Lebam di Langit Praha

Lebam di Langit Praha

Lebam di Langit Praha

Oleh : Lintang Ayu

 

Ludvic bangun dari duduknya lalu melangkah menyusuri kembali ingatan mengikuti jalan setapak menuju Gedung Jam Astronomi yang tak lain merupakan pusat destinasi utama Kota Tua. Sebentar lagi tiba melesapkan waktu, biasanya banyak pelancong yang menunggu momen dua jendela kecil di atas jam itu terbuka, memunculkan patung-patung orang suci yang bergerak-gerak serta manusia tengkorak, bertepatan dengan denting lonceng jam. Pada detik-detik peralihan jam itulah Gedung Jam Astronomi Praha atau yang lebih dikenal dengan sebutan Progue Orloj ramai oleh pengunjung yang datang untuk sekadar memanjakan mata. Pada kesempatan itulah, Ludvic biasa melakukan aksinya untuk mencuri. Namun, cuaca dingin malam ini mempermainkan keteguhan hati Ludvic. Ia sangsi, apakah masih ada pengunjung di sana.

Laki-laki berperawakan kurus itu berjalan dengan tubuh sedikit membungkuk seraya memegangi perut yang dibiarkan lebam seharian akibat sebuah pukulan keras yang dilayangkan oleh Matheo. Rasa lapar yang mengolok-olok indra penciumannya menyempurnakan kemalangannya malam ini. 

Baru saja ia merampas tas milik seorang nenek yang baru saja melintas dan belum sempat menikmatinya, Matheo sudah datang dan mengambil paksa hasil rampasannya. Ia belum makan seharian ini, membuatnya mempertahankan apa yang ia anggap miliknya. Namun, tubuhnya yang kurus itu tidak mampu melawan Matheo yang berbadan lebih tinggi dan besar. Sekali pukul, Ludvic limbung. Ia tidak mempunyai tenaga untuk melawannya. Ludvic mengalah daripada harus menjadi bulan-bulanan Matheopreman jalanan tersohor di area Balai Kota Tua. 

Jalanan tampak sepi dari biasanya, cuaca dingin telah datang diembus musim yang diutus dari selatan. Orang-orang lebih memilih bergelung dengan mimpi-mimpinya, atau bercengkerama seperti sepasang kenari di dahan-dahan rimbun, melipat waktu demi waktu penuh canda tawa, riuh memecah sunyi. Ludvic pernah merasakan itu, sebelum tindakan bodohnya justru membuatnya masuk ke dalam ruang hampa hingga sekarang. Ia tersesat, bahkan di negerinya sendiri. 

Sesaat, Ludvic memejam seraya memegang perutnya yang masih terasa nyeri. Rasa nyeri menjalar sampai ke ulu hati bahkan mencengkeram seluruh badan, saat bayangan Sulastri tengah tersenyum seraya menggendong bayi mungilyang memiliki hidung mirip dengannyaterlintas di benaknya. Kesakitan berdesak-desakan memukul kenangan-kenangan belasan tahun silam. Ketika ia masih berada di belahan bumi yang lain, bersama Sulastriistrinya. 

Ruang sepi dan sunyi adalah tempat paling tepat untuk ia merayakan kepedihan bersama linangan air mata. Namun, di hari yang entah keberapa, ia hanya bisa termenung. Ludvic tidak bisa lagi menangis, ia kehilangan air matanya yang telah dirampas ketidakadilan. Meskipun sangat ingin menangis, ia hanya tersenyum saja, bahkan ketika siut angin merajam mukanya ia begitu bahagia. Namun, pada keheningan malam ini ia ingin menyenandungkan duka lewat isakan yang akan dibawa oleh angin dan mengirimkannya kepada orang terkasih. Ia juga ingin menenggelamkan rindu lewat genangan air mata. Namun, Ludvic hanya bisa diam. Menikmati kesedihan yang menggerogoti tubuhnya hingga habis. 

Ludvic mempercepat langkah, seakan-akan berlomba-lomba dengan waktu untuk secepatnya sampai ke tujuan. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti. Lamat-lamat suara isakan terdengar lalu menghilang. Ludvic menajamkan pendengarannya. Kakinya melangkah mengikuti asal suara. Dilihatnya, seorang wanita tengah duduk seraya memeluk lutut berada di tepi jalan. Gadis berambut hitam legam itu menyembunyikan tangis di antara lututnya. 

Senyum Ludvic tersungging, saat mendapati sebuah koper berukuran besar berdiri di samping pemiliknya. Sepertinya, ia tidak perlu jauh-jauh pergi ke pusat kota. Tidak ingin kehilangan kesempatan, Ludvic menghampiri gadis itu. 

“Mengapa kamu menangis?” tanya Ludvic berbasa-basi.

Sarah mendongak. Pandangan mereka beradu. Ludvic sesaat terhipnotis oleh tatapan sendu gadis di hadapannya. Tatapan mata yang ia rindui. Namun, teriakan-teriakan di dalam perut yang meminta untuk segera diisi memaksanya mengabaikan tatapan gadis itu. 

“Sedang apa di sini?” tanya Ludvic lagi. 

Ia berusaha mencari simpati, berperan layaknya malaikat penolong yang membawa kepak membius pada sayap-sayapnya, berusaha memperdayai Sarah agar mau mengikutinya dengan sukarela. Namun, sepertinya gadis di hadapannya tidak mengerti ucapannya. Ia bingung bagaimana berbicara agar orang di hadapannya paham ucapannya. Dia hanya bisa berbahasa Ceska dan sedikit bahasa Indonesia. Sedangkan jika melihat dari paras Sarah, terlihat seperti wanita-wanita Ceko pada umumnya, hanya warna bola mata dan rambutnya saja yang berbeda. 

“Kamu bisa mati kedinginan jika masih tetap di sini. Ayo, ikut saya,” ucap Ludvic. 

Gadis berambut hitam panjang itu tetap bergeming. Tatapan matanya masih tertuju pada laki-laki di hadapannya. Dari sorot matanya, Sarah seakan-akan sedang memastikan sesuatu hal yang tak pernah ia simpan dalam kepalanya. 

“Ayo!” 

Seperti terhipnotis, Sarah mengikuti Ludvic, berjalan satu langkah di belakang laki-laki berusia 50 tahun itu. Air muka Ludvic tampak semringah. Di dalam hatinya, ia bersorak. Tidak percuma dia mengikhlaskan tas milik nenek-nenek itu kepada Matheo, karena kali ini, ia mendapatkan ganti yang lebih besar. Tidak hanya itu, gadis itu juga bisa menghangatkan tubuhnya malam ini. 

Sarah merasa malam ini terselamatkan. Namun, ia tidak tahu, bahwa bahaya telah mengintainya sedari tadi. Mereka memasuki kawasan perumahan kumuh di belakang apartemen-apartemen yang menghalangi langit-langit. Ludvic berhenti di depan rumah kosong yang biasa Ludvic singgahi. Mereka segera memasuki rumah, dengan segera Ludvic mengunci pintu dan menyimpan anak kunci di saku celananya. 

Sarah mematung saat melihat penampakan isi rumah. Tidak ada meja kursi atau perabotan rumah tangga yang mampu memanjakan matanya. Hanya beberapa kardus bekas yang tergeletak berserakan di lantai yang kotor. Ia baru merasakan ada alarm bahaya. Sarah berbalik, hendak pergi dari rumah itu, tetapi Ludvic lebih dulu menghalanginya dengan seluruh hasrat yang memenuhi kepalanya.

“Mau ke mana? Kamu beristirahatlah di sini. Di luar udara sangat dingin. Mari kita sama-sama menghangatkan malam dengan pergulatan yang manis dan panjang,” ucap Ludvic. Napasnya memburu, seperti anak panah yang siap dilesatkan ke mana saja.

Wajah gadis itu memucat seketika saat wajah Ludvic memamerkan seringai iblis yang sedang bergairah.

“Jangan! Saya mohon izinkan saya pergi dari sini,” pintanya. 

Ludvic terkesiap mendengar gadis itu berbicara menggunakan bahasa Indonesiaseperti Lastri. Namun, hanya sesaat. Hasratnya sudah tak kuat ingin segera dituntaskan. Ia semakin mendekati gadis yang terlihat sangat ketakutan. Ludvic berhasil meraih jaket biru gadis itu, lalu berusaha melepaskannya. Namun, karena mendapatkan perlawanan, Ludvic tidak berhasil membukanya. Ludvic geram, ia pun menampar Sarah, hingga sudut bibirnya mengeluarkan darah. 

Sarah memohon seraya menangis ketakutan. Ludvic tetap tidak peduli, setelah berhasil mencekal pergelangan tangan Sarah lalu membawanya ke dalam pelukan. Ludvic berhasil mengunci gadis itu, ia pun lebih leluasa memulai aksinya. Cekalan erat di tangannya membuat gadis itu tidak bisa melawan. Ia memberontak, tetapi Ludvic berhasil mendaratkan pukulannya di tengkuk Sarah hingga ia merasakan kepalanya sedikit berputar-putar. Sarah limbung, tetapi kesadarannya masih terjaga hingga ia bisa melihat Ludvic melepaskan celananya. Meskipun udara sangat dingin, laki-laki itu tampak tidak merasakan kedinginan sedikit pun, bara mengunggun dari kedua matanya.

Gadis itu tampak pasrah saat Ludvic melucuti pakaiannya satu per satu. Ia tidak bisa lagi mencegah laki-laki di atasnya. Ia hanya menggumam memanggil ibunya. Untuk sesaat Ludvic menghentikan aksinya saat mendengar gadis dalam kekangannya memanggil ibu. Ada perasaan lain, yang dia pun tidak tahu apa. Namun, itu hanya sesaat, ia kembali melanjutkan aksinya, hingga gadis yang kini berada di bawahnya menjerit kesakitan karena hujamannya. 

Setelah puas menikmati tubuh Sarah, Ludvic memakai kembali pakaiannya. Lalu mengambil tas milik gadis itu. Sarah hanya diam, ia tampak tengah merutuki keadaannya yang mengenaskan. Ludvic pergi, kini, giliran meredakan suara-suara perutnya.

Ludvic menyusuri gang sempit, lalu menuju jalan utama. Di sepanjang jalan itu berjejer-jejer kedai yang menyediakan bir-bir dan makanan khas Ceko. Ludvic memilih kedai yang tampak sepi di antara kedai-kedai lainnya. Ia tidak ingin mendengar ceracauan para peminum lainnya, ia butuh ketenangan.

Ludvic duduk di kursi kayu berhadapan dengan dapur dan memesan satu botol bir serta Kulajda. Dengan leluasa, ia melihat kakek pemilik kedai membuatkan makanan untuknya. Tangannya lincah membuat sup krim yang terbuat dari kentang dengan tambahan telur, jamur, dan bahan lainnya sebagai isian.

Selagi menunggu pesanannya matang, Ludvic meminum bir, lalu menggeledah isi tas Sarah. Dompet abu-abu, peralatan make up, tissue, book note, ponsel, serta tas kecil berisi dokumen-dokumen. Saat Ludvic hendak mengambil dompet, ia melihat secarik kertas berwarna merah jambu. Ludvic penasaran, ia pun mengambil kertas itu lalu membukanya. 

Tubuhnya mematung setelah melihat isi tulisan di atas kertas itu.

Aku dan kepulangan

 

Sembunyikan resah di matamu

rangkailah tabah

Ini hanya perkara jarak

jangan terisak

 

Sabarlah selalu

jalanan itu masih milikmu

bukan kepergian rindu 

hentikan gerimis di wajahmu

 

Redakan airmatamu

tunggu dalam doa doa

paling rahasia

sambut kepulanganku

 

Besok aku pulang

dengan masa depan

yang tergenggam

untukmu, Sayang

 

Yang menyayangimu :

Ludvic Aharon.

Ludvic belum percaya dengan apa yang ia lihat, ia segera mencari tas kecil berisi dokumen-dokumen. Dengan gerakan cepat ia membuka satu per satu isinya, hingga sebuah foto terjatuh di atas meja. Ludvic mengambilnya, tangisnya tertahan. Mendung semakin bergelayut tak karuan di ujung kelopak mata Ludvic saat menatap gambar di hadapannya, ia tengah tersenyum seraya memeluk Sulastri yang sedang menggendong bayi. Dunia Ludvic runtuh seketika. 

“Sarah Aharon.”

Penyesalan datang bertubi-tubi menertawakan kebodohannya. Jika saja dulu dia menuruti ucapan Sulastri untuk tidak percaya ucapan mantan istrinya, ia tidak akan dipenjara karena fitnah keji yang dilayangkan padanya, dan berakhir dengan keadaan mengenaskan karena semua harta benda telah dirampas oleh sahabat dan mantan istrinya. 

Ludvic menatap langit, yang lebam oleh pukulan takdir yang tidak berpihak padanya. (*)

 

Lintang Ayu, penulis Anak Jadah yang sangat menyukai fiksimini.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply