Lia dan Ayahnya

Lia dan Ayahnya

Oleh    : Ning Kurniati

Mendadak diam, mendadak ia merasa tidak berharga. Celotehnya yang panjang hanyalah angin lalu, tak memberi arti apa-apa. Tanpa ia sadari air kembali mengairi wajahnya, menyapu debu-debu sepanjang aliran. Di tempatnya duduk ia terisak-isak sambil menunduk, menenggelamkan wajah di antara dua lutut.

Sementara kerangka yang terbujur di ranjang tak memberi respon. Ia layak disebut benda mati, dianggap hidup hanya bila ia menelan makanan dan minuman yang disodorkan ke dalam mulutnya. Membersihkan diri pun perlu orang lain yang melakukannya.

“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Lia lontarkan meski tahu tak akan ada jawaban.

*

Banyak yang mengasihani keadaan mereka, Lia tahu betul. Dari masyarakat yang biasa saja sampai perangkat pemerintah di desa dan di kecamatan, duyung-duyungan bantuan terus berdatangan. Segalanya sudah diusahakan, tiga tahun berlalu dari dengan meminum herbal sampai pengobatan medis, sedikitpun tak memberikan efek bagi ayahnya. Ia tetap diam, kaku, seperti patung, seperti mati tapi masih hidup.

Orang yang terakhir menangani seorang psikiolog menganjurkan sebaiknya beliau dibawa ke tempat-tempat yang menyenangkan untuk membangkitkan kenangan, barangkali dengan begitu jiwanya bisa kembali. Lia yang polos ketika itu bertanya, apa jiwa ayahnya melayang pergi?

Ayahnya tidak sakit, itulah kesimpulan orang-orang, dokter, psikiolog sampai dukun pun berkata hal yang sama sebab tak ditemukannya ilmu hitam, bahkan mungkin Jin enggan memasuki tubuh lelaki itu. Secara badaniah ia sehat, secara kejiwaan ia sakit. Tapi, apa yang bisa dilakukan para suster di rumah sakit jiwa, seorang psikiatri pun angkat tangan. Ia tidak butuh obat ataupun bantuan orang lain untuk menyembuhkan jiwanya. Hanya dirinya sendiri yang bisa. Ia tidak mau bicara. Ia tidak mau melakukan apa-apa. Bahkan ketika air kencing memancar keluar, ia bahkan tidak sadar atau mungkin sadar tetapi membiarkan dirinya, biar saja membusuk.

*

Ke mana ibumu? Lia kecil yang ditanya bingung. Apa setiap manusia selalu perlu ibu untuk bisa disebut anak manusia, apa kehadiran anak selalu melalui ibu? Begitu kembali dari sekolah segera ia menyampari ayahnya yang sedang merokok di dalam kamar. Ayahnya yang ketampanannya masih membuat para gadis mengeluh meski ia seorang duda duduk sambil melempar pandangan ke luar jendela.

“Apa aku punya ibu?”

“Yah, tentu saja, Nak. Setiap orang punya ibu,” jawab ayah yang sedikitpun tak melihat wajah anaknya.

“Tapi di mana ibuku?”

“Ayah juga tidak tahu.”

“Kenapa Ayah tidak tahu?”

“Itulah masalahnya ayah tidak tahu kenapa ayah tidak tahu. Kamu mengerti?”

“Aku tidak mengerti.”

Lia tumbuh tanpa seorang ibu.

Setelah pertanyaan pada hari itu, selanjutnya tak pernah lagi ada kata ibu yang terlontar dari mulut Lia. Bila seseorang bertanya, maka ia menjawab seperti cara ayahnya menjawab, aku tidak tahu. Jawaban ini pun sama dilontarkan oleh semua orang di desanya bahkan sampai di kecamatan yang mengenal Lia dan ayahnya. Siapa ibu Lia? Kami tidak tahu. Aku tidak tahu. Kita tidak ada yang tahu.

*

Mereka tinggal di sebuah rumah yang cukup sederhana, hanya terdiri dua kamar tidur. Kepindahan ke rumah itu enam bulan yang lalu saat tabungan di rekening ayahnya menipis. Lia mengambil tindakan itu atas saran kerabat dekat.

Sudah menghentikan upaya pengobatan, sehari-hari Lia menemani ayahnya di rumah. Ia memang tak perlu merisaukan uang, sebab pada tanggal lima setiap bulan uang akan masuk ke rekening ayahnya, meski tak sebanyak dulu. Mungkin orang kepercayaan ayah sudah korupsi tak ada bedanya dengan pejabat saat ini, di mana ada kesempatan di sana ia menyeleweng, pikir Lia.

Ayahnya yang baru saja diberi bubur, Lia dudukkan menghadap ke luar jendela. Matahari pagi menyilaukan mata sebenarnya, membikin orang yang normal akan mengangkat tangan menghalau sinar, tapi apa yang dilakukan ayahnya justru sebaliknya. Ia makin mengarahkan wajah, berusaha membuka mata lebar-lebar, tetapi kelopak mata tak pernah berkhianat ia mau menutup, menutup dan menutup ketika dipaksa membuka mata itu tantrum berkedip-kedip mau melindungi bola mata yang menjadi tanggung jawabnya.

“Berhenti, Ayah!” Lia menarik kursi roda, lalu berdiri di ambang jendela mengganti sinar yang datang dengan batang tubuhnya. “Apa anak bukan matahari bagi ayahnya?”

*

Lia membongkar kembali barang-barang ayahnya. Ini mungkin ke delapan kali sejak di rumah yang dulu, andai saja ia menghitung usahanya itu. Tiga koper jadul sudah dipeleteri tergeletak sembarang di samping kakinya. Tumpukan kertas yang antara lain surat tanah, ijazah, surat perjanjian dengan orang-orang, kini dibukanya, diperiksa satu per satu tak ada yang spesial, tak ada jalan di sini. Keringat membanjiri tubuhnya, membasahi rambutnya, ia benar-benar putus asa.

Mendadak ia merasa bodoh, kenapa pula mesti mendengarkan saran teman ayah untuk mengecek barang-barang yang bahkan ia merasa sudah hapal di luar kepala semua isinya, tetapi lelaki yang datang menjenguk kemarin siang itu terus berkata, coba diperiksa ulang barangkali ada yang terlewat, sampai tubuhnya menghilang dari depan rumah Lia, perkataan itu terus terputar di benak anak gadis itu seolah ia adalah pemegang kendali dan Lia hanyalah benda mati yang di kepalanya terdapat tombol on/off.

Ia merenung terus merenung dan merenung, apa yang terlewat, apa yang seharusnya ada tapi tidak ada saat ini untuk sebuah petunjuk. Segelas kopi sudah tandas. Ia kemudian mengikuti kebiasaan ayahnya kali ini, melihat ke luar jendela di kamarnya sendiri. Rasa-rasanya ia ingin melakonkan sebuah peran. Dan, peran itu adalah menjadi ayahnya.

Atau barangkali ini salah, pikirnya. Ia tak mesti melakonkan peran ayah, tetapi yang benar adalah menjadi jin. Apa Jin bisa membaca pikiran manusia? Lia ingin sekali membaca pikiran ayahnya.

Atau menjadi jin pun salah. Barangkali yang benar adalah menjadi makhluk mikroskopis, seperti bakteri, jamur, atau virus lalu merasuk ke tubuh ayahnya. Apa makhluk itu mengetahui pikiran inangnya? Aah, Lia mengusap-usap dengan kasar kepalanya, menariknya ke depan persis seperti orang yang sedang menakut-nakuti. Tujuh helai rambut masuk ke dalam gelas, ujungnya bermandikan ampas kopi.

*

Menenen bayi dalam pangkuan, seorang perempuan bukannya tersenyum malah muram. Di wajahnya air mata mengalir bagai banjir yang tak bisa dibendung. Terisak-isak, sebentar-sebentar ia menciumi bayi itu, lagi, lagi, dan lagi. Si bayi yang dicium menatap perempuan itu, sebuah senyum terbit menghangatkan hati yang ketar-ketir.

“Aku akan membawanya pergi.” Sebuah suara menyentak perempuan itu bersamaan membangunkan Lia dari mimpinya.

Gara-gara mimpi itu, kembali ia menyebut-nyebut kata ibu, apa sakit ayahnya karena ibu? Ia mulai berpikir ulang, tapi bagaimana mungkin seseorang yang tak diketahui rimbanya bisa membuat sakit, apa yang terjadi di sini?

Meski bingung dan penasaran minta ampun, ia tak lagi membongkar barang-barang ayahnya. Lia lebih tenang saat ini. Seringnya ia terpekur, kadang-kadang mengcangkung memikirkan hal apa yang harus dilakukan.

*

Dari kumpulan surat-surat itu, ada satu hal yang tak pernah Lia temukan, ialah buku nikah ataupun barang-barang yang akan mengingatkannya pada sosok perempuan, bisa ibunya bisa tidak. Seaat ini, ia malah jadi meragukan tentang dirinya sebagai anak kandung atau justru cuma anak pungut. Siapa ibu, di mana ia, bagaimana ia ….?

Mendudukkannya di dekat jendela, Lia menemani mengambil sebuah kursi dan duduk di sisi kerangka hidup ayahnya. Sore yang nyaman untuk menikmati sepoi angin dan melihat bunga angsana yang berguguran, yang menutupi cokelatnya tanah menjadi kuning. Setelah hari-hari panjang yang mereka lalui, sebelum senja mengganti malam Lia ingin bermonolog.

“Seorang perempuan sedang menyusui anaknya. Dalam pangkuannya sambil terisak-isak sebentar-sebentar ia mencium. Mungkin geli anak itu menghentikan acara menyusunya dan melihat wajah si  perempuan, bayi itu tersenyum. Mereka saling menyenyumi. Hingga sebuah suara menghentak menyadarkan pada kenyataan, mereka akan dipisahkan. Mereka terpisah. Tak ada yang tahu kabar tentang perempuan itu, apa, kenapa dan bagaimana. Tetapi, kemarin sebuah kabar yang mengejutkan diketahui, bahwa perempuan itu telah mati di hari yang sama ia dipisahkan dengan anaknya. Ia mati dibunuh dan pembunuhnya adalah lelaki yang merebut bayi itu dari rangkulannya. Ia … ayahku. Ayah yang di masa tuanya terus dihantui perasaan bersalah. Ingin mati tetapi tidak tega meninggalkan putrinya sendirian, ia tidak bisa juga mengatakan sebuah kebenaran, jadi ia memutuskan menghukum dirinya. Seperti mati, tapi masih hidup.”

“….”

“Sudah malam Ayah, ayo kita beristirahat.”

13 Maret 2020

Ning Kurniati, perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah. Dapat dihubungi melalui link bit.ly/AkunNing

 

                                                                                                  

Leave a Reply