Lidah Tak Bertulang
Oleh : elmero_id
Di dunia ini, ada tempat-tempat sakral yang penuh misteri. Salah satunya seperti gunung dan lautan. Maka, tatkala kita mengunjungi tempat tersebut, kita harus menjaga sikap serta tutur bahasa. Jangan sampai kejadiannya seperti salah satu temanku. Dia meninggal setelah perjalanan panjang melawan penyakit yang tak terdeteksi oleh medis. Awal mula dari kondisi mengenaskannya karena melontarkan kalimat kotor ketika kami pergi mencari burung ke gunung.
***
Sore yang tenang, tapi tidak dengan Aldi. Ah, dia memang biasa melontarkan kalimat-kalimat kotor. Namun, aku tak menyangka jika dia berani menantang makhluk tak kasatmata. Waktu itu kami pergi bertiga, aku, Roni, dan Aldi. Sementara aku dan Roni berjalan di depan, Aldi berada di belakang sendiri. Lalu, tiba-tiba dia berteriak, “Anying!” Kami berdua pun kaget dan menoleh.
“Kenapa, Al?”
“Gak tau. Aing rasa, ada binatang yang lewat di kaki.” Aldi kelihatan mencari sesuatu di bawah. Katanya, kakinya dingin merasakan sesuatu melintasi kakinya. Aku dan Roni sependapat kalau itu adalah seekor ular, tapi dia mengelak.
“Terus kalau bukan ular, apa?” Roni kesal. Lagi pula kupikir, sepertinya kami memperdebatkan hal yang sia-sia. Tak ada jejak tertinggal memberi jawaban dari keresahan kami.
“Kayaknya lintah. Aing mah yakin ini.” Aldi terus menyibak dedaunan kering di tanah dengan kakinya.
“Mana ada lintah ngelewatin kaki kamu. Ya, kalau emang lintah, paling udah ngisep darah kamu dari tadi. Lah, ini! Masa iya gak ada jejak sama sekali? Udah, itu mah ular! Udah kabur kali.” Roni berbalik melanjutkan perjalanan, pun denganku yang kemudian mengikutinya.
“Anying! Kaget aing. Kalo ketemu, awas aja dibunuh sama aing!” Aldi bergumam dengan gaya khasnya melontarkan kata-kata kasar. Aku dan Roni hanya menggelengkan kepala mendengarnya. Hingga kesabaran Roni habis dan dia berbalik badan kembali, menarik baju Aldi penuh emosi.
“Kamu bisa diem gak? Jangan sembarangan kalau ngomong. Mending kalau itu emang binatang. Gimana kalau ….”
“Kalau apaaa? Siluman? Gak takut tuh. Mana … mana ada kayak begituan, sini tunjukin sama aing kalau emang ada.” Kesongongannya tak kenal tempat. Ya, mending kalau dia berlagak sok jagoan di depan pemuda sebaya kami. Tapi ini, dia berlagak pada makhluk yang kami pun tak bisa melihatnya.
Roni mendorong Aldi sampai hampir mau terjatuh. Kalau tidak ada aku, kemungkinan mereka sudah babak belur baku hantam. Aku sama sekali tak berpihak kepada siapa pun, tapi sepertinya Roni salah paham. Dia marah kepadaku dan meninggalkan kami berdua pulang. Pada akhirnya, tujuan kami ke gunung pun gagal. Kami kembali ke rumah masing-masing, kalau perasaanku tentu cemas karena pertengkaran mereka tadi. Tak tahu dengan mereka bagaimana. Hanya saja, rumahku berdampingan dengan Aldi. Dan aku menjadi saksi suara jeritan malam dari rumahnya.
***
“Aldi … Al …” Pagi-pagi, aku sudah memanggil namanya. Kami biasa berangkat sekolah bareng. Meskipun seringnya di perjalanan dia malah belok ke warung dan menyuruhku pergi duluan, tahu-tahu ternyata dia bolos.
“Eh, Tian. Aldi lagi sakit. Tadi Ibu udah telepon wali kelasnya.”
Aldi sakit? Baru kali ini dia bolos karena sakit benaran sampai ibunya menelepon wali kelas. Apa sakitnya berhubungan dengan jeritannya semalam? Aku tak tahu.
Ya, aku tak tahu. Tapi, hal yang sama terus berulang. Aku mendengar jeritan Aldi setiap malam dan ibunya bilang masih sakit. Pernah teman-teman sekelasnya datang menjenguk, tapi mereka ditolak masuk oleh ibunya. Jangankan mereka, aku saja yang teman dari kecil, bahkan tinggal berdampingan, ditolak.
Seperti pepatah bilang: Sepandai-pandainya membungkus, yang busuk berbau juga.
Keadaan Aldi mulai diketahui dari kabar wali kelasnya. Hanya dia, orang yang diperbolehkan melihat keadaan Aldi. Tapi, ibunya tak tahu saja kalau mulut wali kelasnya itu licin sekali dalam berbicara. Dengan cepat kengerian sang wali kelas melihat kondisi Aldi menyebar. Katanya, mulut Aldi ditutup selotip karena tak henti berteriak. Matanya sering kali memelotot dan tubuhnya tak henti meronta, sehingga dia diikat. Lebih parahnya lagi, tubuhnya itu sudah kurus kering seperti tulang saja yang tersisa.
Oh, pantas.
Sudah beberapa hari aku tak mendengar jeritan Aldi. Tapi, yang membuatku penasaran adalah tubuh kurus yang diceritakan wali kelasnya. Apa mungkin karena kondisinya begitu, dia jadi jarang makan? Atau mungkin, apa sesuatu yang terasa di kakinya itu benar lintah? Maksudku, makhluk tak kasatmata yang menyerupai lintah.
Aku tidak bisa memendam tanyaku sendiri. Kuceritakan kejadian tempo lalu kepada kedua orangtuaku. Mereka mendengarkan dengan saksama. Lalu, ekspresi di luar dugaan dari Ibu terlihat saat akhir cerita.
“Aaaah, pantas. Ibu pernah denger waktu dia masih sering teriak itu, dia bilang, ‘Ada ular, ada ular,’ gitu.”
Eh, aku belum pernah dengar dia berteriak seperti itu. Atau mungkin aku terlalu lelap tidur. Atau bisa juga pas waktu aku lagi di sekolah. Entahlah.
“Eh, Ibu ini. Kan, Tian bilang, kalau yang lewat itu lintah kata si Aldi. Makanya badannya kurus kayak kehabisan darah.”
Hm … pendapat ayahku masuk akal juga, tapi belum bisa dibenarkan. Ah, mereka malah beradu argumen setelah mendengar ceritaku. Sepertinya aku salah memilih orang untuk membantu menemukan jawaban. Mereka malah menambah spekulasi-spekulasi tak jelas yang membuat tanya semakin banyak.
***
“Tian … apa bener yang diceritain sama kedua orang tua kamu?”
Aku tak kuasa melihat wajah muram di hadapanku. Sialan! Hah, kalau mereka bukan kedua orangtuaku, sudah kusemproti mereka dengan kata tersebut. Kupikir, mereka tak akan menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya Aldi.
Aku mengangguk. Lalu, tangis ibunya makin pecah. Dia bersandar pada suaminya sambil melontarkan sebuah tanya, “Apa yang harus kita lakukan, Pak?”
“Sabar, Mah. Nanti kita cari orang pintar buat bantu Aldi.”
Orang pintar? Memangnya separah apa keadaan Aldi sampai mereka mau minta pertolongan dari dukun? Ah, maksudku orang pintar.
“Emangnya, Aldi sakit apa, Pak? Gak bisa kalau dirawat atau diobati dokter aja?” Pertanyaanku sepertinya membuat mereka semakin sedih. Aku jadi merasa tidak enak.
“Kita sudah pernah coba periksa Aldi sama dokter, tapi penyakitnya gak terdeteksi. Makanya, waktu ibu kamu ceritakan kejadian kalian, kami begitu kaget.”
Ya ampun, apa makhluk tak kasatmata itu sedang mencoba membuktikan perkataan Aldi yang mengatakan tak takut? Entahlah.
Dua hari kemudian, ada seorang dukun, ah, maksudku orang pintar, datang ke rumah Aldi. Aku ingin tahu, ritual seperti apa yang mereka lakukan. Tapi, keterbatasan membuatku hanya bisa melihat kedatangan dan kepulangannya. Kupikir, setelah kedatangan dukun itu orangtua Aldi akan sedikit tenang. Nyatanya mereka tetap berlinang air mata saat dukun, maksudku orang pintar, itu pulang.
***
Kabar kematian datang ke rumah pukul setengah delapan malam. Aldi sudah tiada setelah melewati banyak waktu menahan penderitaan. Aku kaget, sedih, dan tentunya kehilangan mendengar kabar tersebut. Meskipun sebelumnya aku sudah melihat seekor kupu-kupu besar terbang di pekarangan rumahnya saat pulang sekolah. Katanya, kupu-kupu besar adalah salah satu tanda dari kematian.
Pukul sembilan malam, Ayah kembali ke rumah setelah selesai membantu mengurus jenazah Aldi. Kudengar darinya kalau dukun kemarin bilang, ada sosok tak kasatmata mengikuti Aldi. Dia hanya bersedia pergi kalau mereka memenuhi syarat yang dipinta, yakni ayam cemani dan sarang burung walet dari pesisir goa pantai selatan. Namun, karena kedua orangtua Aldi tak mampu menyanggupi syarat yang kedua, maka nyawalah yang menjadi taruhan.
Apa itu benar? Aku tak tahu. Aku hanya mendengar semua kabar tentang Aldi dari mulut ke mulut. Yang pasti, dalam kehidupan yang berdampingan antara manusia dan makhluk gaib, kita memang diharuskan menjaga sikap dan omongan.(*)
Tashikumaraya, 29 April 2021
Seorang pemimpi kecil yang suka mendongeng bernama elmero_id. Lahir di Tashikumaraya, 18 Mei 1994. Penggemar lagu-lagu Taylor Swift garis keras.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata