Lost

Lost

Lost 
Oleh: Veronica Za

Terbaik ke-7 Tantangan Lokit 7

Umumnya itu, seorang gadis akan merasa bahagia jika sang pujaan hati mengajaknya meresmikan hubungan mereka. Terlepas dari berapa lama hubungan itu sudah berjalan. Setahun, dua tahun atau mungkin lebih dari itu.

Kenyataannya, saat ini aku malah merasakan dilema berkepanjangan. Seolah tubuhku ini berada di sisi jurang yang sangat gelap dan pengap. Namun, keadaan memaksaku untuk terjun dengan suka cita meski diriku sendiri menginginkan untuk segera berbalik dan pergi sejauh mungkin.

Masih terngiang kalimat lembut dari bibirnya yang mengajakku segera melangkah ke jenjang pernikahan. Kaget? Pasti. Bahkan hingga dua malam terlewati setelah hari itu, aku masih belum juga memberi jawaban.

“Kenapa kamu ragu?” tanya Zeun melalui chat-nya. Dua hari ini aku mengabaikan panggilan telepon darinya.

“Entahlah! Aku hanya merasa ini terlalu cepat. Aku bahkan belum lulus kuliah,” balasku setelah berpikir lama.

“Aku jemput sore ini di kampus. Kita harus bicara!”

Chat berakhir tanpa kejelasan. Yang aku tahu, malam ini aku harus memberinya kepastian.

***

Tatapan tajam itu seakan menusuk hingga menembus jantung, membuatku gemetaran. Bukan! Bukan karena takut melihat amarah di matanya, melainkan ada sesak yang sejak tadi tertahan dalam dada. Mataku memanas dan mulai berembun. Pun pandangan yang kian mengabur.

“Kita … break saja dulu!”

Pernyataan itu biang keladinya. Kalimat kurang ajar yang terucap dari bibirku saat ia menanyakan kembali jawabanku. Air mata luruh bersamaan dengan ia yang pergi begitu saja tanpa sepatah kata.

Aku merasa menjadi gadis paling egois di dunia. Menggantungkan niat tulus dari lelaki baik sepertinya. Dua tahun kebersamaan kami tak bisa membuatku menerimanya saat ini. Terlintas sosok Ibu dan Nesya—adikku—yang lebih membutuhkanku setelah kepergian Ayah.

***

Tiga bulan berlalu tanpa saling memberi kabar. Ia pasti sibuk dengan pekerjaannya. Begitu pula denganku yang bekerja sambil kuliah.

Aku terlalu fokus hingga lupa ada hati yang seharusnya aku genggam erat supaya tidak akan ada orang lain yang merebut, merengkuh dan membawanya menjauh dari jangkauanku. Dan berakhir pada penyesalan yang tiada tara menyisakan isak tanpa suara.

“Kamu beneran putus dari Zeun, Jul?” tanya Azizah sedetik setelah mata kuliah Pak Aryo selesai dan beliau menghilang di balik pintu.

Aku menggeleng. “Lebih tepatnya break, bukan putus!”

“Itu menurutmu, tapi tidak dengan Zeun.” Aku mengerutkan kening, sama sekali tak mengerti arah pembicaraan gadis itu. “Aku lihat Zeun lagi jalan bareng cewek.”

“Teman kerjanya kali.” Aku mencoba untuk berpikir positif.

“Aku nggak bakal heboh kalau mereka cuma jalan bareng, tapi jelas-jelas mereka gandengan tangan dan terlihat mesra. Satu hal lagi, mereka masuk ke butik gaun pengantin.”

Aku terhenyak. Ada perih yang terasa dalam rongga dada. Seolah ada pisau berkarat yang sedang menyayat secara perlahan-lahan. Sayangnya, sakit ini sama sekali tak berdarah.

Semua itu nyata meski aku berusaha menyangkalnya. Aku menyaksikan sendiri hari ini. Wajah ceria lelaki yang tiga bulan lalu lamarannya aku gantungkan. Namun, kebahagiaan itu bukan bersamaku melainkan gadis lain.

“Maaf, aku nggak bilang sama kamu.” Pria itu menatapku penuh arti.

Seandainya saja aku tak mendapat tugas ke percetakan ini untuk mengambil pesanan brosur, maka aku tak mungkin mengetahui kenyataan di hadapanku. Ada Zeun yang juga membawa setumpuk undangan di tangannya. Tanpa melihatnya aku tahu itu sebuah undangan pernikahan.

Tanpa permisi aku berlari keluar dari gedung percetakan, mencegat taksi dan segera berlalu. Ekor mataku menangkap sosok Zeun yang berdiri mematung di depan gedung. Kemudian samar, tergantikan cairan yang sudah membanjiri pipiku. Inikah akhirnya?

***

Aku mencoba mengalihkan pikiranku dari pernikahan Zeun yang membuatku menangis semalamam. Perihnya masih terasa sampai saat ini. Ingin marah tapi kepada siapa? Ingin memaki, tapi aku sadar seharusnya aku yang dicaci. Ini semua murni kesalahan atas kebodohanku.

Harusnya aku tak pernah meragu. Menggantungkan harapan tanpa kepastian. Dan tentu saja berakhir penyesalan.

Ah, ini bukan sepenuhnya kesalahanku! Sisi lain hatiku memberontak.

Andai saja ia mau lebih bersabar!

Andai saja cintanya tak sedangkal itu!

Seandainya … seandainya!

Tetap saja kini aku yang berakhir menderita. Tenggelam dalam lautan derita yang entah di mana dasarnya. Air mata pun seakan sudah tak lagi tersisa. Hanya ada kepahitan di sana.

“Jul, kamu kenapa?” tanya Ibu saat kami makan malam bersama. Ada sirat kecemasan di mata tua itu.

“Nggak apa-apa, Bu. Aku lagi kurang enak badan aja.”

“Bohong tuh, Bu! Lihat aja mata Kak Julia, bengkak gitu!” celetuk Nesya yang membuatku melotot ke arahnya.

“Kalau kamu nggak mau cerita, nggak apa-apa. Ibu cuma berharap kalau kamu harus mulai memikirkan masa depan kamu. Jangan terbebani dengan keberadaan ibu dan Nesya.” Seolah tahu masalah yang menimpaku, nasihat Ibu membuatku hampir menangis. Sekuat tenaga aku menahannya.

“Ibu nggak perlu khawatir. Lagian aku masih kuliah dan sebentar lagi bakalan sibuk ngurus skripsi. Mana sempat mikirin yang lain.”

“Menikah saat kuliah itu nggak ada salahnya. Egois kalau kamu menggantungkan perasaan cowok terlalu lama. Erik itu sudah cukup baik buatmu.”

Aku menunduk dalam diam. Menekuri piring yang masih penuh terisi. Mengaduknya sembarang. Ibu tak tahu saja jika putrinya ini sedang menyesali keegoisannya dulu. Bukan untuk Erik yang pernah melamarku setahun silam dan berakhir penolakan, melainkan Zeun.

“Oh iya, hampir saja ibu lupa!” pekik Ibu mengejutkanku. “Minggu depan kita harus ke rumahnya Zeun. Kemarin dia sendiri yang mengundang Ibu via telepon.”

Aku menatap Ibu dengan terluka. Namun, Ibu tak akan tahu itu. Ibu tak pernah tahu sejauh mana hubunganku dengan pria itu. Beliau hanya tahu Zeun itu kakak tingkatku di kampus dan kami berteman dekat.

“Ada apa memangnya, Bu?” tanya Nesya membuatku sesak menanti jawaban yang akan Ibu ucapkan.

“Undangan pernikahan!”

***

“Ayo cepetan, dong!” Nesya yang sudah tampil cantik memaksaku beranjak dari laptop di hadapanku. Wajahnya terlihat kesal dan putus asa.

“Aku kan udah bilang dari kemarin. Aku nggak ikut! Ada banyak tugas kuliah, nih!” elakku sembari menepis jemari Nesya yang terus mengganggu.

“Kakak ini gimana, sih? Masa pernikahan teman sendiri tapi nggak mau datang.”

“Kamu nggak akan tahu bagaimana perasaanku hari ini. Seandainya tak memikirkan pemikiran orang lain, aku pasti akan menghancurkan pernikahan itu sekarang juga. Sayangnya, aku tak segila itu!” batinku sembari menahan nyeri yang kian menjalar ke seluruh tubuh.

Nesya dan Ibu berangkat menggunakan motor milikku, jarak rumah kami yang cukup jauh memakan waktu satu jam perjalanan. Mereka menyerah untuk mengajakku yang memiliki sejuta alasan untuk menolak. Bahkan, Ibu sampai memberikan tatapan kecewa, membuatku merasa bersalah.

Setelah mereka pergi, aku tergugu di depan laptop. Sejak membuka mata pagi ini, aku hanya menyibukkan diri dengan tugas yang sebenarnya sudah sejak lama aku selesaikan.

Aku merasakan cairan hangat mengalir di pipiku. Usahaku bertahan hanyalah sia-sia belaka. Tubuhku meluruh di lantai. Semua berakhir. Aku menangis sejadi-jadinya berharap hari segera berganti.

Suara ketukan di pintu depan membuatku terbangun. Lelah menangis, mungkin aku tertidur tadi. Setelah membasuh wajah dengan tergesa, aku beranjak membuka pintu.

“Hai!” sapa sosok pria dengan balutan kemeja batik biru. Aku tertegun. Sosok itu tersenyum tanpa dosa.

“Kamu nggak mau datang ke pernikahan adikku? Aku sampai harus jemput kamu begini, padahal kita masih break, ‘kan? Anisa sampai ngomel pas tahu sahabatnya nggak datang. Dia bilang udah lama nggak ketemu.”

Aku bergeming. Masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Aku berjengit saat jemari Zeun menyentil dahiku. Seolah tersadar, aku menghambur dalam pelukannya.

Entah kenapa rasanya mata ini terasa panas dan sepersekian detik cairan hangat itu kembali mengalir. Kali ini bukan karena sakit tak berdarah yang seminggu ini begitu menyiksa. Aku menangis dalam suka cita.

Butuh waktu lama bagiku menyadari perasaanku sendiri. Mungkin karena terlalu bodoh atau mungkin terlalu polos hingga harus ada pihak ketiga dalam hubunganku. Meski sebenarnya ia tak nyata.(*)

Veronica Za, penggila cerita romance dalam bentuk apa pun. Wanita yang masih berusaha meraih mimpinya meski dengan tertatih.

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di Grup KCLK

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata