Linzy
Oleh: Sita
Tantangan 3: Membuat Cerita Bergenre Fantasi
Linzy terpejam menikmati setiap nada yang dihasilkan oleh gesekkan dawai biolanya. Seperti biasa pada akhir pekan, gadis berkulit putih itu mengadakan sebuah pertunjukan kecil di taman kota.
Tak jarang, orang-orang yang berlalu lalang terhenti demi menyaksikan kepiawaiannya. Bahkan beberapa turis ada yang rela menungguinya hingga selesai. Bertepuk tangan, dan memuji gadis bermantel merah itu.
“Wow! Itu sungguh luar biasa.” Terdengar suara seorang pria diiringi tepuk tangan saat Linzy mengakhiri permainan biolanya.
Tadinya dia ingin mengembangkan senyum, tetapi seketika air muka Linzy berubah setelah tahu siapa pria yang mendekat.
“Jack?”
Pria tinggi berhidung mancung itu mengusap rambut pendeknya hingga ke tengkuk seraya membuang pandangan pada pria paruh baya yang duduk di bangku taman. “Linzy, kalau kau masih terus mengulur waktumu ….”
“Aku tahu apa yang aku lakukan!” Gadis berambut cokelat itu segera memasukkan alat musik ke dalam tas.
Ketika dia hendak pergi, sejurus kemudian tangan kanan Jack mencengkeram kuat lengan kirinya hingga gadis itu memejam menahan sakit.
“Jika dalam delapan hari kau tidak mendapatkan mutiara itu, kau tahu apa yang bisa kuperbuat padamu. Kau mengerti?”
Linzy mengangguk berkali-kali, sampai Jack melepaskan cengkeramannya kemudian berlalu pergi.
Dia tak habis pikir. Ratu sampai mengutus Jack menemuinya demi mutiara terakhir itu. Linzy adalah jelmaan mermaid yang ditugasi hidup bersama manusia. Dia membawa misi untuk mengambil kembali mutiara-mutiara mermaid.
Bangsa mermaid memiliki ‘hati’ kehidupan yang disebut Blue Pearl atau mutiara biru. Dahulu kala, Blue Pearl adalah warisan dari kerajaan kerang. Jika seorang mermaid jatuh cinta kepada manusia, maka mutiara itu dengan sendirinya akan berpindah ke tubuh manusia tersebut. Mengakibatkan mermaid yang jatuh cinta itu, hanya mampu bertahan hidup dalam kurun waktu lima hingga tujuh tahun.
***
Bentangan biru yang berkilau diterpa matahari itu tampak tenang. Hanya ada ombak-ombak kecil yang berkejaran, yang kemudian membasahi flat shoes Linzy. Gadis dengan sorot mata yang tajam itu berdiri tegap dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana jins-nya. Pandangannya menyapu lautan yang jauh dari permukiman manusia.
Tak beberapa lama kemudian, sesosok wanita berambut cokelat sebahu menyembul dari air. Tampaklah sisik-sisik keperakan menutupi dadanya. Perlahan, sisik-sisik itu menghilang, lalu berganti menjadi jubah berwarna biru.
“Anastasya,” Linzy berkata dengan nada gusar saat Anastasya mendekat.
Wanita bermata biru itu mengerling ke kiri-kanan lalu menggeleng. Linzy mengangguk pertanda paham akan isyarat tersebut. Dia pun mengajak Anastasya untuk pergi.
“Begitu merasakannya bergetar ….” Dia menunjuk kalung berbentuk kerang kecil di lehernya “Aku tahu ada yang tidak beres. Jadi, katakan padaku apa yang terjadi?” Linzy bertanya dari balik kemudi mobil setelah memastikan mereka sudah berada sejauh tiga kilometer dari laut.
Anastasya mengambil sesuatu dari balik jubahnya. Sebuah kerang berukuran telapak tangan orang dewasa. Dibukanya kerang tersebut, lalu tampaklah seperti sebuah rekaman gambar yang menampilkan sosok wanita dengan rambut keperakan.
Sepasang mata Linzy membulat. Mulutnya terbuka. Tergesa dia menepikan mobil.
“Kau harus segera mendapatkan mutiara itu, Linzy. Ratu harus segera menelan mutiara itu agar dia tetap bertahan. Sebenarnya, ada apa denganmu? Bukankah kau terbiasa menyelesaikan misi-misimu dengan cepat?”
“Entahlah. Selalu saja seperti ada kekuatan yang melindunginya. Suatu hari, saat aku mendekati pria itu di taman … ada sesuatu yang melesat dan tiba-tiba menghentakku, kemudian membuatku terhempas begitu saja.”
Anastasya menepuk bahu Linzy. “Maaf jika aku tidak bisa membantumu. Tapi, bagaimana mungkin? Dia hanya seorang pria tua.”
“Aku tidak mengada-ngada. Kau pikir untuk apa aku berbohong?” Nada suara Linzy meninggi.
Sejenak mereka terdiam. “Dengarkan aku! Manusia, adalah musuh kita. Ingat Linzy, ibumu tewas dibunuh manusia. Dan masa depan kerajaan mermaid kita bergantung padamu.” Wanita itu mengusap perlahan pipi Linzy.
***
“Jangan, Linzy sayang. Jangan!”
“Ibu!” pekiknya terbangun dari tidur. Napasnya tersengal, keringat dingin bermunculan di wajahnya.
“Ada apa denganku? Kenapa aku memimpikan Ibu?” Dia bangun lalu menenggak segelas air yang terletak di nakas.
***
Akhir pekan berikutnya, Linzy kembali ke taman. Kali ini tanpa biola, tentunya tanpa pertunjukkan. Dari kejauhan dia menatap sosok pria yang sering diamatinya duduk di bangku taman. Pria yang ditaksirnya berusia 50 tahun itu tampak menuliskan sesuatu pada buku sakunya.
Derap langkahnya penuh dengan kehati-hatian. Hingga akhirnya, dia merasakan tak ada hal aneh lagi yang menghalanginya.
“Boleh aku duduk di sini?”
Pria itu menoleh lalu tersenyum memperlihatkan deretan gigi-giginya yang masih begitu rapi atau utuh. Kemudian menepuk bangkunya, dan mempersilakan Linzy.
“Bukankah kau …?”
“Linzy.” Dia mengulurkan tangannya.
“Aku Arthur.” Pria tersebut menyambut jabat tangan dengan ramah.
“Kenapa tidak bermain biola lagi?”
“A—aku sedang menunggu teman di sini.”
Arthur mengangguk. “Kau tidak keberatan duduk dengan seorang pria tua?”
Linzy terkekeh. “Tentu tidak.” Dia melirik pada alat tulis yang masih berada di genggaman Arthur.
“Aku suka menuliskan apa saja yang aku saksikan dan rasakan di taman ini. Dari hari pertama aku duduk di bangku ini, hingga hari ini pada halaman terakhir.” Sejenak Arthur terdiam. “Kau ingin membacanya?”
“Itu hal pribadi, bukan? Sebaiknya aku tidak membacanya.”
Menunduk, Linzy mengepalkan tangan kanannya. Dia mulai mengumpulkan kekuatan magisnya. Hanya dengan sebuah sentuhan, nyawa Arthur bisa dibuatnya menghilang secara perlahan. Efek awalnya hanya seperti tersedak hingga keluarlah mutiara biru kecil itu. Lalu sesak napas, dan enam puluh menit kemudian kekuatan itu akan bekerja melumpuhkan otot-otot, syaraf, dan terakhir fungsi jantung.
Pria itu mengangguk lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku. Bersedekap seolah menahan dingin.
“Kapan temanmu itu datang?”
“Mungkin sebentar lagi,” jawabnya datar.
“Linzy,” panggil Arthur lagi dan membuat Linzy menengok. “Maaf jika ini terdengar konyol dan tidak sopan. Apa kau percaya tentang keberadaan mermaid?”
Dalam hatinya dia terkejut, tetapi dia berusaha menampilkan ekspresi berbeda. Dia menggeleng seraya tersenyum singkat.
“Aku percaya. Mereka ada di bawah laut sana. Dengan bentuk yang rupawan. Bahkan aku mengenal satu dari mereka.” Arthur menyerahkan buku sakunya pada Linzy. “Kau akan percaya jika kau membacanya.”
Setitik perasaan aneh muncul di sanubari Linzy. Lalu dia teringat tentang hal aneh saat dia ingin menghabisi Arthur.
Arthur menghela napas panjang kemudian mengatupkan matanya. Tanpa menunggu lama, tangan kanan Linzy menepuk lembut lengan pria tua itu.
Kekuatan magisnya mulai bekerja. Mutiara biru keluar, lalu ditangkapnya dengan kekuatan magisnya lagi. Kemudian dia berpamitan pada Arthur yang mulai merasakan tak enak badan.
“Sepertinya temanku tidak akan datang.”
“Iya, pulanglah! Aku juga akan segera pulang.”
***
Linzy telah menyelesaikan misinya. Jack segera datang menjemput mutiara itu, lalu diserahkannya pada Ratu.
Dan pada malam ketika dia sadar tentang keberadaan buku saku titipan Arthur, dia pun membacanya.
Pada halaman awal tertera kata-kata bagai panah yang melesat tepat menusuk jantungnya.
Dear Linzy, kau mewarisi wajah Ibumu. (*)
Sita, seorang Ibu rumah tangga yang memiliki dua anak. Belajar menulis. FB: Sita
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita