Lidah yang Siap Menjerat
Oleh: Ray Eurus
Makian terlontar dari mulut busuknya tepat menembus ke balik rongga dadaku. Ini bukan masalah seberapa besar luka yang terasa, apalagi jika dibandingkan dengan pedihnya luka menganga yang disiram dengan air garam. Akan tetapi, gelar yang ditempelkannya di jidatku itulah yang sungguh menyakitkan.
“Parasit!”
Aku pikir, aku akan mati rasa. Nyatanya tidak!
“Pergi kamu dari sini, Parasit!” hardiknya untuk kesekian kali.
Andai wanita yang menengahi kami tak memberikan perintah untuk berhenti, maka dapat kupastikan dia tak akan merasakan tulang hidungnya yang nyaris rata dengan wajah itu. “Masuk ke kamar, jangan buat dirimu sama rendahnya dengannya,” tukas wanita yang kuhormati itu, tenang.
Aku membuang napas kasar, lalu melerai jarak dari wanita yang menjadi penengah antara aku dengan lelaki itu. Aku mundur beberapa langkah, bukan untuk memenuhi kemauan wanita itu. Maksudku belum.
Secepat kilat aku mengambil gerakan memutar hanya untuk menyusut jarak, lalu meludahi wajah memuakkan lelaki bodoh yang tak lain dan tak bukan adalah orang yang membuahi ibuku. Orang yang ingin dihormati sebagai ayah, tapi justru menjadikan dirinya sendiri layaknya Firaun yang harus disembah. Alih-alih, mengaku Tuhan.
“Sialan. Anak durhaka kamu!”
“Ngaca.” Aku terkekeh. “Inilah hasil didikanmu.” Aku segera berlalu setelah wanita yang kupanggil Mama ikut menjerit dan sekali lagi memerintahkanku untuk kembali ke kamar.
Sempat kusaksikan Mama memasang badan, agar lelaki yang dulu pernah dicintainya itu tak menyusulku. Ah, apa mungkin mereka pernah saling mencinta? Aku jadi menyangsikan pikiran itu, mengingat tingkah lelaki yang tak henti-hentinya membuatku menyusut air mata Mama pada malam-malam sepi saat aku tak sengaja terjaga.
“Pergi kamu dari rumahku.” Dia begitu muntab dengan apa yang baru saja kulakukan. Sampai-sampai aku dapat menyaksikan bibirnya bergetar saat mengucapkan kata per kata penuh penekanan. Bahkan kedua telapak tangannya yang terkepal ikut bergetar.
Setidaknya, dia harus merasakan apa yang aku dan Mama rasakan. Mendapatkan perlakuan yang tidak pantas dan merasakan pedih yang berlapis, apalagi pedihnya seperti luka menganga yang disiram dengan air garam.
Suara sumbang dari lisannya tak mereda. Justru makin bising serupa dengungan para lebah pekerja, saat kubanting pintu kamar. Setidaknya sesak di dadaku sedikit berkurang setelah aku berhasil menginjak harga dirinya. Jangan mentang-mentang dia kepala keluarga, hingga berhak memperlakukanku seperti jongos. Aku ini anaknya, darah dagingnya. Lantas, kenapa dia memandangku tak ubahnya seperti kotoran hewan saja? Apa aku semenjijikkan itu?
***
Lidah-lidah berbisa berdesis ke telinganya yang sudah basah oleh semburan racun, cukup mematikan. Alih-alih menghindar, dia justru menikmati; serupa candu. Bisa-bisa yang kini menempel tak cuma membasahi telinga, tetapi juga meluber sampai ke bahu, pangkuan, bahkan memercik hingga ke ujung jempol kaki. Tak payah pun menggambarkan keadaan wajah pongahnya yang justru tersenyum kegirangan.
Ah, ingin rasanya aku membeli es krim, hanya untuk sekadar merasakan sensasinya menjadi orang-orang dengan lidah berbisa itu. Begitu es krimku meleleh, aku akan segera menjulurkan lidah. Bedanya, lidahku akan merasakan manis, bukan menempelkan janji manis.
Aku sedikit mengangguk ke arah lelaki yang duduk tak jauh dari orang-orang dengan lidah berbisa itu, persis di ujung sofa. Setidaknya, lelaki yang membalas anggukanku itu tak pernah menjulurkan lidahnya. Sayangnya, dia justru lebih menyambut mesra orang-orang dengan lidah berbisa daripada lelaki yang setia itu.
Sapaan-sapaan merdu, bahkan tak sedikit yang melontarkan pujian memuja, ditujukan kepadaku. Aku semakin muak saat lidah orang-orang itu mulai terjulur-julur ke arahku. Aku membuang muka, memutus harapan buat para penjulur lidah. Penjilat!
Wajah-wajah palsu orang-orang yang menjulurkan lidah itu berubah masam. Memangnya dengan memperlakukanku baik, mereka akan mendapatkan apa? Bukannya lidah-lidah mereka sudah menjerat mangsanya cukup erat di depan sana? Lantas, mau cari apa lagi? Orang-orang ini seperti meminum air di lautan saja. Tak habis dahaga.
“Ah, Raka itu payah.” Dia mulai menyanyikan lagu sumbang, dan itu berhasil mencuri perhatian orang-orang dengan lidah menjulur untuk kembali menjilatinya.
“Anak muda, Pak, biasa saja kalau agak arogan.” Racunnya disemburkan lagi, lalu disambut dengan kekeh palsu oleh orang-orang dengan lidah yang menjeratnya.
Cuih!
“Siapa lagi orang-orang di depan itu, Ma?” selidikku begitu bertemu Mama yang duduk di depan meja makan, sambil menekuri gawainya.
“Katanya, sih, temannya. Entahlah.” Tampak sekali beliau acuh tak acuh pada tamu di teras depan itu.
“Kenapa Mama gak duduk di depan juga?” Aku menjenguk ke balik tubuh Mama begitu berada di sebelahnya, mencari tahu kesibukannya.
“Bukan tamu Mama. Toh, ada Om Herman di sana. Cukup satu orang waras yang ada di depan,” cetus Mama.
Aku terkekeh mendengar jawaban Mama. Beliau memang idolaku, dan sekarang aku tahu … siapakah orang yang bertanggung jawab atas kelancangan lisanku saat berbicara.
***
Pulanglah. Setidaknya, bantulah mamamu ini.
Aku menghela napas berat, setelah membaca pesan yang dikirimkan Mama. Hampir sepekan ini beliau selalu menghubungiku—menyuruhku pulang. Setelah aku mengabaikan teleponnya dari dua hari yang lalu, akhirnya beliau menyerah dengan mengirimkan pesan itu. Ah, aku semakin muak karena Mama harus memohon seperti ini untuk dia. Harusnya Mama biarkan saja dia membusuk di atas pembaringan, atau suruh saja orang-orang dengan lidah yang biasa menjeratnya itu mengurusinya. Ke mana mereka?
“Minta tolong Om Herman ajalah, Ma. Saya sibuk.” Aku menolak permohonannya sepekan lalu–melalui sambungan nirkabel, saat beliau memintaku pulang untuk yang pertama kalinya.
“Om Herman sudah lama gak pernah datang lagi, Ka.” Terdengar Mama menghela napasnya. Aku sedikit terkekeh, lantas menolak halus saat itu.
Apalagi yang sudah dilakukan lelaki itu sampai ditinggalkan oleh sahabat baiknya. Pastilah dia telah melampaui batas sampai Om Herman tak lagi di sisinya. Sesuatu yang fatal telah dia lakukan, kukira. Sebab Om Herman bukan orang yang gampang tersinggung. Dia orang yang tulus, selama aku mengamati orang-orang yang mengaku temannya. Sisanya, hanya orang-orang dengan lidah yang terus menjeratnya.
***
“Sudahlah, Pa. Sekarang cepatlah tidur.” Aku menarik selimut menutupi hingga dadanya yang membentuk ceruk cukup dalam di bagian tengah. Sudah tak tersisa kegagahan di dirinya. Hanya gambaran-gambaran tulangnya yang tercetak jelas, dibungkus kulit yang mengerut. Aku jadi merasa sedikit kasihan.
Lelaki yang terbaring lemah itu, malah menangis. Apa dia merasa malu kupandangi dengan iba seperti ini?
“Saya bacakan buku aja, ya, biar Papa segera tidur,” tawarku, berusaha mengalihkan keadaan yang mulai canggung ini. Dia mengedipkan matanya satu kali, yang kupahami sebagai tanda bahwa dia setuju. Bulir bening mengalir dari ekor matanya menuju ke telinga. Aku pura-pura tak melihatnya.
Aku berhenti membacakan salah satu novel karya Karl May setelah kuteliti napasnya yang mulai teratur, ditambah dengkuran halus yang bersahutan dengan suara titik-titik air dari dalam kamar mandi–di sudut kiri kamarnya. Aku tahu cara ini selalu berhasil. Dia akan segera terbuai jika kubacakan buku itu. Bukan, bukan karena dia menyukai kisah-kisah mengenai Apache. Akan tetapi, aku berani bertaruh kalau dia pasti bosan. Ha-ha-ha.
Aku segera beranjak menuju ke lemari jati di dekat tempat tidurnya ini. Perlahan tapi pasti, aku memutar kunci dan mulai mencari sesuatu di antara tumpukan bajunya. Aku sudah mencari di setiap laci nakas beserta meja kerjanya semenjak beberapa hari lepas. Namun nihil. Jadi aku berani bertaruh, dia pasti menyimpan sesuatu yang berharga di dalam sini. Di sela-sela tumpukan baju. Di tempat yang mungkin terlewatkan oleh pandangan orang lain, barangkali.
Aku berhasil menemukan sesuatu: map kecokelatan dari sela-sela kemeja kerja yang dulu sering dikenakannya, lalu segera menariknya. Pintar juga si tua bangka ini menyelinapkan sesuatu di sana. Kemeja-kemeja yang sudah tak tersentuh itu, akan menjadi bukti jika ada yang berusaha mengintip apalagi menggesernya, barang sedikit saja. Dugaanku jadi semakin kuat, kalau isinya merupakan sesuatu yang berharga.
“Rupanya tersimpan di sini,” bisikku, lalu tersenyum puas setelah mengetahui apa yang tersimpan dari balik map yang telah kutemukan.
Selama ini, dia selalu berkelit jika ditanya mengenai sertifikat tanah yang konon katanya telah raib begitu saja. Dilain kesempatan, dia mengabarkan bahwa orang yang dipercaya mengurusi lahan milik mendiang orang tua Mama itu, telah melarikannya entah ke mana. Mama tak pernah ambil pusing dengan itu semua. Bagi beliau, harta bukanlah sesuatu yang paling berarti di dunia ini.
“Tidak bisa juga dibawa mati,” tambah Mama kala aku mendesaknya untuk menyeriusi kebohongan lelaki yang mengaku suaminya tersebut.
‘Apa maksudmu menyembunyikan ini?’ Aku memandanginya yang tampak sangat pulas dan damai di atas pembaringan.
Sungguhlah lucu kehidupan pernikahan kedua orang tuaku ini. Hidup satu atap, tetapi seperti dibangun di antara perbatasan dua negara. Pada dua sudut rumah yang berseberangan, masing-masing memilih tinggal di negara yang berbeda. Negara bertikai pula. Hah!
Aku segera bertolak ke meja kerja yang terletak di dekat pintu keluar kamar–setelah mengunci rapat lemari, lalu menyalakan lampu membaca dengan hati-hati. Kutarik selembar kertas dan meletakkannya di atas alas, koran hari ini–yang sempat kubaca tadi. Aku sudah mantap menuliskan wasiat dengan namanya. Semua harta yang tersimpan–dari yang tersisa–aku ubah menjadi milik Mama saja. Tak ada lagi dalih bangkrut untuk berlepas tangan memberikan hak kepada Mama. Dalih yang membuatnya terlepas dari orang-orang dengan lidah yang menjeratnya.
Setelah semua selesai, tak lupa kutempelkan materai yang juga kuambil dari dalam laci meja kerja ini. Begitu semua beres, aku membawa kertas tersebut beserta sekotak tinta—yang juga berasal dari tempat yang sama—menuju tempat tidurnya.
Aku menurunkan selimut perlahan, lalu meraih tangan kanannya yang tergeletak persis di sebelah tubuh layu tak berdaya. Ibu jari tangan kanannya kuwarnai dengan bagian dalam dari tutup botol tinta. Sebagian tinta menempel pada tutup itu, jadi aku tak perlu bersusah payah mencari cara untuk menodai ibu jarinya.
Semua sudah kubereskan. Dia sempat terbangun saat aku menempelkan ibu jarinya ke atas kertas dan mengenai sedikit pada sudut materai. Aku segera menyuguhi senyuman termanis untuknya. “Ssst, tak apa-apa, Pa. Sekarang Papa bisa beristirahat dengan tenang,” ucapku sambil menepuk-nepuk punggung tangannya, saat kukembalikan pada posisi semula.
Aku segera berlalu, meninggalkan dia yang entahlah, apakah sudah kembali tertidur atau tengah menangis dalam kesunyian, menuju pintu keluar. Aku sungguh tidak peduli. Biarlah dia bergelung dalam pedih karena diabaikan, pedih seperti luka menganga yang disiram dengan air garam.
“Astaga!” Aku tersentak, nyaris berteriak. Syukurnya aku segera menelan kembali keterkejutan itu.
“Apa yang sudah kamu lakukan, Ka?”
“Se-sejak kapan Mama ada di situ?” selidikku geragapan dengan suara setengah berbisik, kepada Mama yang diam mematung memandang lurus tepat ke dalam mataku, persis di muka pintu keluar.
“Coba kamu tengok ke dalam cermin. Sepertinya lidahmu mulai menjulur sekarang. Dan itu menjulur-julur ke arah Mama.” Mama berlalu setelah menerima map dariku, meninggalkanku yang mematung sambil membekap mulut, khawatir lidahku berubah makin panjang.
Sial! Harusnya aku menutup rapat kamar lelaki itu pas masuk tadi.[*]
Balikpapan, 20 Juni 2021.
Tentang penulis:
Ray Eurus, nama pena dari salah satu penulis yang juga aktif dalam Grup Menulis Balikpapan. Bernama asli Rahmayanti Fajaruddin. Penulis telah menelurkan dua novel solo dan belasan antologi lainnya. Penulis yang sejak Maret 2020 lalu menekuni dunia fiksi dan baru saja mempelajari sastra ini, dapat disapa pada pos-el: rayeurus87@gmail.com akun Instagram: @rayeurus dan akun Facebook: Ray Eurus.
Editor: Inu Yana