Lepas Lahiran

Lepas Lahiran

Lepas lahiran

Oleh : Rinanda Tesniana

Aku turun dari mobil dengan wajah semringah. Bayi cantik yang kuberi nama Senandika ini, tidur nyenyak dalam pelukanku. Aku seorang ibu yang sedang berbahagia. Dua puluh empat jam yang lalu, aku telah merasa sempurna sebagai seorang wanita, anak pertamaku lahir dengan normal tanpa kurang suatu apa pun. 

Kini, aku telah menginjakkan kaki kembali di rumah. Sakit bekas persalinan pada bagian bawah tubuhku, nyaris tak terasa. Proses menjahit jalan lahir tanpa bius pun sudah aku lupakan. Kehadiran Senandika menghapus segalanya. Seperti perempuan pasca bersalin pada umumnya, rumahku ramai dengan kedatangan sanak keluarga. Aku bahagia, merasa mendapat dukungan penuh dari mereka. 

“Bawa Ambar ke kamar, Ri. Pasti capek abis lahiran,” ujar ibuku pada Ori-suamiku. Ori mengangguk, senyum tak lepas dari bibir tipisnya. 

Aku berjalan tertatih menuju kamar, walaupun sudah tak terasa, tapi saat berjalan perihnya cukup mengganggu. 

“Baring di sini,” titah Asih-tetangga sebelah rumah. 

Aku sedikit heran sebenarnya, mengapa wanita itu ada di sini? Memberi perintah pula. Memangnya, dia siapa? 

Suamiku melirik ke arahku, kemudian ia mengambil Senandika dari gendonganku. Aku duduk pelan-pelan di sisi kanan ranjang. Setelahnya, aku angkat kedua belah kakiku, dan duduk tenang. 

“Ambar, jangan kayak gini. Duduk luruskan kaki.” Asih memperbaiki posisi kakiku. 

“Ini, kan, udah lurus, Sih,” ujarku berusaha sopan. Bagaimanapun, ini rumahku, dia tak berhak menyuruhku begini dan begitu. 

“Belum, kaya gini.” Perempuan berdaster panjang itu, merapatkan kakiku, hingga tak ada jarak antara keduanya.  “Harus rapat betul, Mbar. Nanti, ‘punya kamu’ gak enak lagi.” Dia cekikikan setelah membisikkan kata-kata tersebut. 

Tengkukku merinding mendengar perkataannya. ‘Punyaku’ yang mana maksudnya? Dasar mesum! 

“Ehh, Ambar dah pulang.” 

Tiba-tiba saja kamarku sudah penuh dengan rombongan ibu-ibu yang tinggal se-gang dengan rumahku. 

“Lucu banget, sih!” 

Mereka berlomba-lomba mencolek pipi Senandika. Ori berusaha menahan dan mempersilakan ibu-ibu tersebut duduk di lantai beralas karpet bulu berwarna biru. 

Senandika menangis, rengekan haus pasti. Meskipun baru dua puluh empat jam menjadi ibunya, aku sudah bisa membedakan tangisannya saat haus dengan tangisan karena pipis atau buang air besar. 

“Udah keluar air susunya, Mbar?” celetuk Faira-perempuan yang baru saja menikah, tetangga di ujung gang. 

“Sudah, kenapa memangnya?” aku merasa tak nyaman dengan pertanyaan Faira. 

“Payudara kamu kecil, kan. Aku pikir tak ada air susunya.”

Aku melirik sebal ke arahnya, sekaligus menatap iri pada gundukan besar di bagian dadanya. Sialan! Untunglah Ori sudah keluar dari tadi. Memang, kamar berukuran kecil ini semakin sempit dengan kedatangan para tetangga. 

“Kecil banget puting susumu, Mbar. Macam mana anakmu puas menyusu.” 

Aku menatap Senandika yang sudah tertidur nyenyak dalam pelukanku. Aku menghapus sisa ASI yang menetes di sudut bibirnya. “Ini buktinya, anakku tidur tenang, Sih, berarti dia kenyang.” Aku berkata gusar. 

Semakin lama mereka di sini, semakin besar kemungkinan aku terkena baby blues. 

“Tak pandai si Ori,” ucap Faira yang disambut tawa mereka. 

Luar biasa ibu-ibu ini. Mereka ingin menjengukku yang baru saja melahirkan, atau menjatuhkan mentalku? Sebagai ibu baru, aku hanya perlu banyak belajar. Bukan divonis seperti ini. 

“Banyak jahitanmu, Mbar?” tanya Mbak Sumi. 

“Lumayan, Mbak. Sepuluh kata dokter.” Aku menjawab sambil meletakkan Senandika di sebelahku. 

“Banyak juga, ya. Kamu gak pandai ngeden apa gimana? Atau kamu angkat pantat sebelum bukaan lengkap?” Nada suara penuh tuduhan yang dilontarkan Asih membuatku frustrasi. Rasanya, denyutan pada bagian bawah tubuhku infeksi secara tiba-tiba. 

“Kalau aku, kan, lahiran sesar, jadi punyaku tetap rapat.”

Lagi-lagi tawa geli menggema di kamarku. 

Akhirnya, para ibu-ibu bermulut tajam itu pergi meninggalkanku. Aku menghembuskan napas lega dan kembali fokus mengurusi Senandika. 

Untunglah, ibu mertuaku memutuskan akan menemani hingga empat puluh hari. Setidaknya, aku bisa konsentrasi pada Senandika, tanpa memikirkan pekerjaan lain. Bukan bermaksud kurang ajar membolehkan ibu mengerjakan ini dan itu di rumah, tapi kondisiku yang masih lemah pasca melahirkan, memaksaku untuk banyak beristirahat. 

Esoknya, Asih kembali datang. Di tangannya ada sebuah kado berukuran besar untuk anakku. 

“Terima kasih, Asih,” ujarku, berharap wanita itu pulang. 

Ternyata aku salah, Asih malah duduk sambil memperhatikanku menyusui Senandika. 

“Banyak asi-mu, Mbar?” tanya Asih. 

“Alhamdulillah, Sih.”

“Posisi kamu itu, loh, Mbar. Masa menyusui sambil nyandar gitu. Punggung harus tegak,” celetuknya dengan nada meremehkan. 

“Capek, Sih, Abis begadang semalam. Kalo nyender gini, punggungku enakan.”

Dia mencibir. “Nanti punyamu los. Ori, ya, gak selera lagi. Blas selingkuh!” 

Astaga! Padahal dia wanita juga, tapi mengapa mulutnya senang menyakiti wanita lain? 

“Kalo baru lahiran gitu, mesti banyak pantang, Mbar. Jangan asal. Demi keutuhan rumah tangga.” 

Aku mencebik. 

“Kamu dibilangin malah ngeyel. Duduk kaki rapat, menyusui sambil duduk, gak boleh nyender, gitu. Pake bengkung juga, minum jamu. Semua demi kamu juga. ‘Itu’ mu itu loh, nanti longgar.” 

“Lah kalo longgar kenapa? Dari semalam ngeributin itu aja!”

Wajah Asih memerah, mulutnya meruncing, pertanda dia kesal denganku. Perempuan berambut cokelat itu, pergi meninggalkan kamarku tanpa berkata apa pun lagi. 

Aku malah bersyukur dan berharap mereka tidak datang lagi. Perkataan mereka hanya membuat perasaanku kacau. Bohong kalau aku bilang, aku tidak terpengaruh dengan ucapan mereka. Mendadak, aku menyesal melahirkan secara normal, andai aku memutuskan untuk SC, mungkin aku tidak perlu melakukan pantangan ini dan itu. 

“Kenapa, sih?” tanya Ori malam itu. Mungkin dia risih melihat wajahku yang tertekuk sejak pagi. 

Aku memandangnya, mendadak aku takut Ori akan meninggalkanku. Sebab, tidak puas dengan performa-ku di ranjang nantinya.

“Itu, tadi tetangga pada ke sini, ngebahas soal ‘itu’ yang bakal longgar abis lahiran.” 

“Itu? Itu apa?” Ori mengernyitkan keningnya. 

“Ya itulah!” Aku berharap Ori mengerti dan memberi support untukku. 

“Apa, sih, Mbar. Gak jelas kamu!” 

Bukannya mendapat dukungan, Ori malah meninggalkanku sendirian. Membuat perasaanku semakin terpuruk. 

Senandika menangis keras saat Ori membanting pintu kamar. Aku menatap bayi itu dengan amarah di dada. Gara-gara dia, punyaku tidak bagus lagi. Payudaraku juga nanti akan turun setelah memberinya asi. Sialan! Kecantikanku menguap begitu saja setelah melahirkan. 

Aku membiarkan Senandika menangis keras. Aku harus berkaca, untuk memastikan wajahku baik-baik saja. Bayangan yang memantul di sana, malah membuat perasaanku semakin terpuruk. Perempuan dengan rambut seperti akar pohon, memiliki lingkaran gelap di bawah mata, dan tubuh yang membengkak di semua bagian, aku muak melihat  diriku sendiri. 

Tangisan Senandika semakin keras menggema di udara. Aku tak peduli. Aku masih berdiri di depan kaca. Menyisir rambutku agar terlihat lebih rapi. Mengoleskan concealer di bawah mataku, supaya lingkaran hitamnya tidak kelihatan, dan mengoleskan parfum di leher. Ori sangat suka kalau aku melakukan itu sebelum berhubungan. Ya, malam ini aku akan membuktikan, bahwa punyaku baik-baik saja, tidak longgar seperti yang Asih katakan. 

“Ambar! Kamu ngapain? Senandika nangis ini.” Ori menghambur masuk ke dalam kamar. Dia menggendong Senandika, berusaha membujuk anaknya. 

“Aku kangen,” desahku, berusaha merayu Ori. “Ayo, kita bercinta, Ri, aku pengen buktiin sama kamu, ‘punyaku’ gak longgar.” 

“Kamu udah gila? Kamu masih nifas, Mbar. Astaghfirullah.”

Rasanya, aku tak percaya mendengar penolakan Ori. Belum pernah dia menolakku sebelumnya. 

***

Senandika tumbuh dengan cepat. Tiga bulan usianya sekarang. Waktu berjalan bagai peluru lepas. Aku sudah kembali lincah mengurusi ini dan itu di rumah, sebab ibu mertuaku telah kembali ke rumahnya. 

Satu hal yang sedikit mengganggu perasaanku, Ori tidak pernah meminta haknya sebagai suami sekarang. Kadang, aku kembali memikirkan perkataan Asih. Apakah benar, ‘punyaku’ sudah longgar? Hingga Ori bahkan tak memiliki keinginan lagi padaku. 

Aku menatap pantulan tubuhku di cermin besar. Payudaraku memang tidak sebagus saat gadis dulu. Padahal, aku tahu, bukan menyusui penyebabnya. Namun, tak urung batinku menyalahkan Senandika yang lahap sekali saat menyusu. 

“Masa, sih, Mas?” 

Telingaku menangkap suara Asih dari teras luar. Aku mengintip dari balik tirai. Ori sedang menyiram bunga, dan Asih tampak antusias mengajak suamiku itu mengobrol. 

Hatiku berdenyut, sakit sekali, melihat tawa Ori yang begitu lepas. Teringat pula dengan sikapnya yang dingin padaku. Mengapa dengan perempuan lain dia bisa seramah itu? 

Mereka mengobrol dengan akrab. Sesekali Asih menepuk pundak Ori. 

Senandika menangis entah mengapa, padahal anakku tadi tidur dengan nyenyak. Telingaku seolah tuli mendengar tangis kerasnya. Perkataan Asih mengenai ‘itu’ berseliweran dalam benakku. 

Kalo aku, sih, SC, Mas. Beda dengan Ambar, pasti punyanya longgar.” 

Aku menghalau imajinasi tentang percakapan mereka. Tak mungkin! Tak mungkin mereka membicarakan hal tersebut. 

“Gak tahu, ya. Udah tiga bulan aku gak ngapa-ngapain sama Ambar.” 

Astaga!  Tolong otak, jangan ngelantur. 

Tangis Senandika makin kencang. Aku menatap bayi itu dengan sebal. Gara-gara dia, ‘punyaku’ tidak enak lagi. 

Kembali aku mengawasi Asih dan Ori. Kali ini, tangan Asih memegang kelopak mawar milikku. Mata Ori berbinar berkata entah tentang apa. 

Tangis Senandika sepertinya mengganggu Ori, lelaki itu menoleh ke arah rumah, dan meletakkan selang panjang yang sedang ia pegang. Asih ikut menatap ke dalam, mulutnya bergerak-gerak, seperti mengatakan sesuatu. Aku jijik melihatnya. Sebuah ide melintasi pikiranku, tanpa sempat memikirkan apa pun lagi, aku segera berlari ke dapur, mengambil sesuatu dan menyusul mereka keluar. 

“Ngapain di sini, anak nangis itu,” bentak Ori. 

Asih mesem-mesem melihatku dimarahi di depan matanya. 

Aku tersenyum, kemudian mendorong tubuh langsing Asih dengan keras, hingga wanita itu terjatuh di tanah. Aku menyibak rok yang ia kenakan, dan menyemprotkan saus cabe botolan ke dalam sana. 

Asih berteriak kesakitan. Aku tersenyum puas. 

***

Ranah Minang, 16092020

Rinanda Tesniana-Selalu belajar buat menulis dengan baik. 

Editor : Freky M

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply