Lauk Garam di Atas Nasi
Oleh: Evamuzy
Rumput-rumput basah oleh embun yang merayakan pagi dan hangat mentari, menyapa pria di akhir masa. Yang lapuk habis tenaga, tanpa gagah rupa dan harta. Pucuk-pucuk daun berwarna hijau muda menjadi saksi kisah seribu kerikil dan tanah gembur yang Pak Tua rajut dengan buta, tak berbenang eja aksara. Sungai dengan aliran deras pada kulit legamlah penyambung nyawa. Suka cita bersama sang hawa.
“Ingin dimasakkan apa hari ini, Pak?” tanya wanita yang kulitnya telah keriput dimakan usia kepada sang Suami yang duduk di dipan kayu teras gubuk mereka. Si Pak Tua pulang dari mengurus kebun milik tetangga.
“Masak nasi saja, Buk. Berasnya masih ada? Lauknya seadanya saja. Masih ada garam di dapur, ‘kan?” tanya Pak Tua yang sebenarnya hanya berniat memastikan. Tak ingin menambah beban pikiran sang Istri.
Gentong terisi segelas beras saja sudah luar biasa, sudah membuat pasangan senja itu bahagia. Jadi, mustahil ada bahan pengisi perut lainnya. Dan itu bukan perkara untuk keduanya. Lagi-lagi keadaan membawa manusia menerima takdir dengan tanpa banyak memaksa.
Manusia-manusia kecil lahir—dengan ditinggal mati kedua orangtuanya—di bawah kayu-kayu lapuk, di atas bambu-bambu yang sengaja digelar menjadi tikar. Yang ketika tubuh duduk di atasnya, berbunyi khas kemiskinan. Sari pati beras disulap senilai gizi susu, dianggapnya semudah itu. Sebab, keping-keping bernilai dicari bagai hilang, tetap saja buntu, tak ada nilai temu. Sampai-sampai cacing-cacing berteriak di kerongkongan, seringkali dibiarkan kelaparan. Apakah ini sudah kita pantas sebut kesengsaraan? Tanyakan pada hatimu.
Kaki, mata, telinga dan tangan manusia kecil menapaki tangga usia. Saling bercengkerama meniru gaya-gaya orang besar. Barisan tokoh-tokoh berseragam. Para pemberani, penangkap penjahat dan pemberontak. Sampai pemilik hati yang tulus selamatkan sejuta nyawa.
“Ingin seperti mereka, Bapak,” dua bocah berkata. Berucap mimpi selayak ulat merubah diri menjadi elok kembar sayap. Menggantung harap pada bintang paling tinggi. Tak apa. Sebab, bukankah bahagia adalah hak semua manusia? Bukan hanya milik orang berharta dan jaya.
“Kalian pasti bisa!” Tak apa hanya makan sebutir nasi, asal ada teguh memenuhi hati.
“Mengapa kami tak memiliki ayah dan ibu, Bapak? Ke mana mereka?” tanya salah satu dari mereka. Getir merayapi hati Pak Tua.
“Ayah dan ibumu, sudah di surga, Nak. Kau harus menjadi orang baik dan berguna agar bisa bertemu dan memeluk mereka.”
“Orang baik itu yang tidak pernah menyakiti orang lain?” tanya yang satunya lagi. Di atas sepeda yang berbunyi “kreot” saat pedal dikayuh tulang-tulang tua.
“Juga yang berlaku adil kepada orang yang salah dan benar,” jawab Pak Tua sambil memandang ke arah depan, sepanjang perjalanan menuju kursi-kursi penuh ilmu untuk mereka.
“Apakah itu sulit, Bapak?”
“Tergantung seberapa besar niatmu, Nak.” Pak Tua menarik napas sejenak. “Tapi ingat, di balik niat menjadi baik, selalu ada mereka yang menguji dan membenci. Kau akan menang dan tetap menjadi orang baik jika kalian kuat, tetapi kalah jika baru saja berperang, kalian menyerah.” (*)
Evamuzy. Gadis kelahiran kota Brebes. Penyuka warna cokelat muda yang pernah bermimpi menjadi seorang penyiar radio.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata