Lelaki dengan Bara Dendam di Hatinya

Lelaki dengan Bara Dendam di Hatinya

Lelaki dengan Bara Dendam di Hatinya

Oleh : Ika Mulyani

 

Kalau bukan karena perut yang perih dan menjerit minta diisi, Ruslan enggan untuk keluar dari kamarnya, walaupun ruangan itu sempit dan pengap.

Sudah empat butir obat pereda sakit ditelannya dalam dua puluh empat jam terakhir. Tetapi, kepalanya masih saja terasa berat, tenggorokannya tetap perih bagai ada duri mengganjal. Demamnya belum juga turun. Meski begitu, tubuh Ruslan menggigil kedinginan seolah berselimut lapisan es. Terik matahari pukul dua belas siang tidak mampu meredakan gigil tubuhnya.

Dengan mengenakan sweter bertudung, pemuda bertubuh sedikit gempal itu melangkah menuju pasar yang jaraknya hanya selemparan batu dari rumah indekosnya. Warung nasi di luar pasar adalah tempat yang dituju oleh lelaki itu.

Sebenarnya, bisa saja Ruslan menyuruh salah seorang bocah penjual asongan yang sering lewat di jalan depan rumahnya untuk membeli sebungkus nasi rames. Masalahnya, tidak ada sepeser uang pun menghuni dompet kumalnya. Uang “iuran keamanan” terakhir yang berhasil ia catut dari para pedagang pasar tiga hari lalu, sudah habis untuk membeli makanan dan obat pereda sakit. Lelaki preman pasar itu harus datang sendiri ke warung nasi, agar bisa meminta makan dengan dalih sebagai pengganti uang “iuran” hari ini.

Pada jam makan siang seperti ini, warung nasi itu selalu ramai oleh pengunjung. Mungkin karena kesibukannya melayani pembeli, si pemilik warung tidak mengenali suara Ruslan yang serak, juga wajahyang hampir separuhnya tertutup tudung. Tanpa banyak protes—seperti biasanya bila Ruslan memesan makanan—si pemilik warung menyodorkan sepiring nasi dan semangkuk sup ayam yang panas mengepul, pesanan laki-laki itu.

Ruslan lalu memilih tempat duduk di sudut dan mulai menyantap menu makan malam, sarapan, sekaligus makan siangnya. Ketika tengah menyuap nasinya sedikit demi sedikit, telinga Ruslan mendengar seseorang menyebut namanya.

“Udah tiga hari jualan rasanya adem, Yuk,” ucap salah seorang pembeli sambil terkekeh. Si pembeli adalah salah satu pedagang di pasar.

“Loh, kenapa?” Si pemilik warung bertanya sambil membungkus nasi rames pesanan si pedagang pasar.

“Si Ruslan katanya sakit. Udah tiga hari enggak keliling malakin duit jualan. Katanya uang keamanan, tapi tetep aja kapan hari ada yang mbobol kios saya. Habis modal saya, Yuk.”

“Oh, pantes berapa hari ini dia enggak datang makan.”

“Biar aja dia sakit terus. Kalo perlu, mati sekalian malah bagus.” Si pedagang pasar berkata sambil tertawa terkekeh-kekeh.

“Hus!”

Wong kerjanya cuma bikin rusuh aja, kok, Yuk.”

“Iya, sih. Kalo makan di sini mana pernah bayar. Tapi, kalo sampai doain mati ….”

Mendengar pembicaraan mereka, panas tubuh Ruslan seolah bertambah-tambah. Selera makannya yang sudah berkurang karena sakit, kini hilang sama sekali.

Marah sekaligus sedih, ia justru mengutuk kedua orangtuanya, yang—menurutnya—jadi penyebab semua kemalangan yang mengakrabi hidupnya selama ini.

Seandainya ia punya pekerjaan tetap, tentu tidak mungkin jadi preman. Seandainya ia memiliki kesempatan untuk bersekolah, tentu bisa mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih layak, alih-alih memalak uang milik para pedagang di pasar ini. Seandainya Bapak dan Ibu tidak bercerai ketika usia anak mereka satu-satunya ini baru sebelas tahun, pasti ia bisa mengenyam pendidikan lebih tinggi dari sekolah dasar, bahkan mungkin bisa sampai tingkat perguruan tinggi. SeandainyaIbu tidak berselingkuh, tidak mungkin Bapak menceraikan perempuan itu. Seandainya wajahnya tidak mirip wajah sang Ibu, tentu Bapak tidak akan membencinya. Seandainya ia tidak pernah dilahirkan, tentu ibunya tidak akan ikut membencinya.

Batin Ruslan terus riuh dengan segala pengandaian, hingga sampai pada pertanyaan yang selalu mengusik pikirannya. Mengapa ia harus dilahirkan ke dunia ini, jika tidak ada seorang pun yang menginginkan kehadirannya?

***

Enam belas tahun yang lalu, Ruslan baru saja menerima rapor kenaikan kelas lima dengan hati berbunga-bunga. Saat itu, ia berhasil meraih peringkat pertama. Nyaris melompat-lompat, Ruslan berlari pulang untuk menagih janji Bapak yang akan membelikan sepeda baru bila ia berhasil meraih nilai terbaik.

Akan tetapi, hanya kecewa yang ia dapatkan kemudian. Di rumah, bocah sebelas tahun itu mendapati kedua orangtuanya tengah bertengkar hebat, dan berakhir dengan diusirnya sang Ibu dari rumah. Bapaknya—tanpa sempat melihat nilai rapor sang anak—juga menyuruh Ruslan pergi bersama ibunya.

Ruslan baru tahu apa penyebab kemurkaan bapaknya ketika tiga bulan kemudian ibunya menikah lagi.

Prestasi Ruslan di sekolah menurun. Sementara sang Ibu sibuk dengan suami barunya, ditambah lagi perempuan itu mulai mengandung.

Ibu Ruslan sempat menyerahkan sang anak kepada mantan suaminya, yang juga sudah menikah lagi. Bapak Ruslan menolak mentah-mentah. Kembali mereka bertengkar hebat.

Berurai air mata, Ruslan diam-diam meninggalkan kedua orangtuanya. Ia terus berjalan tidak tentu arah, tanpa memedulikan samar suara seruan bapak dan ibunya yang baru menyadari bahwa Ruslan tidak lagi ada di dekat mereka.

Sebuah kendaraan pengangkut sayuran  melintas di dekat Ruslan. Tanpa pikir panjang, ia meloncat ke dalam bak mobil tersebut, dan bersembunyi di balik karung-karung berisi kentang, kubis, dan sawi. Kendaraan roda empat itu membawanya ke pasar di kota.

Di tempat itulah Ruslan berada hingga saat ini. Pada awal kedatangannya, bocah itu hidup menggelandang, tidur di emperan kios, dekat tumpukan sampah pasar yang basah dan bau. Mengemis saat lapar, atau terpaksa mencuri bila meminta tidak membuahkan hasil. Menjajakan kantong plastik, juga tenaga sebagai kuli angkut menjadi pekerjaan sehari-hari Ruslan.

Perkenalannya dengan seseorang, membawa Ruslan pada dunia kelam penuh kekerasan di lingkungan pasar. Perlahan tapi pasti, ia lantas bertransformasi menjadi preman yang ditakuti sekaligus dibenci oleh para pedagang.

***

Nafsu makan Ruslan hilang sudah. Ia bangkit dari duduknya dengan suara berisik. Lelaki itu dengan sengaja membuka tudung kepalanya saat melewati si pemilik warung nasi yang masih saja asyik bergosip dengan si pedagang pasar. Keduanya tersentak dengan wajah pucat pasi dan langsung menghentikan obrolan mereka.

Ruslan tidak memedulikan sapaan gugup si pemilik warung dan segera berlalu dari tempat itu dengan langkah tergesa. Hampir saja ia menabrak seseorang yang berjalan keluar dari gerbang pasar.

“Woy! Lihat-lihat kalo jalan!” bentak Ruslan dengan mata mendelik, padahal justru matanya yang meleng.

Alih-alih takut atau tersinggung, lelaki yang ditabraknya malah tersenyum. Senyum itu membuat emosi si preman makin tersulut. Ia mengepalkan tinju dan bersiap untuk melayangkannya.

Rupanya orang itu bukan orang sembarangan. Ia menangkap lengan Ruslan dengan sigap. “Tenang, Bung.”

Tatapan tajam penuh wibawa dari laki-laki itu membuat emosi Ruslan surut. Ia menurut dan mengendurkan kepalan tangannya.

Seraya menepuk bahu Ruslan dan kembali tersenyum, lelaki itu lalu  menarik si preman menjauh dari areal pasar. Dengan suara rendah, nyaris berbisik, ia lantas menawarkan sebuah pekerjaan yang sungguh menarik bagi seseorang yang hatinya tengah diliputi rasa marah, sedih, dan kecewa seperti Ruslan.

***

Malam telah larut. Ruslan yang tidak bisa tidur mulai bersiap. Jam dinding di pos ronda di muka gang sempit tempat tinggalnya, menunjukkan tepat tengah malam. Pos itu kosong seperti biasa. Daftar ronda yang tertempel di bawah jam dinding seolah hanya hiasan. Tidak pernah ada warga yang menjalankannya.

Angin malam membuat bau bensin yang menguar dari dua dirigen dalam genggaman tangan Ruslan tercium dari jarak yang cukup jauh. Beruntung tidak ada seorang pun yang berpapasan dengan laki-laki itu.

Sebatang rokok yang belum menyala terselip di bibir Ruslan. Pemantik api baru ada di dalam saku celananya. Ia kembali mengenakan sweter bertudung yang dipakainya tadi siang. Selembar sarung lusuh yang tersampir di bahu dan lampu senter di tangan kiri, membuatnya terlihat seperti petugas ronda malam.

Dengan langkah mantap, Ruslan memasuki bangunan pasar yang gelap. Ia mulai menyalakan lampu senternya. Seketika, tikus-tikus got berukuran sebesar anak kucing yang tengah berpesta di atas tumpukan sampah di sudut, terkejut dan berlarian ke segala arah. Ruslan tersenyum getir, saat teringat bahwa binatang pengerat itu pernah menjadi teman tidurnya belasan tahun lalu.

Ruslan menyorotkan cahaya lampu senternya pada deretan kios yang kosong dan terlihat menyedihkan. Hampir semua kios terbuat dari kayu yang sebagian besar sudah mulai lapuk.

Pekerjaan yang akan dilakukannya saat ini bisa menuntaskan dendam Ruslan pada si pedagang yang mendoakan kematiannya tadi siang. Lelaki itu yakin, tidak hanya si pedagang itu yang menginginkan ia kehilangan nyawa.

Pekerjaan ini sekaligus juga membangkitkan ego di dalam diri Ruslan, bahwa masih ada yang membutuhkan kehadirannya di dunia ini. Apalagi orang yang menyuruhnya tadi memaparkan alasan penting dari apa yang akan Ruslan lakukan: membantu terlaksananya program pemerintah daerah dalam membenahi pasar tradisional. Seketika Ruslan merasa dirinya menjadi pahlawan bangsa.

Ruslan sudah mendengar kabar tentang rencana ini lama sekali. Pembangunan pasar baru tidak juga terealisasi karena semua pedagang di sini menolak dengan berbagai alasan. Tugas Ruslan malam ini adalah memuluskan jalan berdirinya pasar baru tersebut.

Beberapa kios tampak tertutup oleh kain terpal. Pandangan Ruslan tertumbuk pada kios milik si pedagang yang dijumpainya di warung nasi tadi siang. Bibir Ruslan menyunggingkan senyum dan ia melangkahkan kaki ke sudut tempat kios itu berdiri.

Di sana, ia membuka tutup salah satu dirigen yang dibawanya, dan menumpahkan sebagian cairan bahan bakar itu di salah satu sudut kios. Sebagian yang lain ia siramkan ke hampir semua kios yang ada.

Bau bensin yang tajam membuat kepala Ruslan berputar dan ia merasa mual. Lelaki itu baru ingat, perutnya hampir tidak terisi makanan dari pagi tadi, bahkan sejak malam sebelumnya. Ia hanya sempat menyuap sedikit sekali nasi tadi siang.

Pemuda bertato kalajengking di lengan kirinya itu, jatuh terduduk pada kursi kayu reyot, di depan kios toko kelontong yang pintunya digembok. Teringat harus segera menjalankan tugasnya sebelum pedagang sayuran dan ikan mulai berdatangan, Ruslan menyalakan rokok yang sedari tadi terselip di bibir tebalnya yang menghitam.

Selepas tiga kali isapan, Ruslan melemparkan rokok yang menyala itu ke atas lantai yang basah oleh bensin, tidak jauh dari kakinya. Setelah itu, ia kembali menyalakan pemantik api, dan membakar bungkus rokok di saku celananya. Masih ada dua batang rokok di dalamnya, tetapi Ruslan tidak peduli. Besok, dengan upah yang akan diperolehnya, ia bisa membeli satu slof sekaligus, bahkan lebih.

Ruslan lantas melemparkan bungkus rokok yang sudah terbakar itu sekuat tenaga, lurus ke depan. Dalam hitungan detik, uap bensin membuat nyala api makin membesar, lalu merambat ke semua bagian bangunan yang tersiram bahan bakar.

Ruslan terkekeh melihat lidah api berpesta menjilat semua benda yang mudah terbakar. Udara yang kering di musim kemarau ini, menjadi sekutu bagi si jago merah dalam melebarkan jangkauannya.

Seharusnya, Ruslan segera meninggalkan tempat itu. Namun, tubuhnya tiba-tiba lemas tidak bertenaga. Kepalanya kembali terasa berputar. Asap mulai membuat dadanya sesak.

Ruslan baru menyadari, ia mengambil tempat duduk terlalu jauh dari ketiga pintu masuk pasar. Susah payah, laki-laki bewokan itu mencoba bangkit dari duduknya. Berhasil, ia berdiri sambil berpegangan pada tiang kayu terdekat, dan seperti orang mabuk, mulai melangkah sempoyongan.

Seekor tikus berlari menabrak kaki Ruslan, membuat ia terkejut dan jatuh terjerembap. Sepotong kayu yang ujungnya terbakar, jatuh menimpa kepala laki-laki malang itu. Ia mengaduh dengan suara parau.

Samar-samar Ruslan mendengar teriakan seseorang. Entah siapa yang sudah ada di pasar sedini ini. Namun, ia tidak kuasa untuk menyahut. Lelaki itu tidak lagi memiliki tenaga, bahkan untuk sekadar merintih.

Pandangan Ruslan mengabur. Nyala api yang mulai merambat ke tempatnya tertelungkup, jadi pemandangan terakhir yang bisa ditangkap oleh matanya yang basah. Tiba-tiba ia teringat, hari ini, usianya tepat dua puluh tujuh tahun. Menutup mata, ia pasrah menyambut jilatan lidah si jago merah yang jemawa.(*)

Ciawi, 1 Mei 2021

Ika Mulyani, emak dua anak, yang sedang belajar membaca “secara dekat” agar bisa menulis lebih baik.

Editor : Rinanda Tesniana

Sumber gambar : Pinterest

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

 

Leave a Reply