Lelaki yang Menyadap Nasib

Lelaki yang Menyadap Nasib

Lelaki yang Menyadap Nasib

Penulis: Nur Khotimah

Sudah hampir satu jam, tetapi hujan tak jua menunjukkan tanda-tanda mau reda. Airnya tertumpah, tercurah, kemudian menggenang di permukaan tanah. Angin berembus meninggalkan hawa dingin pada kulit. Petir yang bersahut-sahutan, seakan bergembira menyambut bulan September.

Seorang lelaki usia tiga puluhan duduk termenung di mulut dapur, matanya menatap titik-titik air yang jatuh dari atap seng kemudian luruh ke bumi. Di belakangnya, berdiri seorang perempuan berbaju lusuh menggendong bayi sembilan bulan dengan kain jarik yang sama lusuhnya. Tatapan perempuan itu, sama seperti lelaki tadi.

“Berangkat, ndak, ya, Sum?” tanya Sumarjo—nama lelaki itu—seraya menoleh sebentar kepada istrinya, Sumirah, kemudian kembali menatap air yang menggenang di pelataran, beralih ke pongkor-pongkor yang sudah berbaris rapi di sisi kanan depan dapur, seakan siap menanti mandat dari si empunya.

“Sayang kalau tidak diambil, Kang,” timpal istrinya. “Udah mau sandekala, tapi hujan ndak juga reda,” lanjutnya. Lebih seperti pernyataan ketimbang sebuah jawaban atas pertanyaan Sumarjo, suaminya.

“Aku perlu berangkat, Sum?” tanyanya sekali lagi, seolah minta diyakinkan lagi. Ada keengganan dalam nada bicaranya.

“Kalau nggak diambil, niranya masam, Kang. Aku juga malas mengolahnya, hanya buang-buang suluh.” Usai mengucapkan kata-kata tersebut Sumirah membetulkan posisi bayi dalam gendongannya, Menuk. Kemudian berjalan ke sisi kanan dapur, ke sisi sebuah amben bambu. Di sana terdapat ember plastik berwarna merah kusam berukuran sedang tempat ia menyimpan beras. Ia buka, melongoknya sebentar, kemudian menutupnya lagi.

“Beras sudah habis, ini paling cuma cukup buat nyarap besok pagi.” Ia membuka kancing bajunya, kemudian menjejalkan teteknya ke bayinya yang mulai merengek.

Ia meneteki bayinya sembari duduk di amben bambu. Hanya sekejap, karena si bayi tiba-tiba minta turun, kemudian asyik bermain dengan kaleng biskuit bekas kue lebaran entah kapan. Sementara di mulut dapur, Sumarjo masih tafakur, merenungi hujan yang tak jua reda. Mungkin bila tanpa disertai angin dan guntur dia sudah berangkat dari tadi. Ia juga merenungi nasib keluarga kecilnya, sampai kapan akan terus seperti ini.

Sumarjo dan Sumirah sama-sama lahir dan besar di keluarga penyadap nira. Tak ada keahlian yang mereka punya selain bakat keturunan dari orang tua, ditambah hanya mengenyam pendidikan di sekolah dasar, tak memberi efek apa-apa selain hanya bisa baca tulis.

Hidup mereka bergantung pada manggar-manggar yang menjuntai di pucuk kelapa. Pada nira-nira yang menetes dari bunga kelapa tersebut. Sedangkan hari ini, angin yang garang berembus, yang meninggalkan jejak dingin pada pori-pori kulit. Guntur yang bersahutan seakan tak mengizinkan ia mengencani kekasihnya, manggar-manggar itu.

Sumarjo bimbang, di sisi lain ia ragu bila harus berangkat dalam cuaca seburuk ini, tapi di sisi lain ia teringat kebutuhan keluarganya. Ada tiga perut yang harus diisi esok hari. Bila ia tak berangkat mengangkat pongkor-pongkornya, nira akan masam, yang bila diolah hanya menghasilkan gula gemblung yang tidak ada harganya. Manggar juga akan membusuk karena tidak diiris, itu artinya rantai penghidupannya terputus, karena tak bisa disadap lagi keesokannya.

Setelah melalui berbagai pertimbangan, Sumarjo bangkit. Mengambil arit kemudian menyelipkannya di ikat pinggang yang ia kenakan. Pongkor diangkat dengan menggunakan pikulan, menimbulkan suara kelentang kelentung ketika tabung-tabung bambu itu saling berbenturan.

Sumirah tergopoh-gopoh keluar dan memberikan sebuah kantong keresek berwarna hitam, yang kemudian Sumarjo gunakan sebagai penutup kepala sebelum ditindih dengan tudung caping.

“Ati-ati, Kang. Sandekala!” Pesan istrinya tak dijawab. Pria itu berlalu meninggalkan bunyi kelentang-kelentung yang semakin jauh semakin menghilang.

Sumirah menutup pintu dapurnya. Ada gelenyar aneh tiba-tiba merasuk dada. Dalam hati ia berdoa, semoga Tuhan, Sang Pemilik Hidup selalu melindungi suaminya.

Hari sudah semakin gelap, suara azan menggema dari masjid dan surau-surau kampung. Hujan tak jua reda, bahkan angin barat semakin ganas bertiup. Sumirah bangkit menyalakan kembali sentir yang padam tertiup angin. Kemudian ia membuka tudung nasi di meja, mengambilnya sekepal kemudian mencampurnya dengan sedikit garam, dan berjalan ke luar. Bukan untuk dimakan, melainkan ia menaburnya ke halaman.

Kiye tek sangoni, Kiyai. Gawa angine maring segara.” Begitu rapalnya. Sumirah dan keluarga percaya, bila nasi dan garam bisa menolak bala. Benar juga, angin sedikit berkurang keganasannya, hujan juga sedikit reda hanya menyisakan gerimis. Namun Sumirah kecewa, itu hanya sebentar, tak sampai lima menit hujan kembali menderas seperti semula.

Sementara Sumarjo masih berjalan di bawah hujan. Menyusuri lembah dan bukit untuk sampai ke hutan tempat pohon-pohon kelapa sadapannya berada. Kakinya lincah melalui jalanan tanah yang becek, licin, dan kadang tergenang air. Sampailah ia. Deretan pohon kelapa berdiri menjulang di depannya. Seolah menantang jiwa kelelakiannya sebagai penyadap sejati.

Ada tiga belas pohon yang harus ia sadap sore itu. Satu pohon ada dua tiga pongkor nira. Bila manggar masih bagus, semuanya akan terisi penuh. Dari nira-nira tersebut, keluarganya hidup. Tentunya setelah diolah Sumirah menjadi gula merah, dan menjualnya ke tengkulak. Meski tidak seberapa harganya, namun terbukti bisa menghidupinya bertahun-tahun. Meski tak jarang harus kekurangan pula.

Dua belas pohon sudah ia naiki. Kini tinggal pohon ketiga belas. Hari sudah semakin gelap, mungkin sebentar lagi Isya. Sumarjo menyadap tanpa penerangan sedikit pun. Hanya bermodal insting dan keberanian seorang penyadap sejati.

Meski batang-batang itu licin, Sumarjo tetap bisa memanjatnya dengan gesit. Seumpama munyuk ia memeluk batang kelapa, kemudian memejalkan kaki agar bisa naik lebih tinggi lagi. Hanya kurang satu injakan lagi ia sampai di dahan. Namun tiba-tiba suara petir seperti begitu dekat dengan telinganya, petir menyambar. Wajahnya terasa panas, kemudian ia jatuh menggelepar menindih arit yang terselip di pinggangnya.

Di rumah, sentir yang Sumirah nyalakan mati seketika. Bukan karena terkena embusan angin, melainkan tak lagi berminyak. Sumirah resah dalam gelap.

Tamat.

Cikarang, 15 September 2020

 

*Sandekala adalah istilah bahasa sunda

Sande =bukan, Kala=waktu

Secara sandekala adalah bukan waktunya atau bukan waktu yang tepat, yang diidentikkan dengan waktu senja saat menjelang maghrib


Nur Khotimah, ibu rumah tangga yang ingin mempunyai karya di sela kesibukannya.

 

Editor: Erlyna

Sumber gambar: Pinterest.com

Leave a Reply