Lima atau Satu Meter

Lima atau Satu Meter

Lima atau Satu Meter

Oleh: M Indah

Hawa dingin terasa menampar muka ketika aku membuka pintu samping gedung bahasa tempat ruang penelitianku berada. Aku mengerjap beberapa kali sebelum mataku menangkap tumpukan salju di tembok pembatas teras. Bahkan, beberapa bagian teras yang terhubung dengan tangga, tak luput dari tumpukan salju. Rupanya hujan salju sejak dini hari tadi meninggalkan jejak yang lumayan.

Aku selalu gembira menyambut salju yang turun, memandang tumpukan salju yang putih bersih, dan berjalan di atas tumpukan salju yang belum tersentuh. Sejak pagi, aku sengaja duduk di sofa dekat jendela besar di common room supaya aku bisa membaca beberapa makalah sambil memandang salju turun. Kemudian, kira-kira satu jam sebelum jam makan siang, salju berhenti turun dan menyisakan tumpukan putih yang menyebabkan area kampus menjadi berkilauan ditempa sinar matahari yang akhirnya muncul.

Menjelang jam makan siang berakhir, aku bermaksud ke kantin di Kawauchi Selatan. Kupikir keluar lewat tangga samping lebih aman dari pada keluar dari pintu utama sebab aku bisa langsung ke trotoar melewati bawah pohon cemara yang tanahnya tidak tertutup salju. Namun, di luar perkiraanku, salju telah membuat tangga basah dan licin sehingga aku harus sangat berhati-hati meskipun aku mengenakan sepatu bot dengan lapisan anti selip.

Aku memasang penutup kepala jaketku ketika tiba di trotoar. Walaupun matahari sempat muncul, awan putih segera menutupinya kembali sehingga hawa dingin masih terasa menusuk telingaku yang sudah tertutup jilbab.

Aku merasa sedikit kecewa karena harapanku untuk berjalan di salju yang belum tersentuh telah kandas. Trotoar itu telah dilewati banyak orang hingga terbentuk satu jalur jalan, tepat di tengahnya. Aku bisa saja membentuk jalur baru, tetapi itu akan merusak tumpukan salju yang tidak perlu dirusak dan aku tidak suka pemandangan seperti itu. Akhirnya, aku berjalan mengikuti jalur yang telah ada sambil mengamati sekitar dengan kagum.

Baru beberapa langkah aku berjalan, di ujung trotoar kulihat Wakabayasi Sensei*, dengan jaket musim dingin berwarna hijau terang, sedang menuju ke arahku. Beliau adalah pembimbing utama disertasiku. Seorang lelaki paruh baya yang sangat ‘menyeramkan’ saat seminar rutin laporan penelitian karena sikapnya yang tegas, pertanyaan-pertanyaan yang menghunjam, dan pemilihan kata yang terkesan mengintimidasi siapa pun yang mendengarnya.

Aku sempat ragu untuk melanjutkan langkah, tetapi berbalik arah bukan tindakan yang tepat. Setelah beberapa saat dalam kebimbangan, kuputuskan untuk terus berjalan. Aku berencana menepi saat kami telah dekat. Namun di luar perkiraan, beliau menepi dan menungguku lewat ketika jarak kami tersisa lima meter.

Melihat hal itu, aku menjadi takenak hati. Kupercepat langkah supaya beliau tidak lebih lama menungguku. Sekitar satu meter dari tempat beliau berdiri, aku berhenti. “Maaf telah membuat Sensei menunggu saya lewat,” kataku dalam bahasa Jepang yang cukup halus, sambil sedikit mengangguk.

“Tidak apa-apa, itu bukan masalah besar.” Beliau menjawab dengan tingkat kehalusan yang sama denganku. Ketika beliau menggelengkan kepala, rambut ekor kudanya bergerak-gerak lucu.

“Sebenarnya saya sudah berencana menepi jika jarak kita sudah satu meter. Ternyata itu terlalu dekat, ya?”

“Hmm …, saya rasa satu meter itu terlalu dekat. Tapi tidak perlu dipikirkan terlalu berlebihan. Kebetulan di sini ada bekas orang menepi jadi saya memilih menepi di sini.”

“Oh, begitu? Berikutnya saya akan lebih berhati-hati. Ehm, kalau begitu saya permisi.”

“Ya, silakan.”

Aku segera berlalu sebelum berpapasan dengan orang lain lagi. Para mahasiswa pasti sedang menuju kelas masing-masing karena perkuliahan siang akan segera dimulai.

Setelah membersihkan salju yang menempel di bot-ku, aku memasuki kantin yang hangat. Aku segera memilih makanan dan mencari tempat duduk. Ternyata masih banyak mahasiswa yang menghangatkan diri di kantin. Lalu aku melihat senior laki-laki yang sedang duduk sendiri di meja dekat kasir. Setelah meminta izin untuk duduk semeja dengannya, aku membuka percakapan dengan menceritakan pertemuanku dengan Wakabayashi Sensei tadi.

“Sebenarnya, berapakah jarak aman yang perlu diambil ketika saya dalam situasi seperti tadi?” tanyaku dalam bahasa Jepang dengan tingkat kehalusan yang sama saat aku berbicara dengan Sensei.

Koizumi san** tidak menjawab dengan tegas melainkan menjelaskan beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi keputusan seseorang dalam mengambil jarak dari orang lain. “Faktor-faktor itu misalnya: jenis kelamin, usia, kedekatan hubungan, kewarganegaraan, situasi pertemuan, dan masih banyak lagi. Semua saling berkaitan jadi tidak segampang itu memutuskannya.” Dia menjelaskan sambil beberapa kali membetulkan kacamatanya yang melorot.

“Wah, kenapa harus serumit itu?” tanyaku heran.

“Karena kami sangat menghormati privasi orang lain.”

Aku melanjutkan makanku dalam diam sambil berpikir apakah aku telah melanggar privasi seniorku karena tiba-tiba datang dan meminta duduk semeja dengannya. Lalu aku sadar bahwa aku datang ke Jepang hanya berbekal kemampuan bahasa Jepang tanpa mempersiapkan diri menghadapi perbedaan cara pikir dan kebiasaan hidup orang Jepang lainnya. Aku terus memikirkan banyak hal yang telah kualami selama lebih kurang enam bulan berlalu hingga Koizumi san pamit untuk kembali ke ruang penelitiannya.(*)

Tangerang, 19 Oktober 2023

 

Catatan:

* Sensei: panggilan untuk guru, dosen, dokter, pengacara, dan penulis dalam bahasa Jepang.

** San: Tuan, Nyonya, Bapak, Ibu, Kakak, Nona. Disematkan setelah nama orang.

 

M Indah adalah seorang ibu rumah tangga yang sedang belajar menulis untuk berbagi.

 

 

 

 

Editor: Imas Hanifah N

 

Leave a Reply