Lea
Oleh: Uzwah Anna
Angin riuh. Kelelawar berterbangan. Seluruhnya menghitam sebab gelap. Berkali-kali Dion tersandung dan hampir celaka sebab tak sengaja tubuhnya mendorong yang lain. Jika tak berhati-hati, bisa saja salah satu atau keseluruhan dari mereka terjatuh ke dalam jurang.
“Aku mencium aroma ….” Sarah meletakkan telunjuk di bibir. Meminta ketiga temannya diam sejenak.
“Apaan, sih? Udah deh, jangan bikin suasana makin tegang gara-gara kelakuanmu absurd-mu,” sergah Dion.
“Kalian bisa diem nggak?” ucap Lea kesal, “kita lagi darurat. Fokus ama tujuan. Jangan mikir aneh-aneh.”
“Tapi ….” Sarah tercekat. Sebab Lea menodongkan telunjuk dan melotot. Membuat Sarah tutup mulut seketika.
“Bisa kita lanjutkan?” tanya Ryo, malas.
Ketiganya mengangguk.
Ryo masih berada di depan, memimpin. Lea, Sarah, dan Dion mengekor.
Malam makin pekat. Langit mendung, sehingga cahaya tak mampu menembus celah rimbun dedaunan dalam belantara hutan. Semilir angin berembus menggoyang pucuk pepohonan. Menambah kengerian.
Cahaya senter yang jangkauannya terbatas, menangkap adanya rumah kosong, yang tak jauh dari titik mereka berada.
“Kita istirahat di sana aja,” ajak Ryo seraya menunjuk bangunan usang itu.
Sarah merentangkan tangan kanannya. Menghalangi tiga lainnya bergerak maju. “Aku mencium anyir darah.”
“Sarah, cukup! Hentikan semua kegilaan di otakmu!” lirih Dion penuh penekanan.
“Aku serius!”
“Kau kira aku main-main, eh? Jadi manusia yang sewajarnya ajalah. Makanya makan nasi, bukan kemenyan.”
Bersendakap, bergidik sebab dingin, Lea menggeleng-gelengkan kepala. Muak dengan tontonan menggelikan itu. Ryo mengarahkan senter ke wajah dua orang yang sedang berdebat. Membuat Dion dan Sarah memalangkan lengan, menghalau cahaya. Silau!
“Udah?” tanya Ryo geram, “Sarah kalau kau nggak mau masuk, tunggu saja di sini sampai besok pagi.”
Sarah tak punya pilihan. Akhirnya dia mengikuti ketiganya. Mereka berempat memasuki rumah yang lumayan … angker!
Baru sampai teras, Sarah menghentikan langkah, “Yakin mau masuk? Aku merasa ada sesuatu yang janggal di dalam sana.”
“Sebagai calon paranormal, kenapa tak kau usir saja itu hantu? Takut, eh? Dasar amartiran!” ucap Dion, kesal.
“Aku serius. Kal ….”
Belum selesai Sarah dengan ucapannya, Lea menyela, “ Hust … Stop! Kalian udah kayak bocah aja sih! Ribut mulu!”
“Tapi ….”
“Setop! Nggak ada tapi-tapian.”
Selang beberapa saat mereka baru sadar bahwa Ryo menghilang. Ketiganya kelimpungan.
“Aku cari Ryo. Kalian di sini aja.” Dion bersiap melangkah.
“Jangan!” sergah Lea, “kalau kau pergi, kami cuma tinggal berdua. Mana cewek-cewek lagi. Kalau ada apa-apa gimana?”
Benar juga. Bukannya meremehkan, tapi sesuai kodratnya, fisik beberapa perempuan memang lebih lemah daripada lelaki. Tentu, sangat rawan meninggalkan mereka begitu saja tanpa senjata apa pun. Dion menurut. Dia mengurungkan niat mencari Ryo.
“Loh, Sarah mana?” tanya Dion setelah beberapa saat kemudian. Teman debatnya menghilang begitu saja.
Lea mengendikkan bahu, “Nggak tau.”
Mungkin saja Sarah masuk ke dalam rumah. Dion berniat menyusulnya, tapi ketika membuka pintu usang itu, tubuhnya langsung terjatuh sebab ditabrak oleh segerombolan kelelawar. Saat menoleh ke belakang, Lea turut melenyap.
***
Esok paginya, Dion ditemukan telah tewas mengenaskan. Bola mata dicongkel. Sepasang telinga diiris. Beberapa organ dalam menghilang. Warga yang bermukim di pinggir hutan menduga ini merupakan kasus pembunuhan berantai. Sebab, beberapa hari yang lalu juga ditemukan mayat dengan kondisi serupa.
***
“Kenapa kau cepat sekali berlalu, bukankah rencana kita menunggu sampai pagi, eh?” Sarah memojokkan saudara sulungnya, Ryo. Perempuan bawel itu sedang menikmati sup bola mata dan telinga. Sesekali makannya terhenti sebab serat daging terselip di antara sela-sela giginya.
“Bukankah lebih cepat lebih baik? What’s problem?” Ryo menjawab tak acuh. Dia berdiri setelah merasa pisau yang sedari tadi diasah cukup tajam.
“Menghilang begitu saja, itu bukan gayamu.”
“Aku malas. Dion terlalu banyak omong. Ocehan Sepupumu itu membuatku pusing,” terang Ryo. Dia membolak-balik segumpal jantung di atas panggangan, hasil perburuan, “lagi pula apa semalam kau tak merasa terlalu boros kata-kata, eh?”
Sarah meletakkan sup di atas meja.
“Itu namanya akting, Bung!” dia kembali duduk di kursi miliknya setelah menambahkan merica bubuk dan sejumput penyedap, lantas menancapkan ujung garpu pada bola mata yang mengambang di sup: matanya Doni.
Asap menggepul di atas mangkuk.
Menuip beberapa kali, lalu menyesap kuah sup, iris kecoklatan Sarah tertuju pada seorang gadis yang sedari tadi terus saja mencacah hati segar. Berisik! Entah akan dimasak apa hasil perburuannya kali ini.
“Hei, Nona Kecil, sekali lagi kau membentakku kayak semalam, maka kupingmu yang akan kubuat sup,” ancam Sarah. Sebagai Kakak, perempuan berjari lentik itu tak terima dengan perlakuan Lea, meskipun dia tahu, itu sekadar berpura-pura belaka.
Tangan Lea berhenti mencacah, menoleh ke arah Sarah, belia manis itu menyeringai, “Really?!”
Dia memberikan senyuman termanis sebagai salam perpisahan. Menekan sebuah tombol on pada remote control, beberapa detik kemudian tubuh Sarah dihantam balok besi yang meluncur bebas dari atap. Kepalanya pecah. Bola mata meloncat dari kelopaknya. Badan remuk. Tangan putus dan langsung mendarat di samping kursi. Garpu dan sendok berdenting di atas lantai setelah beberapa kali jumpalitan di udara. Gadis bawel itu mati tanpa pesan apa pun. Hanya sebuah rintih kesakitan sebelum napasnya benar-benar berakhir.
Darah banjir.
Anyir!
Sepasang bola mata Sarah jatuh dari meja kayu berwarna cokelat. Masing-masing meloncat-loncat seperti bola bekel, menggelinding dan berhenti di ujung sepatu si sulung dan si bungsu itu. Meninggalkan dua garis bercak merah di lantai keramik berwarna putih. Ryo menyingkirkannya menggunakan kaki kiri. Sementara Lea sengaja menginjak, mata itu pecah di bawah sepatu hitamnya. “Kres!”
“Kau benar-benar kejam, Nona kecil. Kelakuanmu sangat kontras dengan wajah yang kau miliki. Banyak orang tertipu oleh tampang polosmu,” ucap Ryo santai saja.
Meski Sarah merupakan adiknya, tapi tak ada keinginan menolong ataupun memarahi si bungsu. Sudah terlalu banyak korban yang mati di ujung pisaunya. Rasa welas asih yang dulu ditanamkam oleh orangtuanya telah menguap, tertanam bersama sejumlah jasad yang dia jagal. Jadi kekejaman seperti ini merupakan hal biasa. Tak ada lagi belas kasihan, tak ada lagi kasih sayang, sekalipun mereka masih terikat darah.
“Oh, ya? Aku kejam? Aku hanya meniru kakak-kakakku,” ucap Lea enteng.
“Mengenai wajah polos, ini merupakan anugerah Sang Pencipta.” Gadis berpinggang ramping itu kembali mencacah hati di atas telenan. Ruangan kembali berisik oleh suara pisau yang beradu dengan papan kayu.
“Kelak, apa kau akan melakukan hal yang sama terhadapku, eh?” Aroma jantung panggang di tangan Ryo menguar, hampir matang.
Membalik badan ke arah lawan bicaranya, Lea menampilkan senyum yang lebih manis daripada yang ditampakkannya pada Sarah beberapa waktu lalu. Sejatinya, tanpa tersenyumpun, gadis bermata jeli itu memang manis. Ada lesung pipi di kedua sisi pipinya. Bibirnya juga merah tebal. Memberi kesan sensual. Pantas saja banyak lelaki yang terpikat olehnya.
“Tentu saja. Karena pilihannya cuma dua. Dibunuh, atau … membunuh.” Lea mengerling manja. Genit sekali.
“Maksudmu?” Ryo meneguk segelas darah segar yang baru diterima dari adik bungsunya.
“Di antara kita berdua, mesti tersisa satu.” Lea mengacungkan telunjukknya di depan wajah.
Menggoyang-goyangkan gelas, dahi lelaki bercambang tipis itu berkerut. Bertanya-tanya akan maksud terselip dari kalimat yang baru saja dikatakan oleh Lea.
Mendekatkan diri ke telinga Ryo, gadis belasan tahun itu berbisik, “Malaikat maut akan segera datang menjemputmu. Bersiaplah.”
Gelas jatuh!
Pecah.
Beling-beling berantakan. Isinya tumpah. Mengalir, menyatu bersama darah Sarah yang masih saja menetes dari atas meja.
Ryo merasakan sesuatu yang aneh. Lehernya terasa panas, nyeri dan seperti tercekik. Mulutnya berbusa. Lelaki bercambang tipis ini baru menyadari bahwa Lea telah menabur racun dalam segelas darah yang diberikan padanya. Gadis itu, licik sekali.
“Ka—kau ….” Tubuh Ryo kejang-kejang. Dia merasa kerongkongannya makin menyempit sehingga udara tak mampu melewatinya, “dasar keparat kecil! Ka—kau ….”
Diambang kematian ….
Ryo mendapati dirinya seperti menonton sebuah pemutaran video. Bayangan Bapak, Ibu, dan seluruh korbannya mengambang di pelupuk mata. Jerit, tangis, permohonan ampun agar tak dibunuh terasa memekakkan telinga si sulung itu.
Memori bahagia bersama keluarga, dan saat terindah ketika meniup lilin—tepatnya merusak acara ulang tahun kedua adiknya, Sarah dan Lea—kembali membayang. Riuh gelak tawa dan omelan ibunya karena jarang mandi tiba-tiba memenuhi ruangan. Dia merindukan masa itu.
Sebelum Ryo menyelesaikan kata-katanya,
“Cres!”
Gadis manis nan sadis itu telah menancapkan sebuah pisau kecil yang selalu terselip di betisnya. Mengoyak jantung lelaki bercambang tipis di hadapannya hingga menembus punggung. Darah mengucur dari dada kirinya. Merembes, menodai dinding dan lantai putih.
Belum puas bermain-main, Lea mencabut pisau lantas menusukkannya di pusar lelaki berkulit eksotis itu. Membuat garis melintang dari kanan ke kiri. Usus dan seluruh isi perut memburai, keluar bersama aliran darah.
Menjijikkan!
Jantung di atas panggangan menghitam, gosong. Arang pun juga kian mengikis. Habis dilahap api.
Ryo sekarat dan … tewas mengenaskan.
Jauh lebih mengenaskan daripada korban-korbannya selama ini. Karena yang membetot nyawanya bukan orang lain, tapi adik bungsunya sendiri, anggota keluarga yang paling dia sayangi melebihi ibunya.
Lea menarik napas panjang. Puas. Musnah sudah dua orang menyebalkan yang selalu memberi perintah padanya, Ryo dan Sarah.
“Kalian terlalu bodoh! Mana ada kesetian di antara psikopat, meski terlahir dari rahim yang sama.” Gadis itu mengusapkan bercak merah yang menodai senjatanya ke dada Ryo. Lantas kembali menyelipkannya ke betis setelah dirasa cukup bersih.
***
Untuk beberapa hari ke depan, Lea berhenti berburu. Dia mesti turut berkabung atas kematian kedua kakaknya, Ryo dan Sarah serta seorang sepupunya, Doni. Agar kesan sebagai gadis baik-baik yang selama ini disandangnya tetap melakat dengan anggun. Lagi pula dia masih memiliki dua bungkus hati di kulkas. Masih cukup untuk memenuhi proteinnya dua minggu ke depan.
Di antara para pelayat, matanya memandang lekat, tertuju pada seseorang. Lea sedang mengincar gadis yang usianya sepantaran dengannya, Reina. Gadis berkulit cokelat itu berkali-kali menyeka mata, tersedu di samping jasad kakaknya, Doni.
Ada dendam yang belum terbalas.
Ingatan Lea langsung terhempas ke masa beberapa tahun silam.
***
Kakek, Nenek maupun orantuanya sendiri sering kali memarahinya karena Reina selalu merengek dan mengadu: Lea tak mau berbagi mainan denganya. Padahal sejatinya bocah usia tujuh tahun itu selalu mengalah. Hanya saja sepupunya itu seperti tak pernah puas sebelum melihat dirinya dihukum.
Lea membela diri, tapi tak ada satu pun yang percaya dengan ucapannya. Semakin dia ngeyel semakin murka saja mereka. Semua orang menganggap Lea sebagai bocah nakal dan hanya menyusahkan saja.
***
Menggertakkan gigi, Lea berpikir sudah waktunya.
Harus segera tuntas!
Lunas!
Mengepalkan tangan, Lea mendesis, “Kau kelinci berikutnya, Nona.”
Di luar hujan.
Jendela kaca basah sebab air terhempas oleh angin. Menetes seperti embun. Air bergemeritik jatuh di genting, pohon, dan halaman yang luas. Mengalir hingga ke selokan. Langit berkilat. Guntur menggelegar.
Selesai.
Tentang Penulis:
Uzwah Anna. Lahir di sebuah desa di pelosok kota Malang. Pecinta bakso dan soto. Karena lahir, tumbuh dan, besar di kampung, maka sudah sangat akrab dengan bertani. Selain hobby corat-coret juga gemar berkebun. Tanaman yang paling disukai adalah buah dan bunga. Apalagi bunga mawar merah, beuh … cinta beud.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata