Luapan

Luapan

LuapanĀ 
Oleh: Sekar Rahayu

Tantangan Lokit 14, Top 22

Di suatu sungai yang airnya mengeruh, dua manusia menuangkan sesuatu di atasnya dari beberapa drum dengan bau menyengat. Sebagian yang mereka buang mengambang lalu menurut saja ke mana aliran sungai itu membawa, sebagian lagi larut dalam air.

Di suatu samudera, beberapa kapal mengelilingi sebuah bangunan yang sebagian besarnya terdiri dari rangkaian besi. Di bawah bangunan sebagai pengambil sumber daya alam itu, mengalir deras cairan hitam yang menyebar, terombang-ambing gelombang hingga merambah bagian terdalam laut.

Di tengah lautan, satu kapal pesiar sedang berlayar. Tampak puluhan manusia berada di atas dek, menikmati surya pagi yang katanya bagus untuk meraup salah satu vitamin. Sebuah botol plastik dibuang oleh satu di antara mereka. Botol itu pun tertinggal kapal pesiar bersama puluhan puntung rokok, terkatung-katung.

Di sebuah pasar, seorang penjual ikan sedang sibuk memotong ikan pesanan pelanggan. Ikan yang ia dapat dari para nelayan pagi tadi tidak banyak seperti biasanya, tetapi ia tetap bersemangat mencari rezeki. Mata si penjual ikan menyipit saat melihat sesuatu di perut ikan yang dibelahnya. Keningnya mengerut kala mengamati sobekan pembungkus makanan ringan di dalam perut ikan besar tersebut.

Di satu pantai yang dahulu masih sepi, sekarang ramai kendaraan yang terparkir. Tenda-tenda didirikan oleh para pengais rezeki. Hiruk-pikuk manusia datang silih berganti. Katanya, mereka ingin menikmati pemandangan pantai yang indah. Lainnya menjawab ingin menyegarkan pikiran. Sementara di sudut lain, beberapa manusia yang bersarung tangan dan berbekal kantong plastik besar menjawab, “Kami ingin pantai kami bebas dari sampah.”

Di sudut pantai yang lain, sekelompok remaja sedang berlarian, bermain dengan ombak yang menyapu pasir. Wajah mereka semringah hanya karena riak air. Dua di antaranya sengaja menjauhi kawan mereka agar bisa menjalin kenangan sendiri. Tangan sejoli itu bergandengan, erat seakan tidak mau berpisah.

“Kita ke sana, yuk, Say!” ajak si gadis sembari menunjuk kerumunan manusia yang sibuk mengais sampah.

“Ngapain ke sana? Mereka lagi ngadain kegiatan. Enggak usah ganggu.”

“Ih, Sayang, bukannya mau ganggu, aku mau bantu mereka. Kayaknya asyik. Kan keren juga nanti kalau kita bisa selfie. Entar bisa di-posting di medsos biar dapat banyak jempol.”

Si pemuda mendesah. Hatinya enggan, tetapi ia tidak bisa menolak mata memohon sang kekasih yang menambah kegemasannya. Sejoli itu pun bergegas menuju kelompok manusia pencinta lingkungan.

“Jangan lupa cari angle yang bagus, Say.”

Si pemuda mengangguki saja permintaan sang kekasih. Ia yang telah menyiapkan kamera memilih posisi paling tepat untuk mengambil gambar pujaan hati. Sementara si gadis sibuk berpose dengan gunungan sampah, satu-dua anggota komunitas pencinta lingkungan hanya menggerutu melihat tingkah dua remaja yang beberapa detik lalu menawarkan diri untuk membantu.

“Sayang! Ambil, Say!” seru si gadis ketika dirasa posisinya tepat. Ia sedang berjongkok di antara sampah lalu memungut salah satunya sembari mengusap kening tanda kerja keras.

Si pemuda menghela napas panjang kemudian mundur selangkah agar fokus kamera terarah. Ketika waktunya pas, tiba-tiba saja semuanya berguncang. Arah kameranya bergoyang-goyang, begitu pun dengan si gadis dan beberapa orang di sekitar. Si pemuda sampai terduduk akibat getaran dadakan tersebut. Terdengar pula suara dentuman yang bergemuruh, kencang sekali.

Setelah reda, semua orang kebingungan dengan apa yang baru saja terjadi. Semua saling tanya.

“Say!” pekik si gadis lalu segera saja menghambur ke arah sang kekasih. Mereka celingukan. “Tadi apa, sih, Say? Gempa, ya?”

Si pemuda tidak menjawab. Ia sibuk memusatkan perhatian kepada satu pemberitahuan yang digemakan melalui pengeras suara oleh petugas pantai.

“Para pengunjung sekalian, harap tenang! Harap tenang! Semuanya baik-baik saja. Tadi hanyalah gempa ringan. Harap tenang!”

Sejoli itu masih mengamati keadaan. Tidak menghiraukan lagi seruan petugas pantai yang sedang sibuk berkeliling, memastikan sumber uang mereka tetap di tempat. Sebagian pengunjung memilih berkemas, sebagian tetap saja melanjutkan aktivitas, lainnya termangu-mangu seperti sejoli itu.

Si gadis menoleh kepada kelompok pencinta lingkungan tadi. Mereka tampak tergesa-gesa mengumpulkan kantong-kantong sampah ke dalam mobil pengangkut. Sepertinya kelompok itu telah selesai dengan kegiatan mereka.

“Kita ke tempat Rendi, yuk, Beb,” ajak si pemuda, mengalihkan perhatian kekasihnya.

Sejoli itu berjalan menuju empat kawannya yang masih bergumul dengan kesenangan di pantai. Si gadis sempat melihat seorang pengunjung laki-laki bertubuh tambun sedang disibukkan dengan anjing peliharaannya yang terus menggonggong dan sulit diatur.

Siapa suruh bawa piaraan ke pantai? Si gadis membatin.

“Balik, yuk, gaes,” ajak si pemuda kepada kawan-kawannya.

“Nanggung kali, Dim! Baru sampai juga. Ombaknya gede, nih. Sayang enggak ada penyewaan papan.” Salah seorang pemuda lain membantah. Seluruh badannya telah kuyup.

“Enggak usah takut ama gempa tadi. Biasa itu. Noh, lainnya santai aja, tuh.” Gadis lain yang sedang membangun istana pasir menyahut.

Si pemuda bergeming. Ia biarkan kekasihnya bergabung dengan si gadis pembuat istana pasir itu, sementara ia diminta menjadi fotografer dadakan untuk aksi teman-temannya yang lain. Puluhan menit berlalu dan si pemuda telah melupakan kekhawatirannya. Orang-orang di pantai itu tampak antusias dan bersemangat.

“Bikin di sana aja, yuk, Bel. Airnya nyebelin, nih, bikin roboh mulu.”

“Yaelah, Cesil, kalau bangun istana pasir yang dicari, ya, ombaknya itu. Buat tantangan. Kalau istananya ambruk, ya, tinggal bikin lagi. Kalau sukses, berarti masa depan rumah tangga kita juga bakal langgeng.”

“Eh, mitos dari mana, tuh? Baru denger.”

“Mitos dari si jenius Abel. Baru aja dicetusin dan kamu beruntung jadi orang pertama yang dengerin.”

Terdengar gerutuan kesal dan kekehan akibat selorohan tadi, kemudian dua gadis itu melanjutkan kegiatan mereka mengumpulkan pasir.

Seorang perempuan yang duduk tak jauh dari mereka menghentikan usahanya menulis nama sang mantan kekasih. Telinganya mendengar sesuatu yang riuh. Ia mendongak, mengamati kelompok burung dalam jumlah besar sedang terbang sambil berkicau ribut ke tengah laut. Wajah perempuan itu menegang kala melihat awan menghitam pekat di ujung samudera.

Sementara itu, salah seorang dari dua gadis pembangun istana pasir merasa heran dengan air laut yang tidak lagi menggerus pertahanan bentengnya. Ia amati pergerakan air pantai yang ternyata telah menyusut. Gadis itu berdiri, lalu mata sipitnya menangkap gulungan ombak yang semakin membesar. Beberapa orang yang mengetahui hal tersebut segera berlari sambil menjerit-jerit. Butuh beberapa detik bagi si gadis untuk menyadari apa yang terjadi, sebelum sosoknya menghilang di balik tingginya gelombang.(*)

Negeri Gemah Ripah, 17 Desember 2019

Sekar Rahayu adalah nama pena penulis yang menyukai bunga. Saat ini sedang bersemangat belajar untuk membuat cerpen.

Komentar juri:

Selalu ada ruang bagi cerpen yang sederhana, mudah dicerna, tetapi tetap memberikan makna yang kuat. Kompleksitas dan plot cerita yang rumit, tidak serta merta menghasilkan cerita yang lebih baik. Sering terjadi, penulis justru gagal membuat cerita itu gampang dimengerti/enak dibaca, dan tak jarang pula–karena begitu ingin memberikan drama yang berlapis-lapis–menjadi tidak logis.

Tak bisa dimungkiri cerita yang sederhana ini enak dibaca, dan tetap memberi bahan perenungan setelah kita menuntaskan kalimat penutupnya.

Berry Budiman.

Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply