Layang-layang dan Kenangan di Dalamnya
Oleh : Sinta Dewi Soebagio
Sewaktu kecil, aku pernah memiliki keinginan untuk bisa mengemudikan pesawat terbang dengan kedua tanganku. Menjamah angkasa luas dengan kepakan burung besi yang aku tumpangi, mengusik ketenangan awan yang menyebar di langit. Sungguh, khayalan seorang anak kecil usia delapan tahun yang sangat polos tapi ambisius.
Saat memikirkan tentang bagaimana caranya mengemudikan pesawat, aku teringat tentang sebuah layang-layang yang sempat diberikan oleh Izul, temanku. Hari itu, kami berniat menerbangkannya di lapangan pinggir sungai saat pulang sekolah.
Ketika terik matahari begitu menyengat, aku dan Izul bergegas pulang ke rumah masing-masing, meletakkan tas sekolah serta mengganti seragam dengan kaus oblong seadanya. Kemudian, kami beradu cepat menuju lapangan.
Deru angin yang mengempaskan daun-daun pohon asam menjadi teman di kala kami duduk beristirahat. Kami juga saling lempar tawa dan ejekan seperti biasanya. Izul adalah teman karibku, dia yang paling tahu tentang kelemahan dan kelebihanku. Dia tahu apa yang aku suka dan tidak aku suka.
“Dit, nanti setelah main layangan, kita ambil buah asam yang ada di situ, ya,” ajak Izul sambil menunjuk sebuah pohon asam yang berukuran besar di pinggir sungai.
Aku mengangguk seraya terus memainkan layanganku yang mulai terbang tinggi di angkasa. Menarik-ulurnya agar tetap konsisten melayang di antara awan. Terkadang layanganku dan Izul terbawa terpaan angin lalu menukik, seolah-olah layangan itu akan jatuh ke tanah. Namun, dengan sigap kami saling menarik senar masing-masing, menghindari kemungkinan layangan itu benar-benar terjatuh.
“Yahhh … awas, Dit! Tarik!” teriak Izul.
“Siap, laksanakan …!” sahutku dengan penuh semangat kepada Izul yang selalu sigap mengingatkanku untuk menjaga kemudi layang-layang.
“Suatu hari, kalau benar kau bisa menjadi seorang pilot, jangan lupakan pesanku. Jaga keseimbangan, ya!” teriak Izul lagi.
Aku mengangguk, tanda mengerti. Mungkin begitulah kiranya. Jika aku besar dan berhasil menjadi seorang pilot, akan aku kerahkan semua kemampuan untuk mengemudikan burung besi itu seperti aku memegang erat senar layang-layang. Segala pembelajaran tentang menerbangkan layang-layang yang diajarkan oleh Izul sangat berguna bagiku. Dia tidak pernah marah walau terkadang aku membuatnya jengkel ketika tidak berhasil menerbangkan layang-layang. Dengan sabar, Izul mengajari lagi, memberiku aba-aba untuk melepas layangan itu ketika dia siap menariknya.
Ketika hari menjelang petang, kami hendak pulang. Kami turunkan layang-layang dengan perlahan. Saat itu, layangan Izul tak sengaja tersangkut ranting pohon asam yang tinggi menjulang. Mau tidak mau Izul hendak menaiki pohon untuk bisa mengambil layangan itu.
Aku terus menarik senar layanganku ketika Izul akan mengambil layangannya yang berada di ranting teratas pohon asam. Sesekali kulirik dirinya yang berlari-lari layaknya seorang atlet, melompati bebatuan kecil yang menghalangi langkah kecilnya. Lantas dia memanjat pohon. Tinggi, sangat tinggi, seakan-akan Izul sebentar lagi akan menyentuh langit.
Tarhim pun terdengar samar di telinga ketika aku baru saja berhasil menggulung uluran terakhir senarku. Kuambil layang-layang berwarna merah—pemberian Izul kepadaku sebelumnya. Lepas itu, aku memandang sekilas ke pohon asam besar yang cukup jauh di ujung lapangan—yang di pucuknya masih tersangkut layang-layang Izul. Layang-layang itu berdiri menyerong di sela-sela dedaunan yang bergerak seirama dengan embusan angin kencang.
Aku duduk tafakur hingga kumandang azan terdengar, sesaat setelah tarhim bergema. Lama menunggu, akhirnya kusadari kalau Izul tak lagi terlihat, mungkin dia lebih dahulu pulang karena mendengar suara azan.
***
Beberapa tahun berlalu, cita-cita seorang anak berusia delapan tahun itu kini menjadi kenyataan. Berhasil menerbangkan burung besi, terkadang rasanya masih tidak bisa kupercaya. Mengenakan seragam berwarna putih khas seorang pilot, dengan lencana bar strip tiga menandakan aku seorang first officer, co-pilot yang menduduki posisi jabatan komandan kedua di dalam pesawat terbang.
Aku selalu ingat pesan Izul. Jaga selalu keseimbangan. Bahkan, bukan hanya keseimbangan tentang menerbangkan layang-layang atau pesawat, tapi tentang banyak hal dalam kehidupan.
Kepergian Izul beberapa tahun yang lalu sangat membuatku terpukul. Sahabat yang selalu ada ketika aku butuh, orang yang selalu mengingatkanku akan kesalahanku, kini telah pergi. Dia mengikuti layang-layang terbang ke langit, seperti bayanganku kala itu. Izul akan bisa menyentuh langit. Dan benar, dia benar-benar pergi. Deras sungai yang membawa tubuh kecilnya terombang-ambing dalam arus, menjadi pertemuan terakhirku dengan Izul di hari yang memilukan.
“Aku sudah menjadi seorang pilot, Zul,” ucapku saat mendatanginya di rumah terakhir yang ia tempati. Tertulis di batu nisan itu namanya, Nazrizul Ramadhan, seorang teman yang baik, yang selalu ada di dalam setiap doaku.
Terima kasih, Kawan.(*)
Probolinggo, 27 Juni 2020.
Sinta Dewi Soebagio, seorang amatir yang bermimpi menjadi seorang penulis andal. Akunnya dapat dilihat di Sinta Dewi Soebagio.
Editor : Dyah Diputri
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata