan ketiga adiknya. Atas saran ibunya, Nina menemui guru Bimbingan Konseling di ruangan. Memohon agar bisa diberikan dana bantuan untuk siswa yang tidak mampu.
Nina dengan menahan rasa malu menceritakan bahwa bapaknya memang orang berada, namun tidak lagi menafkahi mereka. Dan Nina sangat membutuhkan dana itu untuk membayar biaya sekolahnya. Nina terisak di depan Bu Eli, guru BK.
Akhirnya Bu Eli memberikan hak dana itu pada Nina, karena beliau melihat tak ada kebohongan di mata Nina saat bercerita tentang keadaan keluarganya. Hanya saja, Nina tetap harus melampirkan surat keterangan miskin dari pejabat setempat.
Tidak susah bagi Bu Fatimah meminta surat miskin dari Kepala Lorong. Karena kepala lorongnya sudah sangat mengenal Bu Fatimah dan keluarganya. Bu Fatimah dan anak-anaknya tinggal di rumah orangtuanya sejak Pak Brata tidak lagi memberi nafkah.
Bu Fatimah bekerja menjadi tukang masak di kantin yang jauh dari rumah. Setiap pagi berangkat sebelum subuh diantar Nina dengan meminjam motor saudara.
Ya, sejak SMP Nina memang sudah bisa mengendarai motor. Karena orangtua Nina orang yang berada. Kemudian Nina harus cepat balik ke rumah bersiap berangkat ke sekolah dengan membawa adiknya yang masih batita untuk diantar ke kantin tempat ibunya bekerja. Dua adik lainnya duduk di bangku SMP dan SD, mereka bersekolah tidak terlalu jauh dari rumah sang nenek. Keduanya sudah mandiri.
Saat SD, hidup Nina susah karena Pak Brata menikah lagi. Nafkah pun bukan hal rutin yang diberi Pak Brata. Namun, saat Nina SMP Pak Brata berubah. Memberi motor buat Bu Fatimah agar bisa mengantar anak-anak sekolah dan les.
Kemudian, saat Nina ujian kenaikan kelas 2 SMA rumah tangga orangtuanya diambang kehancuran. Nina tidak mengingat apa sebabnya hingga Pak Brata tak Sudi lagi menafkahi dan mereka harus menetap lama di rumah nenek.
Dulutiap kali ribut dengan Pak Brata, Bu Fatimah akan pulang ke rumah nenek dengan membawa serta anak-anak. Namun, tak lama kemudian Pak Brata akan menjemput mereka. Kali ini sikap Pak Brata benar-benar berbeda. Mereka diabaikan dan Bu Fatimah harus banting tulang membiayai keempat anaknya.
Kala itu, Nina menggunakan seragam putih abu-abu, sambil menggendong adiknya yang berumur dua tahun, menelusuri jalanan yang masih lengang menuju terminal angkot. Sekolah Nina melewati kantin tempat ibunya bekerja. Jangan ditanya bagaimana hati dan pikirannya, bagaimana rasa malunya, namun dia tidak mau kalah dengan keadaan. Gadis itu sudah belajar banyak dari ibunya. Kehidupan seperti roda yang terus berputar.
Tapi sayang, Bu Fatimah tidak lama bekerja. Karena si bungsu jatuh sakit. Kemudian Nina dapat ide berjualan roti di sekolah. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Nina berjalan kaki menuju pabrik roti untuk mengambil sebagian dagangan. Roti-roti itu dijual pada teman-temannya yang malas ke kantin.
Ransel besar Nina berisi aneka roti dan minuman gelas. Sementara buku-bukunya dia peluk di depan dada. Nina berjualan tidak lama karena teman-temannya bosan dan tidak ada lagi yang mau membeli.
Setiap hari Nina tidak jajan. Bahkan, dia sering membonceng pada temannya karena tak punya ongkos naik angkot.
Jam istirahat pertama Nina salat Duha di musala sekolah. Jam istirahat kedua dia isi dengan salat Zuhur berjemaah dengan siswa-siswi lainnya. Begitulah yang dia lakukan sampai kelas 3.
“Mbak, zakat fitrah Mbak sudah Angga bayarkan.” Suara Angga, adik Nina yang masih kelas 3 SMA membuyarkan seluruh kenangan masa silamnya.
“Uang dari mana kamu, Dek? Kenapa enggak minta Mbak saja tadi kalau memang mau ke masjid bayar zakat fitrah Mbak?” Nina menyeka embun yang masih tersisa di ujung matanya.
“Ada, Mbak. Tenang aja,” ucap Angga enteng.
“Bapak kok tega sekali ya, Dek, sama Mbak, cuma dua puluh ribu saja enggak mau bayarkan zakat fitrah Mbak. Bukan Mbak enggak ada uang, cuma rasanya sedih banget Bapak kayak gitu sama Mbak. Sementara Bapak mikirin kedua keponakannya.” Nina kembali terisak.
“Ya udahlah, Mbak. Enggak usah dipikirin lagi, ya. Angga mau ke masjid lagi ikut takbiran.” Angga pun berlalu meninggalkan Nina.(*)
Bersambung ….
16 Maret 2020
Cici Ramadhani menyukai literasi sejak SMP. Namun, sempat terhenti hingga beberapa waktu. Kini, setelah menjadi IRT dan bergabung dalam grup literasi, mencoba kembali mengasah hobi lama dan mulai menyampaikan pesan melalui kata. Suatu saat berharap bisa bercerita tentang alam karena sangat menyukai warna birunya laut, suara air terjun, dan dinginnya hawa pegunungan. Semoga dalam tiap cerita dapat tersampaikan hikmah dan bermanfaat bagi pembaca.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata