Lily dan Sebuah Potret Masa Lalu
Oleh: Nishfi Yanuar
Terbaik ke-10 Tantangan Lokit 7
Kakiku sampai juga di depan sebuah bangunan sederhana yang tampak asri. Di sisi kiri pagar, plang bertuliskan “PANTI ASUHAN AYAH BUNDA” mulai mengelupas. Satu-satunya kunci terakhir sebagai petunjuk keberadaan tempat yang sedari pagi kucari. Aku bernapas lega, rasa lelah selama empat jam perjalanan terbayar sudah. Sendi-sendi yang terasa kaku, kembali menguat seketika.
Kudorong pintu pagar yang sedikit terbuka. Aneka bunga beraneka warna menyambut hadirku, tak jauh di depan sana terlihat beberapa anak berkejaran riang, tertawa semringah di atas rumput dengan kaki telanjang. Mendadak, ada sesuatu mengiris hatiku. Tiga tahun menikah, aku belum juga dikaruniai momongan.
“Maaf, ada yang bisa saya bantu, Bu?” Aku tersentak. Tanpa sadar, entah berapa menit aku mematung. Seorang remaja mengangguk di hadapanku.
“Oh, iya. Maaf, bolehkah saya masuk?” ucapku tergagap. Bingung juga apa yang pertama harus kulakukan sesampainya di sini.
Remaja berkepang dua itu mengangguk. Mempersilakanku mengikutinya. Kakiku mengekor, melewati anak-anak yang berlalu lalang. Sebagian mereka saling membisik, sebagian lainnya seolah-olah tak peduli, larut dalam keasyikan bermain dan bercanda.
Remaja cantik di depanku berhenti di sebuah ruangan. Dari tulisan di atas pintu, kutahu ini adalah ruang tamu. Ya, memang aku sedang bertamu, ‘kan?
“Mari silakan masuk, Bu. Silakan duduk,” ucapnya sopan sembari mengulurkan tangannya ke arah kursi anyaman rotan. Perabot sederhana dalam ruangan yang cukup sederhana.
Aku mengangguk, lantas segera duduk.
“Maaf, sedang ada perlu apa ya?” Pertanyaan itu sontak kembali membuatku bingung. Apa yang pertama harus kulakukan?
“Eum, bisa saya bertemu dengan pemilik panti asuhan ini?” Spontan, terlintas juga pikiran itu. Awal yang bagus.
“Baik, silakan tunggu sebentar.” Sepeninggalnya, perasaan was-was dan kecemasan menyambangiku seketika. Dadaku gemetar tak beraturan. Entah perasaan macam apa lagi yang coba merangsak keluar.
***
Sudah hampir sebulan, kutemukan gelagat tak biasa dari Mas Pras. Suamiku itu seperti menyembunyikan sesuatu dariku. Namun, setiap ditanya tak pernah kutemukan titik terang yang melegakan.
“Lily itu siapa sih, Mas? Kenapa akhir-akhir ini sepertinya Mas sering sekali menulis cerpen dengan nama itu?” tanyaku suatu pagi ketika mendapati cerpen karya suamiku kembali menghiasi salah satu halaman koran ibu kota. Kulipat koran itu asal, lantas melemparkannya sembarang ke atas meja.
Barangkali ini hanya kecurigaan tak berdasar, tetapi entahlah! Hati seorang istri sering kali lebih awas ketimbang jangkauan matanya.
“Nggak bosen apa nanya itu terus?” Menyebalkan! Yang ditanya kembali menjawab asal-asalan.
“Nggak bosen apa Lily lagi … Lily lagi. Ini sudah cerpen yang ke berapa, Mas? Wajarlah aku curiga.” Aku mendengus kesal.
“Kita jalan-jalan, yuk! Udah lama juga kita nggak nonton.” Jawaban itu membuatku serasa ingin mengunyah koran yang mengerling mengejek di depanku. Arghhh!
Malamnya, kami beneran nonton. Karena belum ada anak, kami lebih bebas pergi berduaan. Jika kupikir kembali, selain cerpen-cerpen dengan nama Lily itu sebenarnya tak ada yang berubah dari sikap Mas Pras. Dia masih saja suka banyol, hangat, dan sesekali romantis. Ah, apa memang aku yang terlalu mendramatisisasi dan curiga berlebihan?
Dua hari kemudian, kutemukan kotak merah beledu di tas kerja Mas Pras. Kusunggingkan seyum tipis, tersipu dengan keromantisan yang kembali ia tunjukkan. Hmm, cincin apa kalung, ya? Tak sabar, kubuka diam-diam saat kebetulan ia masih di kamar mandi.
Mataku mendelik. Aku merengut kecewa. Sungguh keterlaluan! Liontin dengan emas putih itu bertuliskan satu nama yang tak asing lagi bagiku. Nama yang belakangan mengganggu tidurku. Mengacaukan kehangatan rumah tanggaku.
Aku menyayangimu, Mas. Sungguh! Jangan sampai kau izinkan perempuan lain memasuki hatimu. Jangan!
***
“Maaf, Bu, lama menunggu.” Seorang perempuan sepuh mengagetkanku. Mata cekungnya menatapku ramah.
Aku segera berdiri. Menyalaminya hormat sembari memaksa senyum. Hatiku semakin bergetar tak karuan. Terbayang teka-teki yang menghantuiku belakangan ini akan segera menemukan jawaban.
“Anda siapa, ya? Dan … ada perlu apa ke sini?” tanyanya pelan.
“Perkenalkan, saya Dira. Dari Jakarta. Maaf, ada beberapa hal yang ingin saya obrolkan dengan Ibu. Apakah Ibu ada waktu sebentar?” aku berujar ragu-ragu.
“Wah, jauh juga, ya. Tapi maaf, maksudnya mengobrol bagaimana? Silakan saja, barangkali ada yang bisa saya bantu.”
Aku menggigit bibir bawah. Lalu mengangguk-angguk tak jelas. Ah, konyol sekali.
“Saya Ratna. Sepertinya, kita baru pertama kalinya bertemu. Anda mau menjadi ibu asuh, atau menjadi donator?”
Aku tercenung. Bukan keduanya!
“Saya ingin membicarakan hal pribadi, Bu.”
Kubuka resleting tas hitamku. Mengambil sebuah foto di dalamnya. Foto seorang perempuan yang menggendong balita bertopi beruang. Pipinya yang montok sebenarnya sangat menggemaskan. Namun, lantas timbul rasa benci dan muak saat kali pertama melihatnya di antara file kerja Mas Pras minggu lalu. Pikiran kotor berseliweran tanpa kejelasan, bagaimana jika bayi tanpa dosa itu adalah anak Mas Pras? Apalagi semua bukti memberatkannya. Mulai dari cerpen-cerpen itu, liontin, lalu foto ini. Ya, Tuhan! Sedangkan setiap kutanya Mas Pras selalu saja berkelit. Mengunci rapat, meski kemarahanku sudah memuncak. Kuputuskan mencari tahu sendiri, dengan caraku sendiri.
Di belakang foto itu tertulis, “Panti Asuhan Ayah Bunda, Bandung. My Love, Lily”. Berbekal foto itulah, semingguan aku menjelajah internet mencari keberadaan panti asuhan itu. Sempat dua kali salah alamat, akhirnya untuk kali ketiga aku berhasil menemukannya. Ini perjuangan! Perjuangan demi rumah tanggaku.
Kutaruh foto tersebut di atas meja. Seketika, tangan keriput di depanku memungutnya.
“Foto ini, bagaimana bisa ada sama Anda? Ada hubungan apa sama dia?” Mata sepuh Bu Ratna memandang heran. Meskipun terhalang kacamata, tetapi sorot menyelidik itu tetap terlihat jelas.
“Saya teman lamanya. Apakah Bu Ratna bisa mempertemukan saya dengannya?” Aku berbohong.
Bu Ratna seketika berdiri. Aku terperanjat. Adakah yang salah?
“Maaf, jika saya lancang. Tapi saya mohon, Bu Ratna berkenan membantu.” Suaraku bergetar. Ada khawatir, juga bimbang.
Perempuan itu duduk kembali. Menekur sesaat. Sorot matanya yang tadi tajam berubah sendu, memerah. Seperti menahan air yang siap keluar. Aku geming. Turut membisu.
“Anda yakin ingin menemuinya? Untuk apa?” Kepala panti kembali menyelidik. Menyiratkan tanda tak suka, entah kehati-hatian.
Tidak mungkin kujawab untuk melabraknya karena telah mengganggu suamiku. Tak mungkin kuceritakan rasa sakit hati yang begitu dalam. Biar, biar kuucap langsung nanti padanya. Di depan mukanya!
“Ada hal penting yang harus saya sampaikan padanya, Bu. Sangat penting,” ujarku mencoba tetap bersikap tenang. Menahan kesal dengan sikap Bu Ratna yang masih alot.
“Baiklah, saya siap-siap dulu. Tunggu sebentar.” Lega! Akhirnya keluar juga kalimat itu.
***
Taksi berhenti di depan pemakaman umum, tak berjarak jauh dari panti. Aku memandang sekeliling. Hanya ada warung-warung kecil dan ruko sederhana, itu pun di sisi kanan jalan sana. Lalu, apakah ini artinya Bu Ratna mengajakku ke makam?
Bu Ratna dan seorang bocah bertubuh gemuk keluar dari jok belakang. Entah apa tujuan Bu Ratna mengajaknya. Aku segera menyusul, setelah meminta sang sopir untuk menunggu.
“Eum, maaf … kenapa kita ke sini, ya, Bu?” tanyaku penasaran.
“Mari!” Bu Ratna tak menanggapi tanyaku. Kuikuti saja langkahnya menyusuri jalanan sempit sekitar makam. Hatiku tak henti melantun istighfar.
Sampai di satu makam, mereka berhenti. Duduk terpekur, aku mengikuti.
Sekian menit berlalu, Bu Ratna memecah hening. “Kasihan hidupnya. Dia tinggal di panti dari kecil. Hingga seorang lelaki kota merebut hatinya. Mereka menikah siri. Namun, karena tergoda perempuan lain suaminya menceraikannya secara sepihak. Padahal saat itu anaknya masih sangat kecil, masih umur dua tahun.” Bu Ratna mengusap kepala bocah di sampingnya. Aku jadi menyimpulkan, kemungkinan dia adalah anak almarhumah.
Tadinya kupikir, ini adalah makam Lily. Sungguh sedalam inikah cinta suamiku padanya yang sudah meninggal ini? Namun, sejak awal mataku awas menatap batu nisan bukan nama perempuan itu yang tertera di sana. Lantas, di mana Lily?
“Saya turut prihatin atas kejadian yang menimpanya, Bu. Semoga dia tenang di sana,” ujarku prihatin seolah-olah turut merasakan luka almarhumah yang barangkali sedalam duka yang menimpaku saat ini.
“Katanya ada hal penting yang mau disampaikan? Silakan, saya tunggu di belakang.” Bu Ratna bersiap beranjak. Aku justru bingung apa maksudnya.
“Maaf, tapi dia bukan orang yang saya maksud.”
“Maksudnya? Katanya mau ketemu sama orang di dalam foto tadi?” Bu Ratna terlihat ikutan bingung.
“Yang ingin saya temui bernama Lily, sesuai nama di belakang foto tadi. Di batu nisan ini ….” Suaraku tercekat, tak sanggup mengeja nama di sana.
“Sama Lily?” dia menegaskan. Aku mengangguk cepat.
“Lily di foto tadi adalah anak kecil ini. Itu foto lama, saat anak ini berusia mungkin setahunan. Sekarang usianya lima tahun.”
“Jadi itu Lily, dan ini ibunya?” Kepalaku menunduk ke makam.
Bu Ratna mengangguk dalam.
Kakiku seketika ngilu luar biasa, aku ambruk, sesenggukan hebat. Semakin menderas tatkala memandang bocah berkepang dua di samping Bu Ratna.
“Apakah suaminya bernama Prasetyo Wibowo?” Kuhimpun kekuatan untuk memperjelas semuanya.
“Iya, dia orangnya. Anda mengenalnya?”
Kenyataan macam apa ini, Ya Allah. Bahkan aku tak pernah tahu, bahwa Mas Pras sebelumnya pernah menikah.
Nishfi Yanuar, penyuka nasyid, pelangi dan senja. Selalu ingin berbagi lewat tulisan. Mari saling sapa di akun Facebook/Ig: Nishfi Yanuar.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di Grup KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata