Lelakiku

Lelakiku

Lelakiku

Oleh : Meliani Wau

Tidak selamanya mendung itu hujan dan tidak selamanya ketika seseorang itu murung maka dia sedang bersedih, mungkin saja dia sedang sakit gigi dan awan sedang merindu pada kekasih gelapnya.

Itu kata-kata yang sering keluar dari mulut Mas Adi. Laki-laki yang selama dua tahun ini menemani dalam suka dan dukaku. Dia laki-laki hebat yang pernah kutemukan, pastinya selain Ayah dan adikku. Dia mempunyai sejuta jurus yang akan membuatku terbahak sampai sakit perut. Dia seseorang yang dulu kupikir, tidak akan pernah mendapatkannya, tetapi takdir berkata lain, dia adalah jodohku. Aku suka dipermainkan oleh takdir.

Hari ini kami berencana akan pergi ke sebuah pantai yang lumayan jauh dari rumah. Eh, bukan lumayan lagi, namun emang jauh. Mas Adi mempersiapkan seluruh keperluan kami. Aku? Hanya bisa menatapnya dengan penuh cinta dan sedikit menyesal. Aku tidak bisa melakukan apa pun selain melihat dan mengamatinya. Aku bahkan tidak bisa membantu dia untuk menyiapkan keperluan kami. Terkadang aku menangis dalam diam, kadang juga aku sering menyuruh Mas Adi untuk menikah agar istrinya nanti bisa mengurusnya dengan baik. Tetapi, itu Mas Adi. Mas Adiku. Dia bukan lelaki lain yang disuruh nikah maka akan segera mengiyakannya. Dia malah sering memarahiku karena mengatakan hal seperti itu. Percayalah, jika kalian berada di posisiku mungkin kalian akan melakukan hal yang sama.

Aku lumpuh permanen. Satu minggu setelah menikah dengan Mas Adi kami akan berencana bulan madu ke Yogyakarta, kota favorit aku. Mas Adi mengendarai mobil dari Jakarta sampai ke Yogyakarta. Di tengah perjalanan sebuah truk oleng dan mengenai mobil kami. Hampir saja nyawaku melayang, tetapi Tuhan sungguh baik. Dia masih memberiku kesempatan untuk bersama dengan keluarga kecil yang baru saja kubangun walaupun dengan risiko kakiku harus lumpuh dan sudah tidak bisa disembuhkan. Sedangkan saat itu, Mas Adi hanya luka di bagian kepala. Aku bersyukur bahwa kami masih bisa menghirup udara bersama.

Jangan tanyakan bagaimana perasaanku setelah mendengar kabar tersebut. Kehidupanku hancur. Bahkan selama satu bulan penuh aku tidak ingin bertemu siapa-siapa selain perawatku. Aku malu ketika bertemu dengan keluarga terlebih-lebih Mas Adi. Impian kami hancur, untuk mempunyai lima orang anak. Padahal dulu, semasa kami pacaran, Mas Adi sering mengatakan bahwa dia ingin mempunyai anak dari rahimku sebanyak-banyaknya. Namun, impian itu harus kandas di tengah jalan. Aku juga malu pada diriku sendiri karena menjadi manusia yang tidak berguna.

Mas Adi tidak pernah patah semangat. Seringkali aku melihat Mas Adi menangis ketika menjagaku dan aku sedang pura-pura tertidur. Rasa kasihan timbul namun egoku terlalu besar untuk berjumpa dengan Mas Adi.

Setelah dua bulan berlalu dan aku tidak kunjung mau bertemu dengannya. Mas Adi menculikku. Ah, bukan menculik. Lebih tepatnya Mas Adi membawaku ke sebuah tempat yang aku sendiri tidak tahu di mana. Aku meronta ingin turun dari gendongannya. Hanya saja, pelukan dari Mas Adi lebih kuat dibanding tenagaku. Aku hanya diam saja. Tidak peduli ke mana Mas Adi akan membawaku. Di dalam mobil kami sama-sama diam. Tidak ada candaan yang terdengar dari mulut Mas Adi. Aku sedikit takut karena ini pertama kalinya Mas Adi mendiamkanku seperti ini.

Tidak berapa lama setelah itu kami sampai di sebuah pantai. Ini pantai favoritku.

Air mataku turun seketika. Bahuku bergetar akibat tangis yang tidak bisa dibendung lagi. Mas Adi duduk di hadapanku dan menatapku dengan dalam. Dia segera memelukku dan tangisku makin menjadi. Mas Adi juga menangis. Kami menangis dengan disaksikan langit mendung.

Setelah tangisku sedikit mereda, Mas Adi mendorong kursi rodaku dan mengajakku untuk berjalan di atas pasir yang basah karena air laut. Sebelah tanganku mengenggam tangan Mas Adi. Sepanjang itu pula Mas Adi bercerita bagaimana hidupnya hancur karena aku lebih memilih perawat dibanding dia.

Air mataku jatuh kembali. Ada sedikit perasaan lega karena Mas Adi menerimaku dengan tangan terbuka. Begitu juga dengan keluarganya. Untuk pertama kalinya aku tersenyum semenjak mengalami kecelakaan.

Mas Adi berhenti mendorong kursi rodaku. Aku melihat ke belakang dan kudapati Mas Adi sedang mengusap air matanya.

“Mas,” panggilku.

“Iya?” jawabnya.

“Mas baik-baik saja?” tanyaku lagi.

Mas Adi hanya tersenyum lalu mengacak rambutku pelan. Mas Adi pindah ke hadapanku dan menggenggam tanganku dengan erat.

“Mas, sayang sama kamu,” ucapnya dengan bibir gemetar menahan tangis.

Tanpa menunggu lagi, aku segera memeluk Mas Adi. Ya, Tuhan. Betapa jahatnya aku selama ini, sudah mendiamkan orang yang selama ini peduli dan benar-benar cinta padaku.

Mas Adi membalas pelukanku dengan erat. Kuhirup aroma yang selama ini menjadi kekuatanku. Mas Adi pun melakukan hal sama. Tidak ada yang berniat melepaskan terlebih dahulu pelukan ini. Sungguh, aku menyesal sudah membuat egoku menang.

“Sekarang kita pulang ya, Mas. Aku capek,” kataku setelah merenggangkan terlebih dahulu pelukan kami.

Mas Adi menatapku dalam kemudian mencium keningku dengan penuh cinta. Aku tersenyum ketika Mas Adi selesai mencium keningku. Mas Adi kembali mendorong kursi rodaku menuju mobil.

Sejak saat itu hidupku kembali berwarna. Walau tidak sesempurna wanita pada umumnya, tetapi aku bahagia karena Mas Adi selalu memberikanku kekuataan. Sejak saat itu juga Mas Adi membeli rumah yang tidak jauh dari rumah ke dua orang tua kami. Kata Mas Adi biar dia bisa fokus mengurusku dengan baik. Lelaki hebatku.

****

“Hei, kenapa melamun?” tanya Mas Adi ketika berada di samping kursi rodaku.

“Siapa yang melamun?” ucapku dengan nada tinggi.

“Kebiasaan deh,” katanya.

“Kebiasaan apa?” balasku dengan nada sewot.

“Kebiasaan kalo ketahuan pasti nada bicaranya tinggi. Hahaha.” Mas Adi tertawa dengan sangat keras.

“Aku cemberut karna mudah ditebak oleh Mas Adi. Namun, aku juga bahagia karena Mas Adi sebahagia ini karena aku.

“Udah ah, jangan manyun gitu. Jelek tahu!”

“Udah tahu!”

“Yaudah, kita berangkat sekarang, Princess?” tanyanya lagi.

“Besok aja, Prince!” jawabku.

“Baiklah … baiklah … mari kita tidur saja,” kata dia sambil bersiap-siap membuka bajunya dan masuk ke dalam kamar.

“Mas Adi ….”

Mas Adi tertawa mendengar suaraku. Mas Adi berbalik kemudian mendorong pelan kursi rodaku. Aku menggenggam kembali tangan Mas Adi setiap dia mendorong kursi rodaku. Sepanjang dari rumah ke mobil tak henti-hentinya senyumku mekar. Mungkin juga Mas Adi heran melihatku karena tersenyum terus. Tetapi, aku percaya bahwa Mas Adi tahu kalo aku sedang bahagia.

Mas Adi menggendongku untuk masuk ke dalam mobil. Setelah itu dia melipat kursi rodaku. Boleh kutebak, itu pasti membosankan sekali. Namun, Mas Adi nggak pernah sedikit pun mengeluh tentang itu. setelah melipat kursi rodaku, Mas Adi masuk ke dalam mobil dan memasang sabuk pengaman.

“Siap berpetualangan?” tanya Mas Adi.

Aku tertawa lepas lalu dengan sedikit berteriak aku menjawab, “Siap, Komandan!”

Perjalanan kami dimulai. Sesekali aku dan Mas Adi bersenandung kecil dan tertawa lepas. Hidupku bahagia, aku senang bisa menjadi bagian dalam hidup Mas Adi.

Mas Adi. Dia Lelakiku. Lelaki hebatku.(*)

Meliani Wau, seorang wanita yang lahir di sebuah pulau kecil, namun memiliki mimpi yang besar. Bisa menghubungi saya di akun Fb Meliani Wau, dan email melianiwau32@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita