Lelah Gelisah
Oleh : Nur Khotimah
Ia ingin menukar nasib, tapi dengan apa? Dengan siapa? Apakah takdir Tuhan bisa ditawar? Bahkan guru mengajinya pun mengajarinya untuk percaya qadla’ dan qadar, semua sudah ada garisnya masing-masing, katanya.
Marni berkali-kali menatap dagangannya di meja. Masih banyak, dari kira-kira lima belas porsi nasi uduk yang dibuatnya, baru laku empat porsi. Sedangkan matahari sudah semakin meninggi, sebentar lagi sudah lewat waktunya orang mencari sarapan.
Marni menarik napas, kemudian mengembuskannya kasar. Tangan kurusnya mengambil lap kain yang tergeletak di ujung meja, lantas mengibaskannya guna mengusir satu-dua lalat yang hendak hinggap di atas dagangannya. Dalam hati ia berdoa, semoga segera datang keajaiban, semisal ada tetangga yang memborong semua dagangannya atau datang seorang miliarder yang memberinya segepok uang seperti yang sering ia lihat di televisi. Sayangnya, khayalan cuma khayalan, sedari tadi hanya sepi yang menemaninya.
Sementara di ujung teras sebelah sana, Joko duduk termenung. Anak sulung Marni itu sudah berseragam rapi. Merah putih, lengkap dengan topi, dasi, kaos kaki putih, juga sepatu hitam buluk yang sepertinya terlalu besar untuk ukuran kakinya. Sepatu yang berukuran dua nomor lebih besar dari kaki Joko itu pemberian dari tetangganya setahun lalu. Memang bukan baru, tetapi lumayan bisa dipakai sebagai pengganti sepatu lamanya yang jebol. Penghasilan Marni yang pas-pasan hanya cukup untuk kebutuhan perut ketiga anaknya. Jangan ditanya ke mana suaminya. Lelaki berengsek itu pergi bersama seorang pelacur gang sebelah saat Marni sedang hamil anak ketiga.
Lagi-lagi Marni menarik napas. Pandangannya kini beralih pada Joko. “Sana, ke rumah Davin, minta tolong ke ibunya buat dipotoin buat absen, gitu!” serunya. Sedangkan yang diajak bicara hanya menengok sebentar kemudian tatapannya kembali menerawang ke depan.
“Korona kapan ilangnya, sih, Bu?” tanyanya, tanpa menoleh.
“Nggak tau! Udah buruan pergi, keburu siang!” jawab Marni tanpa bangkit dari tempat duduknya.
“Aku ketinggalan banyak pelajaran, Bu. Ibu kapan beli hape yang bisa buat online?” tanya Joko dengan lemah. Mungkin karena sebenarnya ia pun sudah tahu jawabannya. “Kalau di sekolah, aku nggak takut bersaing dengan teman-teman, Bu, tapi kalau kayak gini ….”
Seperti ada yang menusuk jantung kala Marni mendengar ucapan anaknya barusan. Matanya pun kini terasa panas dan berembun. Memang benar, Joko termasuk anak yang pandai. Dari kelas satu hingga kelas empat selalu masuk tiga besar. Namun sekarang, setelah diberlakukannya sistem belajar daring, ia tertinggal sangat jauh dari teman-temannya. Bahkan untuk sekedar mengisi absensi pun ia kesulitan. Jangankan ponsel android, ponsel ala kadarnya yang dulu sempat dipunya pun sudah berpindah tangan, ditukar dengan beberapa liter beras.
“Sudah, jangan mengeluh terus. Sana! Ke Davin!” gertaknya.
Joko bangkit, kemudian berjalan gontai meninggalkan halaman diiringi tatapan Marni yang semakin kabur karena tertutup genangan air mata.
Buat Marni, sesuatu yang bernama korona itu sama seperti suaminya. Sama-sama bangsat, sama-sama berengsek yang hanya membuat kehidupan Marni dan anak-anaknya semakin terpuruk.
Sebelum mengenal Karmin, suaminya, Marni hidup berkecukupan meskipun bukan berasal dari orang kaya. Ada ayah-ibu yang selalu memenuhi kebutuhannya. Tapi hidupnya jungkir-balik setelah berkenalan dengan Karmin, berpacaran, kemudian hamil di luar nikah. Orang tua Marni tak mau menerima Karmin, hingga akhirnya pemuda itu memutuskan untuk kawin lari dan membawa Marni kabur ke ibukota. Namun berengsek tetaplah berengsek, meski sudah berstatus suami, perangai Karmin tak pernah berubah. Judi, mabuk-mabukan, dan main perempuan seakan sudah menjadi hobi. Marni hanya kenyang dihamili, karena untuk sesuap nasi pun ia harus mencari sendiri.
Mungkin tak sampai hitungan seribu, Joko sudah kembali duduk di teras. Badannya menyender ke tembok. Lesu. Bukan karena belum sarapan—tadi pagi Marni sudah memberinya sepiring uduk hangat—melainkan karena tujuannya ke rumah Davin, temannya, tak terlaksana. Ibu Davin menolak permintaannya dengan alasan kuota internetnya sudah habis. “Isiin dulu kalau mau,” katanya. Joko ingin memberi tahu ibunya, tetapi tak tega saat melihat dagangan ibunya belum berkurang sedikit pun dari saat ia pergi.
“Sudah?”
“Sudah.”
“Ya sudah, sana ganti baju. Temenin adik-adikmu di dalem!”
Joko melangkah dengan bimbang ke dalam rumah. Dalam hati ia bertanya, “Apa aku harus bohong terus sampe korona pergi?” (*)
Cikarang, 4 Agustus 2020
Nur Khotimah, ibu rumah tangga pejuang rupiah yang jatuh cinta pada dunia literasi. Untuk lebih mengenalnya bisa add FB Nur Khotimah.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata