Aku masih saling menggesekkan kedua tanganku. Dinginnya sore ini benar-benar menusuk kulit hingga ke pori-pori. Hari ini adalah salah satu hari yang berada di bulan Februari, aku yakin bukan hanya Probolinggo saja yang diguyur hujan, namun juga kota-kota lain meski pada waktu yang berlainan.
Ribuan air yang berlomba jatuh itu tak pernah jera untuk turun. Tak sakit meski harus jatuh dari langit yang ketinggiannya melebihi batas ambang penglihatan. Bahkan sebenarnya aku yakin, langit itu tak berwarna biru.
“Langit tak berwarna, Sayang.”
“Terus apa yang berwarna?” tanyaku penasaran dari kalimat yang kamu utarakan. Sempat aku mengira kamu akan bergombal ria seperti biasanya, namun kali ini sepertinya harus aku telan pil pahit lantaran melihat wajahmu yang benar-benar pancarkan binar keseriusan.
“Tidak ada. Semuanya monokrom menurutku. Warna-warna di sana hanya biasan cahaya lantaran batas ambang penglihatan yang tak dapat kita tembus,” ucapmu dengan mantap. Bahkan mata tajam itu seakan menerawang ke depan. Tepat di mana imaji-imaji itu berdatangan. Seakan kamu dapat menguliti atau menabik semua imaji yang meliar hingga ke saraf pikiranmu.
Kembali ke masa sekarang, setiap detik, menit dan jamnya akan selalu aku kenang. Aku mulai percaya bahwa langit tidak biru dan bintang tidak kuning. Semua itu hanya imaji-imaji kepolosan yang diuatarakan oleh pikiran kita.
Lihat saja air hujan! Bila memang semua yang berada dalam dunia ini berwarna, mengapa hujan tidak? Mengapa air bening? Tidak putih saja seperti susu, merah seperti apel atau hitam seperti arang. Berarti, dunia ini memang tak berwarna.
Sama halnya dengan kisahku kali ini. Monoton, linear, abstrak atau istilah-istilah lainnya yang menggambarkan betapa menderitanya kisah yang aku jalani. Berputar-putar pada poros yang sama tanpa berpindah sedikit pun. Ibarat bumi yang berotasi tanpa berevolusi.
Lelaki yang kupanggil Desember telah hilang sejak senja membawanya ke barat. Ke ufuk di mana pelayar-pelayar tenggelam dalam lautan yang luas. Termakan batas Pelabuhan Tanjung ini.
Hal ini dimulai sejak aku mengenal dia. Lelaki yang memiliki postur tubuh tak tinggi namun selalu akan tinggi di hatiku. Sebut aku gombal, padahal aku hanya wanita biasa. Namun, ini semua benar adanya. Lelaki itu memiliki jambang-jambang halus dan kumis yang membingkai bibir atasnya. Jakunnya akan selalu terlihat naik-turun bila ia meneguk minuman merah itu.
Matanya tak cukup sipit namun juga tak bulat, standar menurut takaranku. Lengannya berisi dan kokoh, hingga aku yakin akan sangat kuat utuk mengangkatku bila pingsan karena pesonanya. Rambutnya yang sedikit ikal di beberapa sisi mampu membuat hasratku bergelora, bergairah tuk sekadar menyugar rambut hitam pekat itu.
Lelaki asal pulau yang jauh di seberang sana. Akibat sebuah acara, kami bertemu. Dia dengan pakain kemeja santai yang dua kancing teratas tak terpakai hingga memperlihatkan batapa bidangnya dada itu, bahkan bulu-bulu halus mulai mengintip di sela-sela baju.
“Menulis itu memang berdarah-darah. Bukan hanya karena usaha yang dilakukan sangat ekstra, tapi pengorbanan waktu dan juga caci-maki dari kritikan pedas pembaca,” ucapnya kala kami semua tengah berkumpul di sebauh pelataran dekat Gereja Merah di Jalan Suroyo.
Di sebuah toko buku, kami berkumpul dan berkenalan untuk pertama kalinya. Mungkin bila aku abadikan dengan lensa, tempat kita duduk sangat indah. Di sebuah pelataran depan toko buku yang di sampingnya adalah sebuah tempat sembahyang. Bahkan saat itu terlihat beberapa muda-mudi tengah berfoto di depan Gereja Merah itu. Mereka sangat bersuka cita dengan keindahannya. Lain denganku, kali ini aku memang bersuka cita. Namun bukan karena Gereja Merah yang sejak aku lahir memang berada di Jl. Suroyo itu, namun kali ini lantaran makhluk atau sebut saja spesies yang paling langka berada tepat di depanku.
Lelaki itu adalah dia, lelaki yang kupanggil Februari. Yang tengah membahas karya yang baru saja terbit. Lokalitas, mitos, ekologi, politik, religius, semua bercinta dalam karya yang apik. Aku terkagum pada indahnya karya itu, pun dengan Februari, sang penulis.
“Jadilah pembaca yang baik agar kau menjadi penulis yang hebat.”
Aku terkagum pada pembawaannya yang simple. Senyum selalu tersungging di bibir manisnya, tercetak jelas saat mata itu mulai memancarkan kebahagian yang tak terkira.
“Bisa berfoto?” tanyaku malu-malu. Bahkan aku mengutuk suaraku yang mulai hilang dan kaku saat menatapnya.
Aku sudah bersabar sejak beberapa jam lalu. Menunggu giliran agar bisa di dekatnya. Menatap lebih dekat pada lelaki yang mulai mencuri perasaanku. Sudah cukup, selama beberapa jam terakhir ia tak menatapku barang sedetik pun. Kini aku harus bisa mengambil perhatiannya.
“Boleh.”
Itu adalah satu kata yang membangkitkan kelegaanku. Aku bisa lebih dekat dengannya. Merasakan jantung yang tiba-tiba saja menggila dengan hebat. Bahkan bulu romaku mulai meremang, bukan lantaran ada hantu atau sejenisnya. Namun lantaran gairahku sudah terlaksana. Aku berada tepat di sampingnya. Februari, lelaki pena impianku. Rasanya aku mulai jatuh cinta padamu. Itu adalah pengakuan terbesarku.
“Maaf.”
Aku terdiam. Detak jantungku mulai menggila. Memompanya semakin cepat. Bahkan kaki mulai melemas. Beribu-ribu pemikiran negatif mulai menyapaku. Ketakutan akan dibalik kata “maaf”.
“Kenapa? Kakak menolakku?” tanyaku dengan nada pelan.
“Sekali lagi maaf. Aku tidak bisa menyukaimu,” jawabnya.
“Maksud Kakak? Apa karena aku kurang cantik, kurang ma—“
“Aku tak bisa menyukai wanita,” potongnya dengan sekali teriakan yang membuatku terkejut.
Bukan hanya karena itu, namun kenyataan lainnya. Tidak bisa menyukai wanita? Lelucon apa lagi ini? Apakah aku harus percaya? Tentu saja tidak.
“Kakak bohong!” teriakku tak kalah kencang.
Kecewa dengan alasan ia menolakku. Menurutku, bila ia memang tak menyukaiku, katakan saja sejujurnya. Jangan malah menciptakan kebohongan lainnya.
“Terserah kamu mua percaya apa tidak. Kenyataannya aku memang gay.”
Aku terdiam. Menatap matanya dengan tajam, mencari kebohongan yang mungkin tersirat. Namun nihil. Aku tak mendapat petunjuk apa pun. Ternyata, netra tak selalu bisa mengungkapkan jawaban yang kita cari. Ia hanya bisa memandang tanpa berucap.
“Baiklah. Aku percaya,” ucapku lesu.
Berbalik meninggalkannya. Bila sebelumnya, di Desember, lelaki yang meninggalkanku. Maka kali ini, aku lah yang meninggalkan Februari. Aku meninggalkannya bukan karena tak menerima segala perbedaan yang sangat kentara. Namun, aku meninggalkannya lantaran memang aku harus pergi. Dia tak bisa aku perjuangkan saat ia sendiri yang memintaku menjauh.
Maka seperti pada umumnya. Aku melangkah ke barat. Ke simbol perpisahan itu sendiri. Perpisahanku dengan lelaki yang kupanggil Februari. Kenang aku, setidaknya aku pernah mencintaimu.(*)
Agustin Handayani, perempaun kelahiran Probolinggo, 1996. Seorang mahasiswa dan penggiat literasi daerah. Akun FB : Agustin Handayani.
Cerpen ini terpilih sebagai nominator pada KCLK (Kompetisi Cerpen Loker Kita) untuk minggu ke-4 Februari.
Selebihnya tentang KCLK, mari bergabung ke grup kami:
Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan