Lautan Rindu

Lautan Rindu

Lautan Rindu
Oleh : Deviana Ginting

“Beliau bukan pergi, melainkan pulang ke kampung abadi, memenuhi panggilan Ilahi.”

Kata-kata bijak itu disampaikan oleh Ustadz Amar. Ustadz yang mengimami sekaligus memimpin keberangkatan Buya menuju tempat peristirahatannya yang terakhir.

“Jadi, untuk kita semua ahli bait yang ditinggalkan, ikhlaskanlah kepergiannya. Insya Allah, beliau pergi dalam keadaan husnul khatimah,” tuturnya sambil menutup petuahnya.

Dunia terasa runtuh bagiku. Dada ini seperti diimpit oleh batu yang besar. Sesak. Itu yang kurasakan ketika kehilangan sosok yang sangat kucintai. Dialah Buya, ayah dari ayahku. Pelindung sekaligus pengganti kedua orangtuaku.

***

Baru kemarin, ya, baru saja kemarin, sosoknya masih ada di sini, di antara kerumunan sanak saudara. Walaupun tubuhnya telah terbujur kaku, dengan mata yang terpejam dan wajah yang tersenyum. Namun, aku masih bisa mendekapnya, menyentuh wajahnya, juga membelai rambut putihnya. Dingin. Itu yang kurasakan saat tangan ini tak berhenti mengusap bagian kening dan pipinya.

Jika kemarin aku merindukan suaranya yang merdu. Ketika beliau mengumandangkan azan, mengimami kami shalat, bahkan memimpin doa sebelum makan, maka hari ini aku tengah merindukan sosok dirinya. Merindukan wajahnya yang teduh, nasihat serta dukungannya untuk diriku.

Rindu. Hati ini bahkan sudah begitu merindu. Baru kemarin aku ditinggal pergi, tetapi rindu ini sudah menghantui. Jika boleh kutangguhkan waktu, aku ingin beliau tetap ada di sini, walaupun dengan wujud yang tak lagi bernyawa, setidaknya sosoknya masih bisa kutatap dengan kedua mata.

Hari ini, sosok dan suaranya tak dapat kutemui lagi. Ke mana harus kuobati rindu ini? Hanya bermodalkan sebuah foto pada saat resepsi pernikahanku, berharap bisa mengobati rindu yang menggerogoti hati.

“Hana, ikhlaskanlah. Semua orang mengakui bahwa kamu yang paling bersedih. Akan tetapi, Buya sudah bahagia, Sayang. Sekarang waktunya kamu untuk mewujudkan impiannya.”

Tante Aida, kakak tertua dari ayah selalu menghibur. Namun, aku masih belum mampu menerima. Sosok arjuna dalam hidupku telah pergi. Jika bukan karena kasih sayang dan nasihat darinya, mungkin aku tidak akan mampu menjalani hidup sesempurna ini.

“Buya harap, Hana langsung berumah tangga setelah wisuda nanti,” ucap Buya suatu ketika.

“Mengapa Buya berkata seperti itu?” tanyaku, paling tak suka jika beliau sudah menyinggung masalah umur. Itu karena alasannya yang sangat menyakitkan hatiku.

“Buya rindu dengan Ambu, rindu dengan ayah dan ibumu, tapi tugas Buya belum selesai,” jawabnya dengan raut wajah yang sendu.

Aku tahu apa maksudnya. Buya satu-satunya wali yang aku punya. Empat saudara almarhum Ayah, semuanya perempuan. Buya ingin pergi dengan hati yang tenang, menyerahkanku kepada lelaki yang menggantikan tanggung jawabnya, dan melihat aku bersanding di pelaminan.

Aku sadar, Buya sangat banyak berkorban untukku. Sebagai anak yatim piatu, yang ditinggal pergi oleh ayah dan ibu dari masih bayi, aku sangat bersyukur bisa merasakan kasih sayang dari Buya dan Ambu. Sebelum Ambu pergi dua tahun lalu, merekalah sosok ayah dan ibu yang sesungguhnya bagiku.

***

“Bagaimana para saksi? Sah?”

“Sah!”

Ucapan hamdalah menggema, menggelar di seluruh ruangan keluarga yang sangat sederhana. Masih lekat di ingatan, kala kulihat wajah Buya yang tersenyum bahagia.

Selesai sudah tanggung jawab Buya atas diriku, kini semuanya telah berpindah ke Bang Wisnu. Seorang lelaki yang menjabat tangan Buya, dan berjanji di hadapan Sang Pencipta, untuk melindungi dan menyayangi, serta mengingatkanku jika berada dalam kesalahan. Segala hal yang menyangkut ketakwaan dan kemungkaran yang kulakukan kini berpindah tempat pertanggungjawaban.

“Jadilah istri yang takwa. Melakukan semua perintah suami, selama masih dalam koridor Islam, itu wajib hukumnya. Jika Hana ingkar, maka Buya juga yang mendapatkan balasan buruknya,” nnasihatBuya untuk diriku ketika acara ijab kabul telah selesai dilaksanakan dengan lancar. Ada yang mengalir deras dari pelupuk mataku. Terharu dengan apa yang beliau ucapkan.

“Buya percayakan Hana untuk Wisnu. Tolong jaga dan bimbing dia dengan segenap hati. Sungguh, hatinya sangat lembut dan rapuh.” Itu nasihat Buya untuk Bang Wisnu, sesaat setelah acara resepsi selesai terlaksana.

Setelah mendengar ucapan Buya itu, aku baru menyadari jika selama ini hatiku hanya diisi oleh cinta dan kasih sayang untuk Buya, maka kini aku harus belajar menerima Bang Wisnu, lelaki pilihan dari lelaki terhebatku.

Nasihat Buya itu akan selalu kuingat, selamanya. Aku tak ingin lelaki terhebat dalam hidup ini mendapatkan ganjaran keburukan atas tingkah lakuku.

Siapa yang menyangka jika itu adalah nasihat terakhir yang Buya sampaikan untukku. Karena dua hari setelah itu, beliau pergi untuk selamanya. Meninggalkanku dengan lelaki pilihannya. Lelaki yang menurutnya mampu menjaga dan membimbingku.

Kepergiannya yang begitu mendadak membuat aku sangat terpukul. Saat sanak saudara masih belum pulang, masih ingin berbagi rasa rindu, karena ini merupakan acara pernikahan cucu kesayangan Buya. Di saat kami tengah menjalankan shalat Isya berjemaah yang dipimpin oleh Buya, di saat itulah beliau pergi. Sujud akhirnya pun diambil alih oleh Bang Wisnu, karena saat itu tubuh Buya tak lagi bergerak.

***

Tidak terasa, satu tahun kini sudah berlalu. Aku sudah datang lagi ke sini, ke tempat di mana Buya bersemayam, menaburkan bunga-bunga yang indah, serta mengucurkan air putih yang jernih. Kedatangan yang sudah tidak terhitung bilangannya, berharap rasa rindu ini sedikit terobati, walau pada kenyataannya hal tersebut belum mampu kucapai.

Rindu. Suatu perkara yang tidak mampu diungkapkan oleh kata-kata, tidak bisa dilukiskan dalam seni rupa, karena obatnya adalah berjumpa. Jika saat ini hatiku tengah merindukan sosok yang telah berbeda alam denganku, apa yang harus aku perbuat?

Rindu ini masih menggelayuti hati. Tak berubah dan tak pernah berbeda. Hati kecil ini masih diisi oleh kenangan tentangnya. Hal yang tidak mungkin lagi untuk kurasakan, tetapi sampai saat ini, belum juga mampu aku lupakan.

“Sudah satu jam, Sayang. Kita pulang, yuk.” Suara Bang Wisnu menyadarkanku dari lamunan.

Kuanggukkan kepala sambil bergerak dari tempatku berjongkok. Sedikit susah untukku bisa berdiri. Tangan Bang Wisnu meraih lengan kananku, karena bobot tubuh ini yang sedikit lebih berisi. Ada buah cinta kami yang kini sedang kukandung.

Lelaki ini, sungguh aku sangat bersyukur telah dipertemukan dengannya. Walaupun dia bukan cinta pertamaku karena cinta pertamaku adalah Buya. Namun, kini namanya telah mengisi sebagian relung hatiku.

Seiring berjalannya waktu, semangat dalam hidup ini mulai tumbuh. Dengan cinta dan kasih sayang dari Bang Wisnu, aku belajar untuk kuat, agar bisa mewujudkan impian Buya tercinta, yaitu harus hidup lebih baik dan lebih optimis.

“Buya, terima kasih atas cinta dan kasih sayangnya selama ini. Lautan rindu dalam hati, semoga segera terobati. Insya Allah, aku kuat.”

Kuikrarkan kalimat itu dalam hati, sambil menggandeng tangan Bang Wisnu keluar dari area pemakaman. Dengan langkah yang mantap, kuikuti dia menuju mobil. Aku harus kuat, harus tetap semangat.

Sampai di persimpangan lampu merah, sayup-sayup di telinga terdengar suara pengamen seakan mewakili hatiku.

Aku merindu ….
Kuyakin kau tahu ….
Tanpa batas waktu … ku terpaku

Aku meminta ….
Walau tanpa kata ….
Cinta berupaya ….
Engkau jauh di mata, tapi dekat di doa
Aku merindukanmu …

Buya … seketika air mata berhamburan ingin keluar. Rindu ini, tanpa batas waktu, tak bertepi dan belum terobati.

Engkau memang jauh di mata, tetapi namamu tidak akan pernah kulupa, untuk kubawa di dalam doa, untuk kusebut setiap selesai bersujud.

Buya … aku sungguh merindukanmu. Rindu ini sudah menjadi lautan dan masih selalu menghantui. Sampai saat ini. Sampai detik ini.(*)

 

Sumatera Utara, 22 April 2021

 

Editor : Lily

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply