Long Distance Religion
Oleh : Elmero_id
Seharusnya, malam ini mereka melakukan kencan romantis. Kafe bahkan ditutup lebih awal, hanya untuk bisa menciptakan suasana perbincangan lebih damai. Di depan pintu masuk berdiri seorang pegawai, di mana dia bertugas memberi tahu kepada setiap pengunjung yang datang bahwa kafe sudah ditutup. Sedangkan pegawai lainnya menjadi penonton untuk drama nyata yang ada di depan mata, salah satunya aku.
“Inggit! Menurut lo, mereka mau ngomongin apa sampe-sampe Pak Ardy nyuruh kafe tutup lebih awal?”
Aku tersenyum tipis mendengar pertanyaan Susi. Kenapa dia harus menanyakan hal tersebut kepadaku? Seolah-olah kalau ….
“Lo, kan, orang terdekat Pak Ardy. Meskipun status lo di sini seorang pegawai juga, tapi sudah menjadi rahasia umum kalo kalian berdua begitu intens.”
Sungguh. Aku ingin menyumpal mulutnya saat mendengar dia kembali berkata. Menyampaikan asumsi yang bisa menggiring pemikiran negatif dari orang-orang. Jadi, aku hanya meliriknya dengan tajam agar dia berhenti berbicara dan cukup menyimak seperti yang lainnya.
“Maaf, mungkin ini akan terdengar menyakitkan. Aku menjanjikan sebuah harapan kepadamu dan aku juga yang harus mengingkarinya. Sebenarnya—”
“Aku tidak mau mendengar kalimat selanjutnya.”
Maria malang, kedua bola matanya mulai berkaca-kaca. Siapa yang tak akan bersedih? Sebuah hubungan sudah terjalin hampir empat tahun, melewati berbagai rintangan berat, salah satunya soal keyakinan yang dipegang masing-masing. Padahal, aku sebagai teman Ardy sejak kelas 3 SMA, sudah memberikannya ultimatum saat pertama kali dia mencurahkan isi hatinya.
Jujur, aku memang menyukai Ardy sejak pertama kali kami berada di kelas yang sama. Aku bahkan selalu menyesali, kenapa tak mengenal Ardy sejak lama. Dia cukup terkenal waktu sekolah dulu, aku saja yang selalu berkata, “Ah, siapa dia?” Tapi, ketika dia mulai masuk ke pintu kelas yang sama, aku begitu terpesona dengan ketampanannya, ditambah dengan sikapnya sebagai lelaki lembut. Lalu, aku mulai berkata, “Ah, siapa aku?” Meskipun waktu perlahan mendekatkan kami sebagai … sahabat.
“GAK!” Suara teriakan Maria membuyarkan lamunan kilas balikku tentang Ardy. Dia terlihat tak bisa mengatur emosi, dari caranya berdiri refleks hingga membuat kursi terjatuh seketika.
“Kamu harus dengarkan, Maria.” Ardy ikut berdiri dengan tenang, mencoba untuk mendinginkan suasana.
“Aku gak mau dengar. Aku tahu, kalimat yang dimulai dengan kata maaf, selalu berakhir tak mengenakkan.”
Benar, Maria, sebentar lagi hatimu akan diiris dengan kalimat yang lebih menyakitkan. Mungkin, namamu memang selalu terselip dalam doanya, tapi Tuhan kalian tetap berbeda.
“Maria … aku mohon jangan seperti ini. Dengarkan aku dulu.” Ardi masih berusaha membawa suasana kembali mendingin. Namun, Maria memegang erat kepalanya sambil sebelah tangan bertolak pinggang.
“Apa yang mau kamu sampaikan?” Wajah Maria mulai tampak lusuh berderai air mata.
Aku tidak bisa mengatakan jika ini adalah jalan terbaik, tapi kalau keduanya memang sama-sama keras pada pendirian dan tak ada yang mau mengalah tuk berkorban, tidak ada pilihan selain perpisahan.
“Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini.” Ardy terlihat menyesal mengungkapkannya. Dia bahkan tak berani menatap kedua bola mata Maria secara langsung. Pandangannya terbuang ke sembarang tempat.
“Whaaat?” Beberapa karyawan yang menonton terkejut. Seketika, semua beralih memandangku.
“Apa?” kataku. Tidak! Seharusnya aku tidak perlu mengatakan kata tersebut. Apalagi ekspresi wajahku mengatakan, “Hei, gak ada hubungannya sama guelah.” Aku kemudian kembali memusatkan perhatian pada Ardy dan Maria.
“Jahat kamu, Dy! Kenapa tiba-tiba kamu pengen mengakhiri hubungan kita?”
Ardy terdiam. Entah apa yang tengah dipikirkannya, tapi dia benar-benar membiarkan Maria meluapkan seluruh emosinya.
“JAWAB!” Maria mumukul kursi hingga terjatuh. “Kenapa kamu diam aja?” Aku baru melihat kemarahannya sehebat ini.
“Maria, ayo duduk. Kita bisa bicarakan ini baik-baik.”
“Gak bisa! Gak bisa, Ardy.” Wajah Maria dipenuhi air mata, seperti itulah aku saat pertama kali tahu mereka menjalin hubungan. Sakit, sedih, dan marah. Akan tetapi, aku memilih menyembunyikan semua dari mata orang lain. Bersembunyi di balik pintu kamar dan meringkuk di atas kasur sambil memeluk gulingku.
“Apa kamu mau membuat sebuah perpisahan yang baik? Dengar, Ardy, tidak ada perpisahan yang baik selama itu masih menorehkan luka. Apa sebenarnya yang bikin kamu tiba-tiba mau putus dariku? Apa ada orang lain?” Pertanyaan terakhir Maria kembali membuat semua pegawai melihatku, tapi aku mengabaikannya.
“Gak ada, Maria. Apa kamu pernah berpikir tentang perbedaan kita?” Ardy, dia akan segera mengatakannya. Aku ingin menyumpal telingaku agar tidak merasa bersalah.
“Kenapa bahas itu lagi sih? Bukannya kita udah sepakat buat ngejalanin itu masing-masing? Gak usah sok suci kamu, Ardy.”
Tidak! Apa yang akan Maria katakan?
“Maria ….”
“Kenapa sekarang kamu bahas soal perbedaan? Kamu takut berdosa karena memilih cewek yang berbeda keyakinan sama kamu? Apa kamu tidak ingat saat bibirmu terjatuh menciumku? Hah!”
Sebilah pisau menyayat hatiku. Tolong, Maria, aku tidak sanggup mendengar orang yang kucintai mencium bibir perempuan lain.
“Maria, cukup!” Ardy naik darah, sambil mengedarkan pandangan ke sekitar. Dia sepertinya cukup risi atas ungkapan Maria barusan. Itu tentu terdengar oleh para pegawai.
“Itu juga dosa, Ardy,” tutur Maria lembut, tapi senyumnya menyeringai mengejek.
“Aku tahu, aku memang minim ilmu agama. Tapi, apa kamu pernah berpikir lebih jauh? Kalau kita terus melanjutkan hubungan ini, bagaimana dengan anak-anak kita? Mereka tidak akan mempunyai jati diri.”
“Halah!” Maria melipat kedua tangan dan membuang pandangan.
“Keputusanku bulat. Aku ingin hubungan kita berakhir.”
Ardy, saat kata tersebut terucap, ada satu hati yang terluka dan satunya lagi bahagia. Terima kasih, sudah memutuskan hal besar seperti ini, padahal bagi sebagian orang tidak mudah mengakhiri hubungan yang terikat sejak lama. Aku juga tidak menyangka bahwa saat Maria melangkahkan kaki pergi, kamu hanya terdiam dan kembali duduk dengan perasaan bersalah.
Tontonan para karyawan telah usai, mereka segera bergegas untuk pulang. Sedangkan aku menghampiri Ardy meski tak ada obrolan tercipta di antara kami. Setidaknya, sampai para karyawan sudah pulang semua. Aku yakin, dalam perjalanan pulang, mereka membicarakanku yang tengah duduk berdua bersama Ardy.
“Mau kuantar pulang, Git?”
Tentu saja aku mau, Dy. Aku tersenyum tipis menganggukkan kepala, tapi wajahnya masih terlihat murung. Aku jadi tak enak hati.
***
Selama perjalanan pulang, dia masih terdiam. Aku takut jika konsentrasinya tak berfokus pada jalanan. Doaku tak berhenti agar kami dilindungi dari marabahaya. Bibirku terkesan seperti komat-kamit ketimbang memanjatkan doa. Hal tersebut kemudian menarik perhatian Ardy.
“Kamu kenapa, Git?” tanyanya mengerutkan dahi. Dia tampak keheranan.
“Gak apa-apa. Aku cuma takut kalo kamu gak fokus sama jalanan. Jadi, aku berdoa supaya perjalanan kita dilindungi.”
Ardy tertawa kecil mendengar jawabanku. Dia berkata, “Kamu terlalu jujur, tapi meskipun aku sedang patah hati, aku pasti tetap membawa mobil ini dengan hati-hati.”
“Syukurlah.” Aku lega mendengarnya. Namun, soal kejujuran ungkapan Ardy tadi, aku justru telah berbohong pada perasaanku sejak lama.
Waktu itu, tatkala Ardy memutuskan menjalin hubungan, aku tak ingin terlihat menyedihkan. Aku mencari seseorang untuk menjalin sebuah status palsu. Bahkan orang yang kini berhubungan denganku adalah seorang gay. Aku memang melakukan hal tersebut karena tak ingin jatuh hati dan membuat seorang lelaki tertarik kepadaku.
Kini … aku hanya tinggal menunggu waktu tepat untuk mengakhiri sandiwaraku. Kemudian mengabarkan bahwa aku sudah tak memiliki ikatan dengan siapa-siapa. Tentu saja, saat Ardy sudah jatuh hati kepadaku.(*)
Tashikumaraya, 13 Maret 2021
Seorang pemimpi kecil yang suka mendongeng bernama Elmero_id. Lahir di Tashikumaraya, 18 Mei 1994. Penggemar lagu-lagu Taylor Swift garis keras.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata