Laut untuk Shea
Oleh : Cindhy Agustin Aldalia
Top 22 Tantangan Lokit 14
“Kak Amal, apa ikan itu bisa dimakan?”
Amal mengalihkan perhatian dari ponsel, melihat adik perempuannya yang sedang asyik menonton film animasi produksi Disney. Entah sudah berapa kali Shea menonton Finding Nemo dan entah sudah berapa kali pula Shea menanyakan pertanyaan yang sama ke Amal.
“Ikan yang mana, Shea?”
“Yang itu.” Shea menunjuk ikan biru bersirip kuning yang menjadi teman si clown fish menjelajah lautan untuk mencari anaknya, Nemo.
Amal pun melihat sekilas ikan yang ditunjuk Shea. “Kak Amal tidak tahu.”
“Kalau yang itu?” Shea bertanya lagi. Kali ini ikan pemburu paling ganas di lautan yang dia tunjuk.
“Tidak bisa,” jawab Amal tanpa melihat ikan yang ditunjuk Shea. Dia sudah malas meladeni pertanyaan yang keluar dari mulut bocah berusia lima tahun itu.
Shea sangat terobsesi dengan laut setelah menonton film Finding Nemo. Apa pun yang berhubungan dengan laut dan segala makhluk yang tinggal di sana, selalu menjadi topik pembicaraan paling menarik bagi Shea.
Shea ingin melihat laut secara langsung. Dia begitu penasaran dengan kumpulan air asin dalam jumlah banyak dan luas itu. Apa laut asli bentuknya sama dengan laut yang dia lihat di gambar ataupun video yang ditunjukkan oleh ibunya. Apa benar di laut ada putri duyung? Apa ikan di laut bisa habis jika terus ditangkap nelayan?
Ah, Shea ingin sekali pergi ke sana. Melihat ikan dan matahari terbenam, karena Reon—tetangga sekaligus sahabat baik Shea—pernah berkata jika pemandangan matahari terbenam di pantai amat sangat indah.
“Ikan itu giginya tajam. Ih, serem!” komentar Shea. Dia percaya saja dengan apa yang Amal katakan. Padahal sekarang banyak orang yang memburu hiu untuk dimakan siripnya.
Amal kembali melihat benda mungil bertali yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Sudah tiga jam lebih Amal menjaga Shea karena ibunya pamit pulang sebentar untuk mengambil baju dan keperluan lain Shea selama dirawat di rumah sakit. Namun, sampai sekarang ibunya tidak kunjung datang, padahal Amal sudah ada janji dengan temannya untuk mengerjakan tugas sekolah.
Shea memang merepotkan. Sejak kecil dia sering sakit-sakitan. Keluar masuk rumah sakit sudah biasa untuk Shea. Di saat anak seusianya asyik bermain dan mulai masuk taman kanak-kanak, Shea harus puas berada di ruangan serba putih ini. Berbaring seharian di ranjang dengan tangan diinfus.
Kemarin, Shea dilarikan ke rumah sakit karena demam dan mengeluh sakit kepala. Pun kehilangan nafsu makan, napasnya pendek-pendek, dan sering mimisan. Amal tidak tahu Shea sakit apa karena hasil lab Shea sampai sekarang belum keluar.
“Kak Amal, kalau Shea sudah sembuh, ajak Shea pergi ke laut, ya? Shea pingin banget pergi ke sana.”
Amal hanya diam, lebih asyik bermain gim di ponselnya. Mengabaikan Shea.
“Kak Amal!”
“Iya, Shea,” sahut Amal malas, agar Shea berhenti mengoceh. Sungguh, Amal sudah sangat bosan menjaga Shea di rumah sakit.
Pintu kamar rawat Shea diketuk. Amal pikir ibunya datang, tapi yang datang ternyata Reon. Anak lelaki ber-kacamata tebal itu menjenguk Shea bersama sang ibu, membawa akuarium kecil berisi dua ikan badut yang lucu.
“Kamu suka hadiah dariku, Shea?”
Shea mengangguk. “Terima kasih, Reon. Shea suka sekali, mereka mirip Nemo.”
Ikan oranye bergaris putih itu hanya bisa berenang berputar-putar karena ukuran akuarium yang kecil. Kasihan si clown fish, ia pasti bisa berenang bebas jika tinggal di laut, pikir Shea.
“Emm … Reon. Apa laut sangat luas?”
Reon berpikir sebentar sebelum menjawab pertanyaan Shea. Mengingat-ingat laut yang dia lihat kemarin bentuk-nya seperti apa. “Iya. Airnya berwarna biru dan luaaas sekali.” Reon merentangkan kedua tangan lebar-lebar. Seolah-olah memberi tahu Shea betapa luasnya laut yang kemarin dia lihat. Shea pun tampak begitu antusias mendengar cerita Reon.
“Kemarin Ayah juga mengajak Reon pergi ke Sea World.”
“Sea World itu apa?” Shea bertanya lagi.
“Emm ….” Reon menggaruk kepala yang tidak gatal. “Reon gak tahu, tapi tempat itu berada di bawah laut. Besar dan sangat indah. Reon bisa melihat banyak ikan dari sana.”
Kedua mata Shea berbinar, membayangkan betapa menakjubkan tempat yang Reon datangi kemarin bersama ayah dan ibunya. “Reon lihat ikan apa saja?”
“Reon gak tahu namanya. Tapi ikan yang Reon lihat kemarin seperti ini.” Reon menunjuk ikan apa saja yang ada di film Finding Nemo. Badut, dori, pari, lumba-lumba, bahkan hiu.
“Wah ….” Mulut Shea menganga lebar. Betapa beruntungnya Reon bisa melihat ikan di laut secara langsung.
“Reon kemarin juga melihat paus beluga.”
Wajah Shea tiba-tiba berubah murung. Dia ingin seperti Reon, bisa melihat ikan di laut secara langsung. Namun, Shea gampang sakit, dokter pun melarangnya bepergian terlalu jauh.
“Kenapa Shea sedih?”
“Shea ingin melihat laut dan ikan seperti Reon,” lirih Shea.
Reon tersenyum, mengusap puncak kepala Shea dengan lembut. “Shea cepat sembuh, ya. Kalau sudah sembuh, nanti kita pergi ke laut sama-sama.”
Wajah Shea sontak berbinar. “Janji?”
Reon mengangguk, setelah itu pamit karena harus memeriksakan matanya yang sakit. Amal pun mengucapkan terima kasih ke Reon dan ibunya karena sudah menjenguk Shea. Lima menit kemudian, Lisa—ibu Amal dan Shea—datang. Amal pun buru-buru pergi, tanpa berpamitan karena dia sudah sangat terlambat mengerjakan tugas sekolah. Pun Amal sudah terlalu kesal dengan Lisa karena lebih memperhatikan Shea dari pada dirinya.
Lisa yang melihat anak sulungnya pergi begitu saja hanya bisa menghela napas panjang. Dalam hati dia meminta maaf karena lagi-lagi merepotkan Amal, pun berharap Amal mengerti dengan kondisinya yang sudah menjadi orangtua tunggal.
***
Amal menendang batu-batu kecil di pinggir jalan dengan kesal, melampiaskan amarah karena namanya dikeluarkan dari tugas kelompok. Amal terpaksa mengerjakan tugas sendiri jika tidak ingin tertinggal kelas. Semua ini gara-gara Shea. Andai saja Shea tidak sakit dan Lisa tidak sibuk mencari uang untuk biaya pengobatannya, tugas sekolah Amal pasti sudah selesai.
Amal menghela napas panjang. Hidupnya berubah berantakan semenjak ada Shea. Anak itu … membawa sial, pikir Amal. Ayah dan ibunya memutuskan untuk berpisah setelah Shea lahir. Lisa pun lebih memperhatikan Shea dari daripada dirinya karena Shea sakit-sakitan. Amal merasa Lisa tidak bisa adil membagi kasih sayang pada kedua anaknya.
Ah, kenapa Shea harus ada? Andai Shea tidak ada, hidup Amal tidak akan berantakan seperti sekarang.
Ponsel Amal kembali bergetar. Meski malas, Amal pun akhirnya menerima telepon dari Lisa.
“Ada apa?” jawab Amal tanpa mengucap salam.
“Halo, Amal. Apa Ibu bisa minta tolong?”
Amal mendesah panjang. Permintaan Lisa pasti ada hubungannya dengan Shea.
“Hmm ….” Amal menyahut malas.
“Tolong ambilkan buku gambar dan pensil warna Shea di rumah. Ibu tadi lupa membawanya ke rumah sakit. Tolong ya, Amal?”
Wajah Amal mengeras, bibir mengatup rapat. Saat dia ada masalah dengan tugas sekolah, Lisa malah memintanya untuk mengantar buku gambar Shea ke rumah sakit.
Shea, Shea, dan Shea. Selalu Shea. Amal sungguh muak.
“Amal?”
“Hmm ….”
“Ibu tadi sudah masak ayam goreng kesukaan kamu. Jangan lupa makan dulu sebelum pergi ke rumah sakit. Ibu sayang kamu.”
Amal menyeringai. Entah kenapa perhatian kecil yang Lisa berikan tidak berarti apa-apa lagi baginya. Hati Amal sudah mengeras. Seperti batu.
Amal membuka pintu kamar Shea dengan cukup keras. Berjalan cepat menuju meja kecil yang berada di samping tempat tidur, mencari buku gambar dan pensil warna milik Shea. Setelah ketemu, Amal langsung pergi ke rumah sakit.
***
Amal begitu terkejut melihat Lisa terduduk lesu di bangku rumah sakit dengan wajah yang sembap. Apa terjadi sesuatu dengan Shea?
“Ibu kenapa?”
“Amal.” Tangis Lisa kembali pecah. Wanita berusia empat puluh tahun itu sontak melemparkan diri ke dalam pelukan Amal.
“Shea, Amal. Shea ….” Suara Lisa terdengar gemetar.
Jantung Amal berdetak tidak nyaman. Amal merasa telah terjadi sesuatu yang buruk dengan Shea. Namun, Amal mencoba untuk tetap tenang dan berpikir positif. Shea pasti baik-baik saja.
“Shea kenapa, Bu?”
“Adikmu, Amal ….” Bahu Lisa bergetar hebat. Lidahnya mendadak kelu saat ingin memberi tahu Amal apa yang terjadi dengan Shea.
“Shea kenapa?” Melihat Lisa yang menangis sesenggukan karena mengkhawatirkan Shea entah kenapa membuat perasaan Amal ikut cemas.
“Shea terkena leukimia, Amal.”
Amal tersentak, jantungnya seolah berhenti berdetak. “Leukimia?”
“Stadium empat,” lanjut Lisa.
Napas Amal tercekat. Punya dosa apa dia di masa lalu hingga adiknya harus menderita penyakit mematikan itu?
“Ibu takut, Amal. Ibu sangat takut ….”
Amal mengusap bahu Lisa yang gemetar. Menyalurkan kekuatan agar perasaan Lisa lebih tenang. Jujur, Amal juga takut kehilangan Shea.
“Tenanglah, Bu. Shea anak kuat, dia pasti sembuh.”
***
Tubuh mungil itu terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Wajah Shea tampak begitu pucat. Rambutnya yang hitam, panjang, dan halus mulai rontok karena efek kemo-terapi yang dia jalani selama satu bulan lebih. Namun, sel kanker di tubuh Shea berkembang dengan cepat. Kondisi Shea setiap hari pun semakin menurun.
“Kak Amal, sakit …,” rintih Shea.
Hati Amal begitu hancur melihatnya. Mati-matian Amal menahan air mata agar tidak jatuh di depan Shea. Kenapa harus Shea? Andai Amal bisa bertukar posisi, Amal ingin sekali menggantikan Shea agar tidak merasa sakit lagi.
“Sakitnya cuma sebentar, kok. Shea tahan sebentar, ya?”
Shea mengangguk. Dia tidak pernah menggambar lagi karena pergelangan tangannya terasa nyeri sejak kemoterapi. Padahal Shea sangat rindu menggambar. Sekarang, yang bisa Shea lakukan hanya melihat-lihat gambar yang dia buat ketika masih sehat.
“Kak Amal, kenapa Reon tidak pernah datang menjenguk Shea?”
Amal tersentak mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir mungil Shea. Apa yang harus dia katakan? Reon tidak mungkin datang karena anak itu sekarang tidak bisa melihat. Reon kehilangan penglihatan karena infeksi kornea yang dideritanya sudah sangat parah.
“Mungkin Reon banyak PR.” Amal terpaksa berbohong agar Shea tidak bersedih.
Wajah Shea sontak berubah murung. “Padahal Shea ingin menunjukkan gambar ini ke Reon.”
Amal mengepalkan kedua tangan kuat-kuat, menahan sesak yang mengimpit dada. Impian Shea sangat sederhana. Dia hanya ingin melihat laut dan menunjukkan gambarnya ke Reon. Namun, rasanya sangat mustahil untuk bisa mengabulkan keinginan Shea.
Amal mengusap sudut matanya yang berair. Mengecup puncak kepala Shea dengan penuh sayang. “Cepat sembuh, ya, Shea. Kak Amal sayang kamu.”
***
Kondisi Shea semakin menurun, harapan untuk hidup pun sangat tipis. Berulang kali Shea mengatakan ingin melihat laut ke Amal dan Lisa. Mereka pun tidak punya pilihan selain mengabulkan keinginan Shea. Setelah berbicara dan meyakinkan dokter, Amal dan Lisa pun membawa Shea pergi ke laut.
“Kenapa Kak Amal pakaikan Shea topi dan masker? Shea kelihatan jelek ya, karena sekarang botak?”
Amal menggeleng, melilitkan syal ke leher Shea agar merasa hangat. Kedua matanya menatap sang adik dengan penuh sayang. “Tidak, Shea adik Kak Amal yang paling cantik.”
“Benarkah? Terima kasih.” Shea tersenyum, memperlihatkan dua buah gigi depannya yang besar seperti kelinci.
Hati Amal teriris, melihat Shea yang masih bisa tersenyum meskipun sedang sakit parah. Andai Amal sakit seperti Shea, dia belum tentu bisa tersenyum cerah seperti Shea.
Amal mendekap erat Shea yang tertidur lelap di atas pangkuannya. Wajah Shea sangat pucat, bibirnya kering, pun tubuhnya sedikit demam. Amal tidak bisa membayangkan betapa senangnya Shea ketika melihat laut nanti. Dia akan membangunkan Shea jika sudah tiba di sana.
Shea tidur begitu lelap. Wajah pucatnya terlihat begitu tenang dan damai. Amal mengecup kedua pipi Shea sebelum membangunkan anak itu karena mereka sudah tiba di laut.
“Shea bangun, kita sudah sampai di laut.”
Shea hanya diam. Amal pun membangunkan Shea lagi.
“Shea, bangun. Lihatlah di depan. Laut begitu luas dan biru. Buka matamu.” Amal mengguncang pelan tubuh Shea yang berada dalam dekapan. Namun, Shea tidak merespons. Kedua matanya masih terpejam. Kepalanya terkulai lemas di dada sang kakak.
“Shea, bangunlah. Katanya ingin melihat laut? Kakak akan marah kalau kamu tidak mau membuka mata.” Amal terus saja bicara dan meyakinkan dirinya sendiri jika Shea sedang tidur, namun Shea tetap saja tidak mau bangun.
“Shea, Kakak marah betulan, nih?” Suara Amal terdengar gemetar.
Hening. Hanya suara deburan ombak dan angin laut yang masuk ke telinga Amal.
“Shea ….”
Dada amal terasa begitu sesak. Oksigen di sekitarnya mendadak lenyap. Air mata itu turun begitu saja membasahi pipi Amal saat tahu jika Shea telah pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.
***
Shea begitu mencintai laut, karena itu Amal dan Lisa memutuskan untuk melarung abu Shea di sana. Amal yakin Shea sudah bahagia karena tidak lagi merasa sakit dan bisa bersatu dengan laut.
Amal mengusap sudut matanya yang berair. Tangis ini akan menjadi tangis terakhir Amal karena Shea pasti tidak suka melihatnya terus bersedih.
“Hey, jangan menangis. Shea pasti sedih melihatmu terus menangis.” Amal mengusap puncak kepala Reon yang menangis tersedu-sedu di sampingnya dengan penuh sayang. Mata biru milik Reon selalu mengingatkan Amal dengan Shea.
Reon segera menghapus air matanya. “Terima kasih banyak, Shea. Karena kamu aku bisa melihat laut lagi.”
Amal tersenyum, impian Shea untuk melihat laut akhirnya terwujud.(*)
Kediri, 19 Desember 2109.
Sebut saja Aeris. Dia lahir di Kediri delapan belas tahun yang lalu. Dia seorang EXO-L, bias utamanya Byun Baekhyun. Dia mempunyai rasa percaya diri terlalu tinggi dan menjadikan Chanyeol EXO sebagai panutan. Dia masih perlu banyak belajar di dunia literasi.
Review Juri:
Shea. Sea. Laut. Laut untuk laut. Laut untuk Shea. Shea untuk laut.
Cerpen ini, selain kuat di tema, serta judul yang multitafsir, dia juga memiliki drama yang membuat pembaca hanyut di dalamnya. Seperti laut yang luas dan dalam, cerpen ini menyuguhkan sebuah cinta, kasih sayang, ketulusan, dan hadiah yang begitu besar di akhir cerita, dan tentunya mampu menenggelamkanmu ke perasaan terdalam setiap tokohnya. <3 <3
Halimah Banani
Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata