Lelaki Tua di Rumah Galih
Oleh: Triandira
Seorang anak yang kutaksir berumur enam tahun, tergolek lemah di gendongan ibunya. Mereka berdiri di depan seorang gadis cantik berbaju putih dengan penutup kepala berwarna senada. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi tangisan yang terdengar keras membuatku tak bisa mengalihkan perhatian. Dasar menyebalkan. Masih pagi begini, mataku sudah disuguhi pemandangan yang tidak menyenangkan.
“Saya mohon, Mbak. Setidaknya—”
“Maaf, Bu. Seperti yang sudah saya bilang tadi, silakan tunggu dulu,” potong gadis itu seraya menunjuk ke salah satu sudut ruangan. Sejurus kemudian, perbincangan di antara mereka terhenti. Pengunjung lain yang sudah lama mengantre pun mulai maju satu per satu. Memperjuangkan nasib masing-masing, dan berharap tidak mendapatkan penolakan yang sama.
Aku menghela napas. Mengurungkan niat untuk pulang, lalu mendekat ke bangku panjang di mana ibu yang tampak gelisah itu duduk bersama anaknya.
“Boleh saya duduk di sini, Bu?” sapaku sambil tersenyum samar. Ia mengangguk. Tak lama kemudian, kami duduk berdampingan. Bocah kecil yang dipangkunya masih menutup mata. Tubuhnya panas dan wajahnya pucat.
Kau bocah yang kuat, bukan? Jadi … bertahanlah. Aku mengelus pelan rambutnya. Di saat yang sama, jantungku berdesir lembut. Seketika aku mulai menyadari sesuatu. Selama ini aku terlalu sibuk mengeluh hingga kurang peka dengan keadaan sekitar.
“Saya takut, Mbak,” Bu Darsih yang baru kukenal itu akhirnya membuka mulut, seolah mengerti dengan maksud kedatanganku.
“Ibu yang sabar, ya. Kita tunggu sebentar lagi.”
Ia terdiam. Menundukkan kepala dengan pipi yang masih basah. Sesekali mengusap wajah dan menghela napas panjang. Merasa tak tega, aku mendekap lengannya. Hal semacam ini sudah biasa kulihat, jadi aku bisa memahami kesedihan yang tengah Bu Darsih rasakan.
Siapa pula yang tidak cemas melihat anak sendiri yang sedang sakit tak kunjung mendapatkan pengobatan. Apalagi jika kondisinya parah. Hanya saja, sikap yang Bu Darsih tunjukkan cukup mengherankan untukku.
Aku tidak mengerti mengapa perempuan ini terlihat begitu kacau. Ia bahkan mendebat perawat dengan tangis yang memilukan. Mengundang perhatian dari sebagian besar pengunjung di rumah sakit ini. Ada apa sebenarnya? Mengapa ia bersikap seperti itu?
Pertanyaan tersebut tiba-tiba muncul di benakku. Saat aku hendak mengutarakannya, lembaran kertas di tangan Bu Darsih telah lebih dulu menarik perhatianku.
“Apa itu, Bu?” tanyaku. Bu Darsih menoleh, lantas menyodorkan lembaran kertas yang ia bawa. “Ini…?”
Ia mengangguk dan tak mengucapkan sepatah kata pun. Seakan tahu dengan kalimat yang ingin kuucapkan. Pelan, aku mengembalikan lembaran itu setelah membaca semua yang tertulis di permukaannya.
“Tunggu sebentar ya, Bu.” Aku bangkit dari tempat dudukku. “Nanti saya kembali lagi.”
Belum sempat ia menjawab, aku sudah pergi. Meninggalkannya berdua dengan sang anak di sudut ruangan yang sama saat aku menyapanya tadi. Ia termangu. Menatap kepergianku dengan wajah penuh kebingungan.
***
“Apa kamu tidak lelah?” Bu Darsih meletakkan sebaskom air hangat yang ia gunakan untuk menyeka tubuh Galih, lantas menghampiriku yang sedang duduk di sisi ranjang anaknya itu. “Apa tidak sebaiknya pulang dulu?”
Aku menggeleng, “Tidak apa-apa, Bu. Saya malah senang berada di sini.”
Semenjak mengetahui keadaan Galih yang mulai membaik, aku semakin bersemangat menemuinya. Meskipun terapi yang telah kujalani cukup menguras tenaga, tapi itu bukan masalah. Jika pulang ke rumah, aku hanya akan merasa bosan. Terlebih saat libur bekerja seperti ini.
“Kapan-kapan boleh tidak aku main ke rumah Kakak?” potong Galih, pipinya yang tembam terlihat menggemaskan.
“Tentu saja, tapi harus janji dulu.”
“Janji apa?”
“Galih harus patuh sama Ibu, ya.” Aku mengelus rambutnya yang cepak sambil menyunggingkan senyum. “Janji kalau Galih akan menjaga kesehatan dengan baik. Jangan jajan sembarangan lagi.”
“Oke,” balasnya dengan penuh semangat.
“Jadi …?”
Ia terkekeh lalu meletakkan mainan pemberianku di atas meja, menarik selimut dan membetulkan posisi tidurnya. Tak berapa lama kemudian, ia terlelap. Sepertinya ia mengerti dengan isyarat yang kutunjukkan usai aku melihatnya berulang kali menguap. Anak pintar.
Menyaksikan keceriaan sang buah hati sudah kembali, Bu Darsih tersenyum lega. Begitu pula denganku. Setidaknya kegelisahan yang beliau rasakan sedikit berkurang. Dan sebentar lagi Galih bisa beraktivitas seperti biasanya.
“Kita bicara di luar?” usul Bu Darsih usai aku melontarkan sebuah pertanyaan. Aku menganggukkan kepala, menyetujui ucapannya.
Kami duduk di kursi tak jauh dari kamar tempat Galih dirawat. Menyaksikan orang-orang yang berlalu-lalang di sepanjang koridor. Ada yang memasang wajah kecemasan, kesedihan, dan kebingungan seperti yang Bu Darsih tunjukkan saat pertama kali bertemu denganku. Ada juga yang seolah baik-baik saja, padahal penyakit mengerikan tengah menggerogoti tubuh mereka. Salah satu di antara mereka bahkan sudah cukup lama kukenal, lebih tepatnya semenjak setahun yang lalu aku tercatat sebagai pasien di rumah sakit ini.
“Terima kasih, ya.” Bu Darsih meraih tanganku dan menepuknya perlahan. Aku yang merasa terkejut langsung menoleh ke arahnya.
“Sama-sama, Bu.” Aku menghela napas. “Tapi, apa tidak sebaiknya—”
Bu Darsih menggeleng pelan. Menatapku dengan mata berkaca-kaca, kemudian meyakinkanku bahwa keputusan yang ia ambil sudah dipertimbangkan dengan matang. Sejujurnya, aku ingin agar beliau memikirkan kembali kesehatan Galih. Tapi aku tidak sanggup memaksanya. Lagi pula aku masih bisa membantu mereka di lain waktu.
“Kalau begitu izinkan saya mengantar Galih ya, Bu.”
“Tentu,” balasnya dengan senyum yang mengembang. “Sekali lagi, terima kasih.”
***
Aku menemani Galih di kamarnya. Ia mengajakku berbincang tak lama setelah ibunya keluar, menuju dapur untuk membuatkanku minuman. Sebenarnya aku sudah menyuruhnya untuk beristirahat karena bocah itu masih terlihat lemah, tapi ia tidak mau. Akhirnya, aku menceritakan beberapa hal yang ingin diketahuinya dariku.
Galih adalah anak yang periang dan ramah, karena itulah tidak sulit bagi kami untuk menjalin keakraban.
“Sekarang ceritakan pada Kakak. Apa kau juga takut dengan kucing?” Aku menggelitik pinggangnya, “ayo, jawab.”
“Hentikan, Kak,” pintanya disertai gelak tawa.
“Wah, sepertinya ada yang seru di sini.”
Kami menoleh sambil terkekeh. Baru saja Bu Darsih meletakkan secangkir teh di atas meja, terdengar seseorang mengucapkan salam. Tak lama setelah kami menjawabnya, lelaki bertubuh tinggi dan beruban itu masuk ke dalam kamar.
Ia menatap cucunya yang terbaring di atas ranjang. Tersenyum lebar dengan cairan bening yang menggenang di pelupuk mata. Beberapa kali menghela napas, lalu mendekat dengan tangan yang gemetaran.
“Tidak apa-apa, Pak.” Bu Darsih mengelus lembut punggungnya, membuat lelaki itu tak ragu lagi. Sejurus kemudian, ia memeluk erat tubuh Galih sambil meneteskan air mata. Tak ingin mengganggu, aku segera bangkit. Berdiri di samping Bu Darsih dengan benak penuh tanya. Lelaki itu pasti merasa senang karena cucu kesayangannya sudah pulang ke rumah, tapi kenapa ia terlihat takut?
“O ya, Pak. Kenalkan, ini Nak Fitri.” Lelaki itu melepaskan pelukannya. Menoleh ke arahku sambil mengusap air mata.
Jadi ini yang membuatnya takut. Saat itu juga aku mengerti. Penyakit jantung yang Galih derita, pasti bukan hal yang mudah untuk ia terima. Bahkan mungkin, saat ini ia memendam penyesalan di hatinya.
Andai saja waktu bisa diputar, mungkin lelaki itu akan menjaga Galih dengan baik. Ia tidak perlu mendengar cerita bahwa Galih telah ditolak untuk berobat di sebuah rumah sakit. Berulang kali Bu Darsih dibuat bingung, berpindah dari poli satu ke poli lainnya hanya agar Galih mendapatkan fasilitas kesehatan bagi keluarga miskin. Tapi apa daya, saat itu Bu Darsih hanya bisa menunjukkan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan setempat. Bukan kelengkapan syarat yang seharusnya beliau penuhi.
Kalau saja lelaki itu tahu akibatnya akan seburuk ini, ia tidak perlu menyaksikan Galih berulang kali jatuh sakit dan menderita. Semua sudah terjadi, dan inilah kenyataan yang harus dijalani.
“Terima kasih, Nak Fitri. Bapak …,” ucapnya tersendat-sendat. “Bapak tidak tahu harus membalasnya seperti apa.”
“Sama-sama, Pak. Saya senang bisa membantu.”
Tanpa terasa aku meneteskan air mata. Menjabat tangan lelaki tua itu dan menatapnya dengan senyum yang tersungging di wajah. Ia terisak. Tak mampu lagi berucap dengan suara yang semakin parau, dan di saat itulah aku bisa melihat dengan jelas—sebuah lubang kecil, menghitam di lehernya. Ia … telah kehilangan pita suara.(*)
Tentang Penulis:
Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira, email: wahyutriandira1@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata