Lelaki di Bawah Hujan
Oleh : Putri Rahmayanti
Sore ini aku berdiri diam di halte bus dekat kantorku. Aku baru saja pulang dari medan pertempuran bersama tumpukan-tumpukan kertas memusingkan. Seperti biasa, aku hanya diam memandangi lalu-lalang pengguna jalan, tanpa berniat untuk menumpang salah satunya. Kebiasaan sejak lama, entah kenapa.
Mataku liar, memperhatikan gerak-gerik setiap orang di sekitarku. Hingga tak sengaja kutangkap postur seseorang yang kukenali. Aku memicing, menajamkan penglihatan, ke arah deretan pengendara roda dua yang berjejeran di bawah lampu berwarna merah.
Aku mengenalnya! Meskipun daya tangkapku di bawah rata-rata, juga otakku sering kali melupakan sesuatu, tetapi orang itu masih kuingat. Sangat.
Dia, Rafa. Laki-laki pertama yang menggetarkan hatiku. Menghadirkan rasa aneh yang selalu tumbuh dari waktu ke waktu. Sejak lulus SMU, kami tak pernah lagi bertemu. Tapi tak kusangka, takdir membuatku kembali melihatnya, setelah lima tahun lamanya tak saling bertegur sapa, atau sekadar bertatap muka.
Pria itu masih sama, seperti lima tahun lalu. Rambutnya masih dijambul, telinganya masih ditindik, penampilannya pun masih urakan. Bedanya, ia sekarang memakai seragam bertuliskan nama sebuah perusahaan, yang tidak dapat kulihat dengan jelas karena bentangan jarak.
Mataku masih setia menatapnya, nyaris tanpa kedip. Waktu memang sudah lama berlalu. Akan tetapi, rasa itu masih saja sama. Masih berontak. Masih menggebu. Berusaha mencari jalan pelepasan.
Kugigit bibir bawah tatkala kurasakan tetesan air mata membasahi wajah. Jujur saja, aku rindu.
Pandanganku mulai memburam, bersamaan dengan awan yang juga mulai menggelap di atas sana, siap menumpahkan air matanya.
Aku mengerjap-ngerjap, berusaha menghalau buliran yang sudah menggenang di pelupuk mata. Kualihkan atensiku sejenak. Kutengadahkan wajah memandangi langit hitam yang terbentang di atas.
“Andai saja tadi aku bawa payung,” gumamku pelan pada diri sendiri.
Ah, harusnya aku ingat bahwa ini awal Februari. Aroma tanah basah jelas saja akan menyapu udara. Seperti di tahun-tahun sebelumnya.
Tetes demi tetes air mulai ditumpahkan langit untuk menyapa bumi. Membantu bumi menyapu debu jalanan yang terlihat sedikit menebal.
Sebuah bus berwarna biru gelap berhenti tepat di depan sepatuku yang menghitam karena debu. Aku bergeming. Sementara orang-orang yang sedari tadi berada di sisi kanan kiriku mulai beranjak, memasuki badan bus dengan sedikit berdesakan. Mungkin saja menghindari air yang datang dibawa angin lalu yang cukup kencang.
Setelah bus pergi, aku kembali menatap ke depan sana, tempat di mana aku melihatnya. Tapi, nihil. Tak lagi kutemukan dia, ataupun orang-orang yang tadi ikut berjejer rapi bersamanya.
Kududukkan tubuhku di atas bangku panjang yang mulai basah di halte itu. Aku menghela napas. Lagi-lagi, dia … pergi.
***
Seminggu sudah berlalu sejak kejadian itu—hari ketika aku melihat laki-laki itu dengan motor tuanya, berjejer rapi bersama pengendara lain. Hari-hari setelahnya, tak lagi kutemukan dia di sana, atau di mana pun. Dia kembali terasa ditelan bumi. Hilang tak berjejak.
Aktivitasku masih sama. Berdiri di depan halte bus tanpa menunggu apa pun dan siapa pun. Tampilanku juga masih sama, dengan baju panjang yang nyaris menutupi seluruh tubuh, termasuk kaki yang terbalut kaus kaki.
Awan gelap perlahan mulai menyingkir dari wajah muram langit, menyisakan genangan-genangan air hampir di setiap sisi jalan.
Kali ini aku tak lagi berniat berdiri di halte itu hingga bus datang dan menyedot orang-orang di belakangku. Perlahan, kulangkahkan kaki menyusuri bahu jalan yang basah. Menyingkap sedikit baju panjangku agar tidak ikut basah. Sesekali aku harus menghindari genangan air dengan lebih waspada.
Kupandangi sekali lagi orang-orang yang kembali berjejer rapi di bawah lampu yang menampakkan warna merah di kejauhan sana. Tak kutemukan tanda-tanda keberadaan laki-laki itu sama sekali. Kembali kuhela napas untuk kesekian kali.
Kualihkan pandanganku, lalu kembali mengayun kaki, menjauhi tempat itu. Hanya hembusan angin dingin pun aroma tanah basah yang mengiringi langkahku.
***
Arloji di pergelangan tangan kiriku sudah menunjukkan pukul lima sore. Waktuku berada di tempat kerja telah berakhir. Saatnya untuk kembali pulang beristirahat, agar siap untuk kembali menyongsong hari esok.
Kurapikan semua alat-alat dan berkas-berkas penting di meja kerja. Aku juga membereskan barang-barang lain, lalu memasukkannya ke dalam tas punggung berukuran kecil milikku.
“Sudah mau pulang, Nar?” tanya salah satu rekan kerjaku. Namanya Siska.
Aku hanya mengangguk kecil sebagai jawaban.
“Mau kuantar sampe rumah dengan si Juki?” tanyanya lagi. Juki adalah sebutan untuk motor kesayangannya.
Kali ini aku menggeleng, “Enggak usah, Sis. Makasih,” ucapku sembari mengulas senyum kecil.
“Kalo gitu, aku duluan, ya,” pamitnya. Setelahnya, sosok gadis tinggi itu menghilang di balik tembok ruang kerja kami.
Aku menyampirkan tali tas di punggungku yang tertutupi kain jilbab hingga batas pinggang. Kembali melangkah menuju halte itu. Melakukan aktivitas yang sama seperti hari-hari sebelumnya.
Baru saja aku menapakkan kaki di ujung halte, langit sudah menumpahkan airnya. Sangat deras, diiringi hembusan angin, merembes masuk mengenai sebagian tubuhku. Kali ini aku seorang diri di sini.
Meski air itu kian deras, aku masih bisa melihat orang-orang yang berlalu-lalang di tengah hujan, meski samar-samar. Hujan sama sekali tak menggentarkan niat mereka untuk kembali ke rumah masing-masing.
Kumasukkan tangan ke dalam jilbab untuk memasang earphone. Tak lama kemudian, sebuah lagu terdengar dari sana. Lagu Jealous yang dibawakan oleh Labrinth, mengalun merdu di ruang pendengaranku.
I’m jealous of the rain
Aku cemburu pada hujan
That falls upon your skin
Yang jatuh di kulitmu
It’s closer than my hand have been
Ia lebih dekat dari tanganku dulu
Oh, I’m jealous of the rain
Oh, aku cemburu pada hujan
Dalam hujan, di kejauhan sana, aku kembali melihat orang itu. Laki-laki itu. Laki-laki yang sama yang kutemui beberapa waktu lalu, yang sempat menghilang dari pandanganku amat lama. Dia kembali muncul, dengan posisi dan keadaan yang juga sama. Hanya saja, kali ini dia ada di bawah guyuran air hujan yang membuatnya sudah basah kuyup.
I’m jealous of the wind
Aku cemburu pada angin
That ripples through your clothes
Yang beriak-riak di pakaianmu
It’s closer than your shadow
Ia lebih dekat daripada bayanganmu
Oh, I’m jealous of the wind
Oh, aku cemburu pada angin
Hujan mulai berangsur mereda. Posisiku masih tetap sama, berdiri diam memandangi laki-laki itu dari kejauhan. Dia sudah terlihat menepi sejak beberapa saat yang lalu. Kulihat ia berdiri di depan sebuah toko yang juga berada tak jauh dari sana.
So I wished you the best of
Jadi aku dulu berharap kaulah hal terbaik
All this world could give
Yang bisa diberikan oleh dunia ini
And I told you when you left me
Dan kukatakan padamu saat kau meninggalkanku
There’s nothing to forgive
Tak ada yang perlu dimaafkan
Awalnya kukira dia hanya sekadar berteduh di sana. Namun, setelah kuperhatikan, gerak-geriknya seperti tengah menunggu seseorang.
But I always thought you’d come back
Tapi aku selalu berpikir kau kan kembali
Tell me all you found was
Katakan padaku yang kau temukan hanyalah
Heartbreak and misery
Patah hati dan kesedihan
It’s hard for me to say
Sulit bagiku tuk berkata
I’m jealous of the way
Aku cemburu pada keadaanmu
You’re happy without me
Kamu bahagia tanpaku
Kulihat seseorang baru saja keluar dari toko itu. Dia menurunkan penutup jaket hingga tampak wajahnya. Meski tidak terlalu jelas, orang itu terlihat seperti seorang … perempuan? Laki-laki itu langsung menyampirkan jaket kebesaran yang dia keluarkan dari dalam kresek hitam yang dia bawa ke bahu perempuan itu. Lalu, dia pun merangkul dan mendekap wanita itu mesra.
Oh, Tuhan! Apa ini? Apa yang baru saja kulihat itu? Salahkah penglihatanku? Apakah mataku sudah mulai sedikit bermasalah?
Tidak, tidak mungkin!
I’m jealous of the nights
Aku cemburu pada malam-malam
That I don’t spend with you
Yang tak kuhabiskan bersamamu
I’m wondering who you lay next to
Aku penasaran dengan siapa kau berbaring
Oh, I’m jealous of the night
Oh, aku cemburu pada malam
Pandanganku kembali memburam. Mataku kembali berembun. Rasanya sakit, perih, dan sesak. Ya, aku cemburu! Cemburu pada semuanya.
Cepat-cepat kuseka air mata yang entah sejak kapan sudah membanjiri wajahku dengan ujung baju. Sebuah bus mulai bergerak mendekat, dan berhenti tepat di depanku. Kali ini, aku mengubah haluan. Kuputuskan untuk pulang dengan bus.
Saat masuk, badan bus itu lengang. Hanya ada aku, dua orang wanita lain, juga sopir di dalamnya. Aku mengambil tempat di samping jendela, spot favoritku agar lebih leluasa melihat ke luar.
Air deras tadi sudah berubah menjadi gerimis kecil. Kupandangi dua orang berbeda gender tadi yang mulai bergerak menjauhi toko itu. Kembali, air mata turun dari pelupuk mataku.
I’m jealous of the love
Aku cemburu pada cinta
Love that was in there
Cinta yang dulu ada di sana
Gone for someone else to share
Telah hilang untuk dibagi pada orang lain
Oh, I’m jealous of the love
Oh, aku cemburu pada cinta
Hari ini, dan mungkin hari-hari berikutnya, aku tak akan pernah bertemu dengannya lagi. (*)
Sinjai Selatan, 01 Juli 2020
Putri Rahmayanti, seorang pelajar di Sekolah Menengah Atas. Tinggal di Sinjai, Sulawesi Selatan. Lahir pada tanggal 08 April 2002. Gadis astrophile dan bibliophile.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata