Tantangan Loker Kata 22
Naskah Terbaik 10
Lari, ke Entah
Oleh: Almar Atom
Tantangan Loker Kata 22
Naskah Terbaik 10
Lari, ke Entah
Oleh: Almar Atom
Tiga pemuda sedang bersantai-santai di tepian pantai, yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari pelabuhan Emmahaven. Tiga pemuda itu menyaksikan kapal-kapal akan segera bersandar. Mereka sudah mendengar bahwa Belanda akan mengerahkan kekuatan penuh, termasuk marsose-marsose yang kenyang pengalaman di Aceh.
“Hanya demi orang-orang semacam kita?” ucap Pemuda Pertama.
Pemuda Kedua, yang sudah asyik dan tenggelam karena mendengarkan lagu berbagai jenis lagu milik Kufaku lewat sebuah speaker aktif, menangkap mimik dari Pemuda Pertama. Pemuda Kedua tahu bahwa ada masalah luar biasa besar apabila mereka tidak bertindak, setidak-tidaknya walau sekadar hanya melepas angin dari bokong.
“TUNGGU, tunggu sebentar. Kufaku. Dan Emmahaven. Dan marsose. Ini masa Kolonial Belanda, bukan? Mengapa ada Kufaku di sana? Dan Kufaku apa ini?”
Saya tahu Mahlil bingung bukan main. Sebagai seseorang berakal sehat, dan barangkali mempunyai kecerdasan di atas rata-rata, ia memang tahu bahwa tidak mungkin ada speaker aktif di zaman Kolonial Belanda dan tentu saja, lagu-lagu milik Kufaku yang benar-benar nikmat didengar itu, hanyalah desis-desis gaib sewaktu peradaban masih meraba-raba kekuatan elektromagnet.
“Tapi Kufaku itu enak, Tuan,” ucap Pemuda Ketiga.
“Hah? Bahkan kalian menyebut itu enak?” kata Mahlil.
Saya lebih memilih tidak berkomentar. Saya tidak akan menyebut Kufaku itu tidak nikmat atau meneduhkan telinga, akan tetapi—
“Tuan. Jika diizinkan bertanya, bagaimana nasib kapal yang akan segera bersandar di Emmahaven? Aku sungguh terkejut dan terbelalak, tidak menyangka bahwa Belanda akan mengobarkan kekuatan penuh untuk menumpas kami. Apa kelanjutannya? Meskipun, ya, aku tahu, ada nasib fana dan naas sudah menunggu di depan sana.”
Sejujurnya, saya tidak tahu. Pertama, data dan fakta dan informasi tidak berpihak. Kedua, saya merupakan sejenis pria yang tidak terlalu tampan. Di Tiktok, saya pernah melihat konten yang dibuat seorang lelaki. Ia berkata seperti ini, kurang lebih: “Eh, elu-elu semua, tau gak sih apa yang bikin elu jomblo seumur hidup?”
Video itu saya berhentikan sebentar. Pertanyaan reflektif demikian mengguncang batin. Supaya narasi dan adegan ini terlihat keren, ada beberapa keadaan alam dan latar hendak saya tambah. Hujan turun seperti butiran-butiran jarum yang tersihir oleh pesona tanah. Aroma hujan, yang konon digandrungi para pencuri tomat, masuk ke hidung saya. Suhu belum menyentuh nol derajat, tetapi hawa dingin membongkar pori-pori. Langit memancarkan gelap yang tidak terlalu. Aktivitas orang-orang di jalanan tertunda, entah karena mesti berteduh karena tidak membawa jas hujan atau memelankan kecepatan karena pukulan air hujan mengganggu keselamatan.
“Aku sungguh menantikan efek pertanyaan reflektif demikian dalam mengguncang batin para pembaca, Tuan,” ucap Pemuda Pertama.
Pemuda ketiga mengarahkan mata ke langit. Pandangan pemuda ketiga, seakan-akan mewujudkan panah imaji. Pemuda Ketiga mendengar suara saya, memang, dan karena itu, ia mengarahkan panah-panah imaji demikian ke langit, menuju sumber suara.
“Tepat sekali gambaran mengenai aku itu, Tuan. Aku memenuh harap bahwa Tuan berhenti mempertele-telekan, beromong kosong, dan mulai meluruskan segalanya secara sesuai,” kata Pemuda Ketiga.
“Siasat hendak menyajikan perdebatan juga tercium olehku, Tuan. Tuan tadi ingin membikin beberapa situasi semacam, ‘Oh, nanti ada Pemuda Ketiga yang akan membantahku perkara deskripsi hujan, lalu Pemuda Pertama akan membelaku, dan Pemuda Kedua akan berusaha menengahi. Mahlil hanya mengamati dan mencoba mengambil hikmah.’
Sungguh, Tuan. Aku hendak bertanya baik-baik. Masalah hidup Tuan apa?” ujar Pemuda Kedua.
Mahlil, tanpa sebuah hubungan sebab-akibat yang logis dan estetika seni kepenulisan serta penyajian retorika yang kuat, pergi ke sebuah kedai tuak di Jalan Noordwijk, Batavia. Mahlil menembus masa lalu dengan angkot.
“Kenapa kau sebut susu untuk anak lima tahun ini sebagai tuak?” tanya Mahlil.
“Aku juga bingung mengapa kau begitu putus asa dan berusaha menciptakan sebuah cerita bombastis yang mencampur aduk segala hal. Seperti Pemuda Kedua, pertanyaanku sama. Kau kenapa?”
Ada dua entitas telah berbaik hati dan memancarkan kepedulian luar biasa kepada saya. Mereka bertanya, saya kenapa dan saya kenapa.
TIGA pemuda bergegas menuju pantai yang berjarak seratus meter dari pelabuhan Emmahaven. Tiga hari mereka turun dari kampung yang berada di kaki Gunung Singgalang menuju pelabuhan itu, untuk memastikan kabar bahwa Belanda akan menerjunkan kekuatan penuh. Mereka sampai tepat waktu. Tiga pemuda itu tidak dapat langsung menerobos menuju dermaga Emmahaven, sehingga mereka bersepakat untuk mencari pantai terdekat dan melihat sendiri kapal-kapal yang bersandar.
“Kau masih punya sisa paket internet?” ucap Pemuda Ketiga.
Pemuda Pertama mengeluarkan hape dari saku. Tangan Pemuda Pertama menekan-nekan hape berlayar retak dan bertenaga prosesor berukuran 28 nm tersebut. Ada seseorang dihubungi dan seseorang itu memberi tanggapan.
“Aku tahu kau perlu obat. Pertanyaan ‘kau kenapa’ terlihat ofensif. Aku sedih melihatmu. Kau terlihat memperbaiki, tetapi yang kutangkap adalah keputusasaan,” ucap Mahlil yang sudah paripurna mengacaukan urutan narasi sehingga beberapa orang akan bingung mengenai sosok yang dihubungi Pemuda Pertama.
“Mahlil …,” kata saya, yang sejujurnya kesal, akan tetapi kesal tidak pernah menghasilkan uang tambahan sehingga untuk meredamnya, perusahaan sawit saya dirikan, beroperasi puluhan tahun, kemudian bencana alam tiba, dan perusahaan tersebut saya bubarkan karena membawa kerugian untuk masyarakat luas, kemudian saya akhirnya memilih untuk membakar rokok saja agar adegan berbicara dengan Mahlil ini terlihat semakin keren dan keren, “… justru akulah yang bertanya padamu. Kau kenapa?”
EMMAHAVEN menyambut kapal itu yang sudah berhari-hari melata di lautan lepas. Kapal bersandar sempurna dan semua penumpang kapal turun. Semua orang di kapal jelas adalah para petarung nasib yang terpinggirkan di daratan utama, dan menjelajah Hindia untuk mengangkat derajat keluarga. Lelaki itu, Machiel van Laal, mula-mula hanya menggelandang di jalanan-jalanan Amsterdam setelah tamat sekolah, tepatnya gemar berkumpul-kumpul di depan Rijksmuseum bersama beberapa pelukis yang hidup luntang-lantung.
Selama beberapa bulan, Machiel van Laal menjalani kehidupan bohemian demikian, setidak-tidaknya sampai abangnya sekali memergokinya sedang melukis di jalanan kemudian memberi satu tamparan.
“Memalukan!” ucap abangnya.
“Berkali-kali aku katakan, aku tidak mau ke sana!”
“Tidak mau ke sana atau sedang menunggu gadismu yang masih pergi ke Paris dan entah kapan kembali?”
Keluarga Laal sudah bergenerasi-generasi bertugas di Hindia dan baru kembali saat usia 50-an. Machiel van Laal enggan meninggalkan kehidupan di jalanan Amsterdam. Selepas kejadian penamparan oleh abangnya, dan beberapa kerusuhan-kerusuhan di Amsterdam, Machiel van Laal setuju untuk pergi ke Hindia.
“Kau membuatku jadi orang Belanda?” ujar Mahlil.
Saya tentu terganggu dan tersinggung saat Mahlil atau Machiel van Laal terus-menerus bertanya, saya kenapa dan saya kenapa. Memang, saya juga salah karena berkali-kali menahan jawaban atau tepatnya, memilih untuk tidak menjawab.
“Meneer Machiel, Meneer van Laal, atau apalah cara memanggil ala Belandanya, tahukah kau bagaimana cara membuat hati ini tidak terlalu kosong?” tanya saya.
“Beberapa saat lalu, aku sedang di sampingmu, menikmati mi instan yang sangat tidak enak dan teh manis kecut yang rasanya bahkan tidak layak diminum tikus, dan sekarang aku sudah dijadikan tokoh cerita. Lalu kau ingin meminta bantuanku?”
Banyak kekacauan yang sudah saya buat. Saya terus-menerus lari dan tidak menghadapi secara berani. Saya menghubungi Mahlil agar dapat menenangkan hati. Mahlil, yang sedang bekerja di suatu perusahaan pemetaan tanah, awalnya menolak karena sibuk, tetapi karena saya senang sekali meminum teh hangat dan penulis cerpen, ia sudah hadir begitu saja. Saya tidak peduli orang-orang muak dengan formula ini-ini saja, ketiba-tibaan ini saja, tetapi, sesuai perkataan saya kepada Mahlil, “Bahwa rasa yang tertahan lebih mengerikan dari genosida apapun.”
“Aku tahu, aku tahu. Dari paket internetmu yang hanya sisa dua ratus mega saja sudah menjabarkan secara akurat,” kata Mahlil.
Saya tidak ingat atau tidak mengetahui ada sebuah adegan yang membuat Mahlil tahu isi hape.
“Kau memang tidak memberi tahu,” kata Mahlil.
Di titik ini, saya mulai kebingungan. Mahlil seakan-akan lebih tahu dari saya yang seorang tukang bual perkedok perakit cerpen.
“Ini memang tiba-tiba, dan bukankah itu kesenanganmu, atau tepatnya pelarianmu?”
Semakin titik menebal, saya semakin tidak mengerti ucapan Mahlil. “Menahan perasaan itu memang menyakitkan, kawan.”
Sebuah truk, tanpa memakai plausibilitas dan kausalitas terukur, saya arahkan kepada Mahlil. Sebuah rumah sakit. Sebuah kapal. Sebuah istana kepresidenan.
“Berhentilah kawan. Aku sangat tahu isi hatimu. Berhenti membuat narasi-narasi atau adegan tidak jelas. Kau juga terlalu banyak apa itu, apa itu, petuah keramat dalam menulis, sow don tel, kau terlalu banyak tel. Tapi itu bukan soal sih,” ucap Mahlil lagi.
“Tel itu hanya dipergunakan oleh orang-orang yang kurang senang memakan bakwan.”
“Berhentilah mengoceh, kawan,” ujar Mahlil.
Saya semakin bingung, tetapi mata saya tiba-tiba mengeluarkan madu. Saya hendak menangis dan menumpah kesedihan, serta seharusnya melepas air mata, tetapi saya justru tertawa terpingkal-pingkal dan dikerubungi semut karena terlalu manis.
“Biar kita luruskan, kawan. Kau disesatkan waktu. Aku adalah kau juga, bukan? Aku tahu ada retak di dalam dadamu.”
SEORANG pemuda, katakanlah Pemuda Kita memacu motornya, melewati kota itu dari belakang, menelusuri jalan bypass yang membuat tidak ada bangunan-bangunan dan suasana kota dihampiri. Hanya ada pemandangan perbukitan di sebelah kiri dan tanah-tanah lapang, terkadang sawah, terkadang beberapa bangunan yang ada di sebelah kanan. Truk-truk memenuhi jalan itu.
Pemuda Kita berkendara lurus, ke ujung, dan mengikuti plang yang mengarahkannya ke tujuan: Teluk Bayur. Ia pernah mendengar seorang wanita berkata, “Teluk Bayur dahulu bernama Emmahaven.”
Banyak cerita ditukar oleh Pemuda Kita dan perempuan itu. Akan tetapi, pada suatu masa, dan sebagaimana kisah-kisah klise: Pemuda Kita menumpah segala perasaan dan perempuan itu menolak.
Empat hari setelahnya, Pemuda Kita berjalan-jalan tidak tentu arah. Pertama, mengelilingi kota. Kedua, memaju motor sekencang mungkin dan pergi ke Teluk Bayur—
“Emmahaven!” ucap Saya. Mahlil benar-benar terlalu sok tahu mendeskripsikan keadaan hati saya, tetapi—
“Sudahlah, kawan. Kau itu juga aku, kan?”
Saya tidak mengerti.
“Kita sudah sampai di Tel, eh, Emmahavenmu. Lihatlah pemandangan itu, yang seharusnya kita hindari.”
ADA tiga orang pemuda berteriak histeris, berlari, kemudian menghampiri pemuda kita yang resah-gulana. Pemuda Kita tidak begitu mengerti apa yang terjadi, terlalu cepat, tetapi ia tahu ada sesuatu yang mesti dilihat.
“Baiklah, Mahlil. Lakukan sesukamu. Saya menyerah. Saya tidak percaya apa yang saya lihat,” kata saya.
Saya merasa seolah-olah Mahlil merangkul saya, menepuk-nepuk pundak saya, dan mengajak saya mendongakkan kepala, timpang menuju langit.***
Namlea, 13 Desember 2025
Almar Atom. Tidak lahir pada tanggal 29 Februari 2005. Menetap di Namlea, Maluku. Sekarang sedang bergiat sebagai pedagang bakso. Beberapa karyanya belum pernah memenangkan lomba apapun, tetapi gemar menulis di Facebook.
