Lelaki Berasap
Oleh: Fitri Fatimah
Aku tahu rokok adalah candu baginya. Seperti bayi pada empeng, tak terpisahkan, tak bisa lepas. Sudah sering aku melihat dia mengunggah foto di Facebook dengan sebatang rokok terselip di jari tengah dan manisnya, asap mengepul dari celah bibirnya yang hitam. Sehingga kemudian, ketika untuk pertama kalinya aku sampai di gerbang rumah laki-laki itu, aku tidak lagi terkejut mendapatinya tengah duduk di beranda, dengan asap dari mulutnya yang membumbung ke mana-mana, nyaris seperti ada orang membakar dupa. Hanya bedanya, harum dupa menguarkan aroma manis, yang meski kadang kelewat manis sampai nyaris memuakkan, sementara asap rokok itu berbau seperti kenalpot, membuatku tercekik, membuatku belum-belum sudah merasa ngeri.
Aku masih berdiri di balik gerbang, tak mengucap salam atau membuat suara apa pun untuk mengisyaratkan kedatanganku. Aku malah terpaku di sana, melihatinya yang tampak begitu khidmat dengan rokok. Rambut gondrongnya yang biasa kulihat—lagi-lagi masih dari FB—terurai, kali ini dikuncir rapi. Ada secangkir kopi di meja yang turut menemani. Dan entah tengah melamunkan apa, tatapannya jauh menerawang langit.
Aneh, kadang aku berpikir, bahwa kamu bisa lebih merasa dekat dengan orang asing yang baru kamu kenal seminggu, ketimbang dengan teman sekelas yang nyaris kamu temui setiap hari. Baru seminggu lalu dia menyapa “hai” di inbox, yang lalu juga kubalas, “Hai.” Lalu balasan demi balasan dan tiba-tiba kami sudah seolah karib. Dia tahu aku suka baca. Dia juga suka baca. Dia tahu aku sedang mengincar buku antologi puisi A, masih kutabung uang untuk membelinya. Dan—yang bikin aku iri setengah mati—ternyata dia sudah punya buku ini sejak setahun yang lalu, sejak baru terbit, lengkap dengan tanda tangan penulisnya, dia membalas dengan diakhiri emoji berkacamata, pongah benar. Huh! Mau pinjam? Tiba-tiba tawarnya. Oh ya Tuhan, aku memang lemah kalau sudah soal buku. Dan akhirnya sekarang di sinilah aku, di balik gerbang rumahnya.
Mungkin merasa sedang diperhatikan, tiba-tiba dia menoleh ke arah aku berdiri. Aku gelagapan sebab merasa seolah tertangkap basah tengah curi pandang.
Dia bergegas membuka gerbang. Membuatku secara spontan mengambil beberapa langkah mundur. Dengan nada menyesal dia minta maaf karena tidak segera menyadari kehadiranku. Aku menggeleng, “Bukan salahmu, kok.”
Dia menaikkan alis heran, sebab alih-alih masuk setelah dipersilakan, aku malah semakin mundur. Dari jarak yang kurasa aman, aku berkata, “Saya enggak bisa deket-deket sama asap rokok. Saya punya riwayat asma.”
Dia tampak agak terkejut. Tapi lalu yang tak kusangka, dia melempar batang rokok yang masih tinggal separuh itu ke tanah, dan menginjaknya sampai remuk. Dengan senyum kalem dia meminta maaf lagi, membuatku makin tak enak. “Mestinya enggak usah gitu. Enggak apa-apa, kok, kalau memang masih mau ngerokok. Saya nunggu di sini aja”
“Terus kalau mau ngobrol gimana? Masak mesti saling teriak dari sini ke sana? Kamu lucu deh. Udah ayo masuk, bukunya saya ambil sebentar.”
Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Benar juga.
Dengan ragu aku melangkah mengikutinya. Masih ada sisa bau asap rokok ketika aku duduk di seberang kursi tempatnya tadi. Aku menutup hidung dengan tangan, menjaga saluran pernapasanku supaya tidak mendadak berulah.
Ketika dia akhirnya datang dari balik pintu, aku mengernyit heran menyadari bahwa baju yang dipakainya tadi kini telah diganti.
“Baju saya yang itu apek asap,” jelasnya tanpa kuminta.
Aku tidak bisa menahan senyum mendapati dia yang ternyata begitu pengertian.
Dia menjulurkan buku antologi puisi yang sudah kuangankan selama ini. Aku menerimanya dengan tatapan, mungkin sama seperti tatapan Ibu kalau ke pasar dan lihat tulisan diskon 50%. Ya Tuhan ….
Aku berulang-ulang bilang terima kasih. Dia tergelak melihat aku yang bolak-balik memandangi sampulnya dengan kagum. Beberapa menit setelahnya lalu kami ngobrol, lumayan seru, sangat seru sebenarnya, lebih seru dari ketika di inbox. Anehnya, aku lagi-lagi berpikir, bahwa sama sekali tak ada canggung, bahkan meski ini bersitatap secara nyata kami yang pertama. Kami mengobrolkan soal puisi, soal buku, soal komunitas sanggarnya, dan lain-lain. Mungkin saking terhanyutnya aku sampai sudah lupa untuk menutup hidung. Kabar baiknya, ternyata aku baik-baik saja, tak ada sesak napas melanda.
Aku tertawa, dia tertawa. Dia menatapku lekat, aku … salah tingkah? Hei, kenapa menatapku seperti itu?
“Tahu tidak,” dia tiba-tiba berkata dengan nada serius, “saya lebih rela tengah malam kelaparan tidak menemukan nasi daripada mulut kecut kehabisan rokok. Tapi dibanding kehabisan rokok, saya lebih takut kehilangan kamu. Jangankan sejam-dua jam, sepanjang hidup, asalkan ada kamu, saya kuat menanggung tak merokok sama sekali.”
Jantung yang bertalu, dan sesak yang sama sekali tak ada hubungannya dengan asma, tiba-tiba memenuhi rongga dadaku. (*)
Fitri Fatimah, suka membaca. Menulis adalah kegiatan yang baginya wajib dibarengi kopi.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata