Lelaki yang Menunggu Jawaban
Oleh : Inu Yana
Subuh tadi dia datang, dengan koper besar berwarna cokelat di tangan kiri dan tas jinjing di tangan kanan. Bajunya sangat pendek, dengan bagian dada yang terlihat sangat membusung meski dilapisi jaket jeans berwarna biru terang. Dandanannya menor seperti orang kota, rambutnya berwarna kuning terang. Aku hampir saja tak mengenalinya andai tak melihat tahi lalat besar di dagunya.
“Kamu?”
Perempuan itu hanya mengangguk. Kemudian mengambil tangan kananku dan menciumnya dengan canggung.
“Masuk,” kataku. Nyawaku masih belum sepenuhnya kumpul, belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi. Yang jelas aku tadi terbangun karena ada ketukan di pintu kemudian terhuyung-huyung keluar dan mendapatinya sudah berdiri di sana.
Perempuan itu, Kaisah—istriku. Dan seharusnya aku bahagia melihatnya pulang setelah hampir dua tahun kepergiannya. Namun, entah kenapa ada rasa tidak senang melihatnya pulang seperti itu: dengan dandanan yang ajaib. Lagi pula kenapa dia pulang tiba-tiba tanpa mengabariku terlebih dahulu. Seingatku ia masih punya kontrak kerja tiga bulan lagi.
“Aku ambilkan minum dulu, ya,” ucapku, mencoba menguasai keadaan. Aku lihat Kaisah mengangguk ragu. Saat aku berjalan ke dapur, kulihat ia juga bangkit, berjalan menuju ke kamar kami.
Teh hangat sudah tersedia, tetapi Kaisah tak juga keluar. Akhirnya, kuputuskan menemuinya di kamar. Jiwa kelelakianku yang selama ini kering kerontang seakan meronta-ronta meminta pembalasan saat mendapati Kaisah sedang berganti pakaian. Dengan beringas kugagahi dia tanpa perlawanan.
***
Sudah tiga hari dia di rumah ini, dan sudah tiga hari pula dia selalu muntah-muntah. Saat kutanyakan keadaannya, Kaisah hanya menjawab, “Cuma masuk angin.” Namun, entah kenapa aku melihat ada sesuatu yang tidak beres. Kaisah kini menjadi pribadi yang pendiam. Selain itu, ada yang beda pada tubuhnya. Dadanya lebih besar dari yang biasanya kutahu. Perutnya yang dulu rata juga terlihat sedikit membuncit. Apa secepat itu? Tiba-tiba seperti ada yang menggelegak di kepalaku. Dadaku terasa sakit, nyeri yang teramat menusuk.
“Katakan apa yang terjadi,” ujarku pelan saat dia sudah keluar kamar mandi di pagi keempat kepulangannya.
Kaisah menunduk, kemudian mencoba melewatiku. Namun tak bisa. Aku sengaja menahannya, menatap matanya intens mengharapkan sebuah kejujuran bisa terlihat di sana. Tetapi, perempuan yang sudah tiga tahun namanya tertulis satu buku nikah denganku itu mengelak, menghindar, tak membalas tatapanku.
Aku mencekal lengannya. “Siapa?” tanyaku dengan gigi gemeletuk menahan amarah. Mataku terasa panas, pasti sangat merah waktu itu. Kaisah menunduk, kemudian sesenggukan. Tak satu kata pun yang keluar, hanya pundaknya yang turun naik seiring air mata yang terus mengalir. Tak berapa lama, ia berlari ke kamar, tepat saat aku mengulang pertanyaan yang sama untuk ketiga kalinya.
Cukup sudah. Sepertinya aku tak perlu bertanya lagi. Tangisannya barusan kuanggap sebagai jawaban atas pertanyaanku. Inikah balasannya untuk kesetiaanku?
“Cuma dua tahun, Kang. Demi masa depan kita.” Begitu katanya saat itu. Dia yang selalu meragukan masa depan hidup bersamaku seberapa besar pun aku meyakinkannya, memilih pergi ke Hongkong untuk menjadi TKI.
Sungguh aku sadar belum bisa membahagiakannya dengan kelimpahan materi. Aku yang cuma kuli bangunan hanya mampu memberinya limpahan kasih sayang, juga makan tiga kali sehari tentunya. Namun ternyata, itu tak cukup bagi Kaisah. Ada banyak kebutuhan, terutama keinginannya yang belum bisa kuberikan. Aku mencoba ikhlas, mencoba memahami keinginan-keinginannya yang belum bisa kupenuhi. Membiarkan dia pergi, meski belum ada setahun kami mengarungi bahtera bernama rumah tangga.
“Aku janji akan menjaga hati, Kang. Hanya buat kamu. Aku janji, cuma dua tahun. Aku bakal jaga diri. Aku cuma mau kumpulin uang, setelah itu aku pulang, dan kita buka usaha sama-sama.”
“Taikk!” umpatku seraya melempar gelas yang saat itu ada di meja dapur. Amarah memuncak mengingat semua janji-janjinya. Pelacur!
Sejak hari itu, kami saling diam. Setiap pagi, saat dia sedang memuntahkan isi perutnya di kamar mandi, aku berdiri di pintu dapur dengan tangan menggenggam golok. Golok yang selalu kuayunkan ke kusen saat amarah memuncak. Menghajarnya membabi buta seakan kayu yang berdiri di depanku itu adalah si lelaki bangsat yang sudah berani meniduri istriku. Kusen kayu mahoni itu sudah tak lagi berbentuk, mungkin andai tak tertopang tembok bata, dia sudah luruh beberapa hari yang lalu.
Aku tak pernah bertanya lagi perihal perutnya. Aku tak lagi peduli. Aku melampiaskan sakit hatiku dengan mengangkanginya kapan pun aku mau. Tak peduli ia menyukainya atau tidak. Atau bila aku sedang benar-benar tak menginginkannya, kuhabiskan malamku di belakang rumah ditemani berbotol-botol miras oplosan yang sengaja kubeli di warung pinggir desa.
Setelah hampir enam bulan Kaisah di rumah, di suatu tengah malam yang gerimis, saat kepalaku sudah mulai pening efek dari miras oplosan yang kuminum, Kaisah memaksaku untuk memanggil Nini Cowet, seorang peraji tua paling terkenal di kampung kami. Dia mau melahirkan, katanya. Semula aku enggan menurutinya, persetan dengan bayi sialan itu. Mau mati pun aku tak peduli. Ah, mati terdengar lebih indah di telinga. Akan tetapi melihatnya terus-terusan kesakitan, membuatku tak tega. Meski sedikit, aku merasa masih mencintai Kaisah. Akhirnya aku pergi juga, mengabaikan kepala yang semakin berdenyut.
Kemudian, bayi itu lahir. Wajah, hidung, dan mata bayi perempuan itu mengingatkanku pada film-film yang selalu dipenuhi adegan menyanyi dan menari. Akhirnya aku bisa menebak dengan orang mana si pelacur itu bermain dosa. [*]
Cikarang, 9 Maret 2021
Inu Yana, perempuan kelahiran Banyumas, 12 Agustus 1984 ini sewaktu kecil gemar membeli majalah bekas demi bisa memuaskan hobi membacanya. Terlahir dari keluarga yang sangat sederhana membuatnya tak mampu meneruskan pendidikan ke jenjang universitas, dan harus melupakan cita-citanya menjadi seorang guru. Aktif menulis sejak 2018 dan sudah memiliki beberapa antologi cerpen.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata