Lelakiku dan Secangkir Cappuccino
Oleh : Widi Lestari
Saat ini posisiku di dekat tembok kaca sambil menyesap secangkir cappuccino. Minuman berkafein bukan selaraku. Namun, kekasihku pencinta kopi hingga empat tahun hubungan kami habis di coffee shop tanpa rencana masa depan.
“Sampai kapan kita begini?” Aku meletakkan secangkir cappuccino ke meja.
Di luar gerimis mulai turun. Hawa dingin mulai berembus membelai kulitku yang hanya mengenakan t-shirt polos dipadu celana jin. Arsa tidak tergerak meminjamkan jaket seperti awal-awal masa pacaran.
Matanya mengintipku dari balik cangkir. Seperti malam-malam sebelumnya, tidak ada obrolan ke arah pernikahan. Aku perlu ekstra sabar memahami kekasihku yang terkadang emosinya meledak-ledak karena aku menuntut kepastian.
“Kita sudah pernah bahas ini, Arini.” Dia meletakkan cangkir yang isinya tinggal separuh. Lalu menyenderkan punggung ke kursi.
Aku menghela napas lelah. Mengamati lelaki di hadapanku yang menyita perhatian sejak pertemuan pertama di halte bus. Senyumnya begitu menawan saat menyapa seraya memberikan pinjaman payung.
“Obsesimu pada kopi membuatku hampir gila,” desisku sebal. Mengalihkan pandangan ke meja sebelah. Perempuan dan laki-laki sekitar kepala lima, akan tetapi masih terkesan cantik dan tampan dengan senyum merekah di bibirnya.
“Jangan menuntut, Arini. Aku tak suka berdebat.”
Aku menoleh. Lalu tersenyum kecut. “Ini sudah tempat keberapa, Arsa!” geramku kesal. Kesabaranku menipis. Dia selalu mengajakku berpetualang mencari kopi paling nikmat hingga ke luar kota. Pernah sekali berkunjung ke kota kecil di pesisir Pantai Selatan untuk memenuhi ambisinya. Aku ingat betul sampai menghabiskan jatah cutiku untuk hal sia-sia.
“Tapi aku belum menemukan kopi ternikmat.”
“Hanya itu alasanmu!”
“Arini, jangan memancing emosiku!”
Alunan musik Barat di ruangan tidak meredam suaranya. Sepasang suami-istri di sebelah menoleh dan si perempuan menatapku iba, seakan-akan aku pantas dikasihani.
Dua tahun terakhir hubunganku dan Arsa tak hangat lagi. Dia malas merencanakan masa depan denganku. Berbeda sekali saat membahas kopi, mendadak ia antusias. Seolah-olah kopi lebih menarik daripada aku.
Kami saling diam. Larut dalam pikiran masing-masing. Hanya suara musik di coffee shop dan obrolan pengunjung meja sebelah yang memecah sepi. Ingatanku jatuh pada desakan Ibu yang tidak berubah dari waktu ke waktu.
Tadi pagi setelah menjemur pakaian, aku sedang leyeh-leyeh memanfaatkan hari libur. Duduk santai di teras sambil menikmati udara sejuk.
“Nak, besok pulang ‘kan sebelum Lebaran?” Suara wanita tua di seberang terdengar antusias.
“Pulang, Bu. Arini rindu sekali sama Ibu dan kakak-kakak.”
“Itu loh kakakmu penasaran siapa calon kamu, kalau ada mbok yo dibawa ke rumah.”
Pertanyaan serupa yang diulang-ulang bak kaset rusak dari tahun ke tahun. Seperti tidak memiliki bahan obrolan lain yang patut diperbincangkan.
“Besok, Bu. Kalo sudah waktunya.”
“Kapan, Enduk? Mbok yo jangan ketinggian selera kamu. Ibu bosan ditanya bibi kamu, bude kamu. Malu Ibu anak gadisnya ndak nikah-nikah, Enduk.”
Aku hanya menghela napas mendengar Ibu terus mendesak anak bungsunya menikah. Tiba-tiba merasa hiruk pikuk Kota Jakarta dan segala kesibukannya lebih menyenangkan daripada penduduk desa yang memberi label perawan tua. Seakan singgel di usia 26 tahun adalah ujian berat.
“Iya, Bu.”
“Bener, lho, Arini. Perempuan seumur kamu di sini sudah pada gendong anak. Kamu ini cantik, pintar, tapi masih sendiri aja. Apa ndak ingin nikah?”
“Bu—“
“Ibu ndak mau tahu, di sini banyak yang mau sama kamu, Enduk. Heru sama Galih saja nanya kamu terus, Enduk.”
Ibu selalu menyodorkan Heru, anak Kepala Desa yang naksir sedari SLTA, atau Galih yang katanya sudah diangkat PNS.
“Hei, jangan melamun,” tegur Arsa. “Maaf, ya.”
“Buat apa maaf? Aku ingin kepastian.”
Arsa tak menjawab. Dia menghabiskan sisa kopi yang mulai dingin. Lalu mengajakku pulang dengan alasan sudah pukul sepuluh.
***
Waktu berjalan cepat. Bertemu lagi musim hujan di tahun selanjutnya. Selama itu pula hubunganku tidak menunjukkan kemajuan. Aku lebih fokus ke pekerjaan di kantor daripada pusing berdebat soal pernikahan.
Hujan sedang mengguyur Kota Jakarta dengan derasnya. Aku yakin besok di saluran televisi atau surat kabar pasti menayangkan berita banjir. Langganan setiap musim hujan wilayah tertentu di Jakarta akan digenangi air setinggi lutut atau paha.
Selagi menunggu taksi online aku membuka WhatsApp dari Arsa. Ia mengatakan tidak ke coffee shop dengan alasan lembur. Namun, aku sudah rapi hendak meluncur ke sana. Derasnya hujan pun tidak menyurutkan niatku. Gara-gara terbiasa, aku mulai menyukai pahitnya kopi.
Setibanya di coffee shop, lututku mendadak lemas. Jari-jariku meremas tali tas kuat-kuat. Secangkir cappucino di nampan yang hendak diantar ke meja tak sengaja tertabrak tubuhku. Menimbulkan bunyi cukup keras sampai laki-laki dan perempuan di meja pojok menoleh.
“A-Arini.”
Sosok lelaki yang kucintai tampak terkejut, sedangkan perempuan cantik di sampingnya mengerutkan kening.
Aku maju perlahan dengan menahan amarah. Dadaku sesak seakan tembok ruangan mengimpit tubuh mungilku. Siapa perempuan itu? Dan kenapa lelakiku berbohong?
“Si-siapa ka-kamu?” tanyaku dengan bibir bergetar.
“Dia Kiara, istriku,” potongnya. Aku bertambah syok. Apalagi saat Arsa menatap perempuan di sebelah. “Kenalkan, Kia. Dia temanku.”
Hatiku remuk redam. Kepalaku sangat pening. Ternyata selama lima tahun aku dianggap teman menikmati secangkir kopi.
“Ka-kalian kapan menikah?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Sudah enam tahun, Mbak,” jawab perempuan itu lembut.
Tiba-tiba oksigen sulit kuhirup. Laki-laki itu hanya menjadikan aku selingan, orang ketiga di antara pernikahan mereka. Semua terasa gelap hingga aku tidak sadarkan diri. (*)
Widi Lestari, gadis penyuka cokelat dan penyayang kucing. Lahir dan menetap di Kebumen. Untuk mengenalnya bisa lewat Instagram widilestari_20 atau akun Facebook dengan nama Widi Lestari.
Editor : Fitri Fatimah