Lesung Pipit
Oleh: Raini Azzahra
“Satu ….”
“Dua ….”
“Tiga ….”
“Yess!” pekik Aris histeris sambil melayangkan tinjunya ke udara.
Aris menatap gadis manis berkerudung hijau yang tampak mengulum senyum saat melihatnya kegirangan. Detik berikutnya, si gadis segera berlalu bersama teman-temannya. Aris tersenyum penuh arti kemudian pergi dengan arah yang berlawanan.
Adegan yang sama terus berulang hingga mencapai bulan kelima. Aris yang selalu menunggu gadis pujaannya melihat dan tersenyum kepadanya. Pohon rindang di belakang kampus menjadi tempat favoritnya selama menunggu gadis itu.
Bukan main senangnya Aris mendapatkan senyuman manis dari seorang gadis yang tak kalah manis. Tak ada yang spesial. Hanya saja ada yang berbeda. Sebuah lekukan pada pipi yang membuatnya semakin rindu saat tak bersua.
Rahma. Gadis semester tiga yang sudah meluluhlantakkan benteng di hati Aris, mahasiswa semester akhir. Tak lengkap bagi Aris jika sehari saja tak melihat lesung pipit itu. Bahkan, di saat tak ada kuliah pun ia menyempatkan diri untuk sekadar melihat tambatan hatinya itu.
Berawal dari acara keagamaan di kampus yang mewajibkan para mahasiswanya untuk berkumpul di masjid. Aris yang terlambat, membuka sepatu dengan terburu-buru sehingga membuat salah satunya terlempar sembarangan. Meski tahu, ia tak sempat merapikannya. Ada laporan yang harus ia serahkan pada dosen sebelum acara dimulai.
Selesai acara, Aris masih disibukkan dengan tugasnya sebagai panitia. Masjid tampak lengang karena hampir semua mahasiswa sudah pulang, tersisa dirinya dan beberapa anggota panitia. Aris hanya mengenal beberapa di antara mereka yang berada di tingkat yang sama dengannya, sedangkan yang lain merupakan junior.
Saat menggulung karpet tebal dan lebar, Aris merasa kesulitan. Ia memanggil Doni untuk membantu tapi tak bisa. Doni masih sibuk membereskan kabel-kabel yang terlihat membelit tak berujung.
Terpaksa Aris berusaha sendirian, tetapi gagal dan gagal lagi. Saat sisi yang Aris pegang tergulung, sisi lainnya malah terbuka. Hal itu membuat Aris frustrasi.
“Boleh saya bantu, Kak?” suara merdu milik gadis berkerudung merah itu membuat Aris mendongak.
Aris terpaku. Bibir gadis di hadapannya melengkung ke atas dengan cerukan di pipi yang menambah kesan manis di wajah naturalnya.
“Kak!” panggil gadis itu karena merasa tak mendapat respons apa pun dari seniornya.
“Eh, iya. Terima kasih,” jawab Aris gugup. Ia mencoba sekuat tenaga menahan gejolak yang tiba-tiba merambah hatinya. Love at the first sight, maybe!
Tugas selesai. Aris sesekali melirik ke arah sang gadis. Ingin menyapa tapi belum ada kesempatan. Mungkin nanti, pikirnya.
Aris yang bersiap untuk pulang malah sibuk mencari sebelah sepatunya. Ia ingat jika salah satunya terlempar tak jauh dari pasangannya. Di ujung kepanikannya, seseorang menyerahkan benda yang sedari tadi ia cari.
“Tadi terlempar dan tergeser-geser oleh sepatu lain.” Senyuman itu kembali terkembang. Lagi-lagi Aris terpana.
“Te—terima kasih.” Gadis itu berlalu setelah memberikan sepatu Aris. “Nama kamu, siapa!”
“Rahma, Kak,” jawab si gadis tanpa menoleh. Aris hanya mampu memandang punggung itu menjauh sembari membawa serta separuh hatinya.
Hari-hari setelah itu, Aris terus-menerus mencari tahu semua tentang Rahma. Hanya sedikit yang ia dapatkan, karena ternyata Rahma termasuk orang yang tertutup. Jalan terakhir, Aris harus bertanya langsung pada si pencuri hati.
“Hai …,” sapa Aris di pagi hari yang cerah, secerah hatinya. Tak dinyana, Rahma hanya memberikan sedikit senyum dan berlalu begitu saja tanpa menghiraukan sapaannya.
Lain waktu, saat di kantin menjelang makan siang. Kembali Aris mencoba peruntungannya.
“Hai …!”
Rahma yang sedang berbincang dengan Sena—sahabatnya—malah berlalu setelah berpamitan dan tak lupa melemparkan senyum mautnya.
Tak menyerah, Aris menunggu Rahma selesai kuliah di depan kelas. Kali ini, semangatnya hanya tersisa setengah.
“Hai …!” Ada keraguan dalam suara Aris kali ini. Lagi-lagi hanya senyuman itu yang membalas sapaannya. Kesal, Aris mencoba protes, “ Kenapa kamu selalu cuekin aku?”
Rahma menghentikan langkahnya, pertanyaan Aris sedikit mengusik hatinya. Namun, tetap tak ada hasil. Gadis itu kembali melangkah seakan tak mengerti kekecewaan yang dirasakan Aris.
Keesokan harinya, Aris tak lagi menyapa. Ia merasa kecewa dan terluka. Hari itu, ia habiskan dengan tidur-tiduran tanpa kegiatan di kost dekat kampusnya. Tak seperti biasanya, sang ibu tiba-tiba menelepon.
“Ris, kamu kapan pulang?” tembak Ibu di seberang telepon tanpa bertanya lebih dulu tentang kabarnya.
“Apaan sih, Ibu ini. To the point banget!” protes Aris sambil kembali menarik selimut dan membungkus tubuh jangkungnya yang menggigil. Ia merasa tak enak badan tiba-tiba.
“Haha … maaf to, Le! Ibu lagi panik jadi lupa deh sama kabar.”
“Panik kenapa, Bu?”
“Kamu inget kan si Raffi, anak Bude Ani?”
“Ya.”
“Dia mau nikah, Le, bulan desember ini. Calonnya cantik bener …,” puji Ibu masih dengan semangat ’45-nya.
“Terus yang bikin Ibu panik apa?” Aris menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Ibu juga pengen punya mantu, Le. Anak Ibu kan udah gede masak nggak ada calon sama sekali.”
Aris tertawa mendengar pengakuan wanita yang sudah mengandungnya selama sembilan bulan itu. Tak menyangka keinginan sang ibu dan dirirnya bisa sehati.
“Ibu … Ibu …! Aris mikirnya udah aneh-aneh lho. Kalau soal itu tenang saja, Bu! Aris udah punya calon.”
“Bener to, Le? Alhamdullillah! Pokoknya pas nikahan si Raffi, kamu mesti kenalin sama Ibu dan Bapak, ya!” Semangat Ibu naik dua puluh persen dari yang semula sudah lima puluh persen.
“Nggak janji, Bu. Kan ini masih usaha!”
“Usahanya jangan lembek, dong! Yang semangat! Pokoknya bulan desember mesti dibawa, titik!”
Tutt … telepon terputus.
Aris hanya bisa melongo ke arah ponselnya. Antara lucu dan gemas mendengar permintaan ibunya yang konyol. Bagaimana bisa ia membawa Rahma ke acara pernikahan Raffi, sedangkan perkenalan pun tak pernah mendapat sambutan selain senyuman.
***
“Hai …!” Pagi itu, ia memberanikan diri kembali berjuang. Kali ini bukan hanya karena dirinya tapi juga demi ibunya. Semalaman ia meyakinkan diri bahwa senyum Rahma adalah jawaban dari sapaannya.
Rahma yang sedang membaca buku di taman kampus menoleh ke sumber suara. Ada binar di matanya yang tak tertangkap oleh indera Aris.
Senyum itu lagi. Namun, Aris sudah tak kecewa. Cukup baginya mengartikan senyum itu sebagai jawaban perasaannya selama ini. Ternyata, hari itu merupakan hari baik bagi Aris.
“Hai.” Rahma menjawab sapaannya. Aris berjingkrak saking gembiranya, meski setelah itu ia melihat gadis itu berlalu tapi ia tahu cintanya bersambut.
***
“Le … kapan kamu mau kenalin cewek yang kamu ceritain itu?” tanya Ibu di sela kesibukannya berdandan. Kebaya biru dipadu jilbab senada serta rok batik panjang membalut tubuh mungil milik wanita separuh abad itu. Masih ada sisa-sisa kecantikan wajahnya di masa muda.
“Nanti, Bu. Kalau sudah lulus dan kerja pasti Aris bawa dia ke sini dan seminggu setelahnya kita pergi ke rumahnya untuk melamar secara resmi. Gimana, Bu?” ucapnya sembari mengkhayalkan tujuannya kelak.
“Ibu sih, manut aja. Yang penting kamu ada usaha buat nyari jodoh. Jangan kayak si Raffi, keasyikan kerja sampai di jodohin sama Budhe Ani.”
Aris yang masih berbaring sambil memeluk guling malah kembali memejamkan mata. Pria dua puluh empat tahun itu tampak kembali terlelap. Ibu yang melihatnya jadi gemas.
Bugh!
Sebuah kotak tisu mendarat tepat di kening Aris. Ia mengaduh dan langsung berdiri tegak sebelum sang ibu melayangkan meja ke wajahnya. Dengan malas, ia bersiap untuk menghadiri acara pernikahan sepupunya yang baru pulang dari Malaysia. Setelah menikah kemungkinan besar Raffi dan istrinya akan menetap di Negeri Jiran itu.
Aris telat datang ke acara ijab qabul. Setelah mandi, tiba-tiba perutnya melilit. Akhirnya, Ibu dan ayah berangkat tanpa dirinya. Acara kini sudah berganti resepsi sederhana tapi meriah. Beberapa tamu yang ia kenal menyapanya. Mau tak mau, Aris berbasa-basi sejenak sebelum kemudian mencari Raffi ke dalam kamar rias pengantin.
“Aku mau ketemu penganten dulu, ya. Nanti kita ngobrol lagi!” pamit Aris pada teman-temannya.
Ia berjalan menuju kamar Raffi yang beralih menjadi kamar rias pengantin. Raffi dan istrinya sedang berganti pakaian untuk sesi resepsi. Mereka akan dipajang seharian dan menyalami ratusan tamu. Lelah? Pasti. Namun, hal itu kini sedang diperjuangkan oleh Aris.
“Waah … ada tamu jauh, nih!” sindir Raffi saat melihat Aris menuju ke arahnya.
“Hehe … maaf, Mas. Aku tadi sakit perut, jadi telat deh ke sininya,” jawab Aris smbil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Ooh … nggak apa-apa, kok. Sekarang kan sudah datang. Sini, aku kenalin sama istriku!”
Tangan kekar lelaki dua puluh delapan tahun itu menggandeng Aris menuju ruang rias. Namun, Raffi tiba-tiba menghentikan langkahnya kemudian pamit sebentar. Alhasil, Aris menuggu di depan ruangan itu sendirian.
Cklek!
Pintu kamar terbuka. Aris menatap perih ke arah wanita yang baru saja hendak ia temui. Wajah yang dipoles sebegitu cantik malah membuatnya seakan kehabisan napas.
Ada luka yang tiba-tiba tergores di relung hatinya dan ditaburi garam berupa senyum yang terkembang di wajah manis itu. Senyuman yang membuatnya terlena dan dengan bodohnya berjuang mendapatkannya.
Aris berlalu dari hadapan mempelai wanita tanpa sepatah kata yang mampu ia lontarkan. Terlalu perih! Ia melangkah menuju kolam ikan milik keluarga Budhe Ani. Aris duduk termangu di bangku panjang yang berada di tepi. Riak air karena kelincahan ikan-ikan koi di hadapannya tak mampu mengalihkan hati dan pikirannya dari kenyataan yang baru saja ia terima.
“Sial!” umpat Aris demi mereda gejolak amarah di hatinya.
“Apanya yang sial?” tanya seorang wanita yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Senyuman khasnya yang disertai lesung pipit terlukis sempurna di wajah ayunya.
Aris terlonjak kaget dan seketika berdiri berhadapan. Raut wajahnya dipenuhi seribu tanda tanya. Ia heran, kenapa dia bisa ada di sini? Dan kenapa pula ia berganti pakaian dari gaun cantik menjadi kemeja batik dengan rok hitamnya? Sayangnya, Aris belum mampu untuk buka suara.
Tunggu dulu! Ada yang janggal di sini. Wajah yang sama tapi dengan senyum berbeda. Senyuman wanita inilah yang sebenarnya sudah menguasai hati Aris. Senyuman dengan lesung pipit di kedua pipinya yang tak dimiliki oleh istrinya Raffi tadi.
“Hai!” Bak tersengat ribuan volt listrik saat Aris mendengar sapaan yang selalu ia ucapkan setiap hari untuk pujaan hati. Tak salah lagi, ia adalah miliknya. Rahma, istri masa depannya.
Tangerang, 03/04/18
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita