Lembaran Elegi
Oleh: Dyah Diputri
Cerpen Terpilih ke-15 pada #Tantangan_Lokit_6
Aku tak berani menyalahkan waktu yang dentingnya menjadi saksi cinta pertamaku. Ia datang terlalu cepat, namun butuh waktu lama untuk menggantinya dengan lembaran yang baru di kisi hatiku.
Lucu memang! Menobatkannya sebagai cinta pertamaku, mengingat ketika itu aku masih berseragam putih-biru. Beranjak remaja dengan segala emosi dan gairah akan kehidupan.
Awalnya, kukira ini hanya suatu geliat kekaguman semata yang mana debar jantung tak menentu tiap kali dua pasang mata bertemu. Lalu, pesona demi pesona menaburkan benih positif untuk tiap langkahku.
“Bilang aja kalau kamu suka Danis. Ya, kan?” Nita, teman sebangkuku mulai menggoda.
Semburat malu memancar. Aku mencubit lengan Nita. Takut jika si tampan itu mengetahui kebenaran perasaanku.
Tiga tahun lamanya aku memandang dari kejauhan. Tanpa ada keberanian untuk mengungkap rindu. Hubungan kami pun ditasbihkan sebatas kata teman. Bersapa, tersenyum dalam gurauan bersama, dan berakhir dengan sebuah perpisahan. Aku memendam cinta terbodoh sepanjang kesendirianku.
***
“Katakan padaku! Seberapa istimewanya dia buatmu?” tanya Ken, pria yang telah menyematkan cincin pertunangan di jariku.
Ken duduk di sampingku. Menanti mulutku terbuka untuk mengungkap rasa. Betapa sabarnya ia—sedari hadir hingga akan menutup masa lajangku—menunggu getar hatiku.
“Danis, lelaki yang biasa saja,” lirihku menahan sesak di dada.
“Kalau begitu aku akan menjadi biasa saja agar kau suka.” Ken tertawa, konyol.
“Dia baik dan—”
“Aku pun perhatian padamu, Melinda.” Ken menautkan alis dan tersenyum masam padaku. Makin besar saja rasa bersalahku padanya.
Aku bangkit dari dudukku. Awan hitam mulai berarak, membawa pertanda hujan akan turun.
“Ayo pulang!” seruku.
Ken meremas rambutnya. Lama-kelamaan dia jenuh juga karena kesulitan mengorek isi hatiku. Ia mengekor di belakangku dan aku tak berani berbalik arah padanya.
Tap!
Langkahku terhenti, tepat ketika tangan Ken berhasil meraihku. Napasku memburu karena pelukannya. Hangat, bulir yang merembes di pundakku membuat aku ikut larut dalam drama sedih.
“Kalau terlalu banyak yang kau suka darinya, maka biar aku menjadi satu yang paling kau suka. Katakan, Mel! Katakan!
“Beri aku waktu, Ken! Semua tak semudah yang kukira,” pekikku. Tangan yang melingkar di perutku itu kulepas perlahan. Kulanjutkan langkah yang berat ini.
“Atau setidaknya bicaralah padanya, ungkapkan isi hatimu jika kau masih menyimpan harap! Asal jangan kau titikkan air matamu di hadapanku!” Teriakan Ken begitu menyengat di telinga dan jiwaku.
Hujan benar-benar datang. Rinainya pekat menghapus jejak air mataku yang luruh. Tuhan, seandainya aku mampu … aku tak ingin menyakiti siapa pun.
Setahun yang lalu ….
Takdir mempertemukanku kembali dengan Danis. Bekerja di tempat yang sama seolah menjadi ajang nostalgia masa remaja kami. Jauh dari rasa kikuk dan malu-malu kucing ketika kami masih berseragam putih-biru. Kedewasaan agaknya menjadi jembatan paling pendek untuk kedekatan kami.
“Dulu, dulu … sekali. Aku pernah menyukaimu, Dan!” ungkapku.
Danis terbahak mendengar ungkapanku. Tak percaya sekaligus takjub. Entah apa alasannya. Mungkin baginya itu hanya cinta monyet belaka atau … karena aku bukanlah gadis yang pantas menyimpan cinta untuknya. Danis nyaris terlalu sempurna bagi perempuan biasa-biasa saja sepertiku.
“Bagaimana dengan sekarang?” tanyanya menggodaku. Manik sipit yang menunjukkan kelembutannya tajam mencari jawaban dari binar mataku. Jantung ini berdetak tak menentu, sebentuk waru masih sempurna seperti dulu.
“Mana mungkin? Bisa-bisa istrimu mem-viralkan namaku sebagai pelakor kelas micin,” gurauku. Tawaku lebar namun hatiku perih.
Setelah hari itu, Danis kembali menghilang. Kembang-kembang yang sempat bertaburan di anganku kembali menguncup, atau bisa jadi layu. Padahal aku tak pernah berharap lebih padanya. Cukup melihat sekelebat bayangnya di hari-hariku saja, itu lebih dari cukup.
Sombongnya aku, menilik jejak demi jejak agar sampai di persembunyiannya. Lalu ketika sampai di depan biduk harmonisnya, angin badai yang tak kuundang datang dan mengoyak hatiku. Satu embusan saja dan aku hancur karenanya.
“Danis bercerita semua tentangmu.” Seorang wanita berjilbab nan ayu gemulai menghidangkan teh hangat dan sepiring jamuan di hadapanku. Lesung pipinya makin menambah manis parasnya. Lagi, sambutannya yang hangat membuat lidahku kelu. Sempat kusesalkan mengapa aku berani mengetuk pintu rumahnya.
“Cinta memang tak pernah salah. Hanya kita yang terlambat menyadarinya, bahwa dicintai adalah lebih baik daripada mencintai.”
Aku memaksakan senyum atas ucapannya walau tak begitu paham maksudnya. Sedalam lantunan yang kudengar dari bibirnya, aku belum menemukan jawaban di mana Danis berada atau mengapa ia berhenti bekerja.
“Demi agar kau bisa bahagia, juga agar aku pun bahagia. Dia menjauh. Begitu pun aku, aku percaya padanya. Juga padamu,” ujarnya.
Tatap matanya yang lembut namun seolah menjadi cambukan yang keras bagiku. Aku salah karena tak lagi menanam bibit cinta pertama, melainkan menabur cinta segitiga, dan … aku gagal menuai hasil dari keduanya.
***
Kutatap untuk kesekian kalinya kebaya putih yang tergantung di dinding kamarku. Bertubi-tubi kepalaku dijejali pertanyaan yang sama. “Yakinkah langkahmu, Mel?”
Entahlah! Hanya saja, menceburkan diri dalam elegi palsu sepertinya hanyalah kesia-siaan. Tak ada yang bahagia atas cinta yang kupunya. Sedangkan cinta adalah titian kebahagiaan yang bisa kau tapaki dengan lambaian senyum dari sejuta wajah.
“Aku tak akan lelah, Mel. Walau hatimu tak pernah beranjak untuk mencintaiku,” lirih, Ken membisikkan nada yang sama di telingaku. Bedanya, kali ini hatiku menyambut rengkuhannya.
Mungkin ini saat yang tepat untuk menutup lembaran elegiku. Duhai sang waktu, bimbing aku dalam perjalanan cinta terakhirku.(*)
Malang, 7 September 2018.
Dyah Diputri, pecinta diksi yang tak sempurna.
Tantangan Lokit 6 adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata