Langit Biru dan Jepit Rambut Merah
Oleh : Mega Yohana
Namaku Biru, dan aku suka Merah. Oh, bukan, tetapi Mera. Namanya Almera, tetapi aku suka memanggilnya Merah agar cocok dengan namaku, sama-sama warna.
“Biru suka Merah, Merah suka siapa?” Begitu aku biasa menggodanya. Aku suka melihatnya menunduk dan berusaha menyembunyikan senyum dengan kuping memerah. Sayangnya, dia selalu menolakku.
Pernah aku memberinya jepit rambut. Tentu saja bukan aku yang memberikan langsung, tetapi kutitipkan kepada temannya. Esoknya, dia memakai jepit rambut itu ke sekolah. Aku langsung senang luar biasa. Kuceritakan kabar gembira itu kepada teman-temanku. Mereka tertawa, bersiul, dan menggodaku.
“Ciyeee, yang diterima …,” goda mereka.
“Aha-hay!”
“Traktiran, traktiran! Tuh, cilok di depan sekolah enak banget.”
Aku hanya tertawa. Saat Mera melintas, mataku tak lepas memandangi jepit rambut yang dikenakannya. Jantungku berdegup kencang. Tiba-tiba, salah seorang temanku berteriak.
“Ra, Mera! Itu jepit rambut dari Biru, ya?”
“Ciye, ciye, ciyeee!”
Sorakan ramai terdengar, Mera menunduk dan berjalan cepat-cepat. Aku jadi merasa tidak enak.
“Ssssh!” Kuletakkan jari di bibir, mengisyaratkan agar teman-temanku diam. Alih-alih mendengarku, mereka justru tergelak-gelak. Kesal, kutinggalkan mereka dan mengikuti Mera. Aku akan meminta maaf.
Di depan kelas, kuhentikan langkah saat mendengar teman-teman Mera bertanya.
“Itu jepit rambut yang dari Biru kemarin?”
“Idiiih!” sahut Mera cepat. Suaranya terdengar lebih melengking daripada biasanya. “Ini jepit rambut dari toko Kak Astri, kok. Ogah banget pakai jepit rambut dari dia. Emang dia siapa?”
“Ah, yang beneeer?” Temannya terdengar tidak percaya. Aku berdiri bersandar pada dinding, ingin mendengar lebih banyak.
“Iya. Kalau nggak percaya, pergi saja ke tokonya Kak Astri.” Mera terdengar percaya diri.
“Serius? Berapaan?”
Kudengar Mera menyebutkan harga. Tidak salah. Jepit rambut model itu memang ada di toko Kak Astri. Harganya juga sama dengan yang disebutkan Mera.
Kamu pikir aku akan kecewa? Sayangnya, tidak. Sebaliknya, aku tertawa mendengar jawaban Mera. Hahaha, dia benar-benar menggemaskan! Memang benar jepit rambut itu dari toko Kak Astri, tetapi dari suaranya saja aku tahu, itu jepit rambut yang kuberikan kepadanya kemarin.
Puas menguping, aku kembali ke tempat teman-temanku berkumpul. Kedua tangan kumasukkan ke saku.
“Gimana?” tanya salah satu temanku begitu aku mendekat. Aku hanya tertawa sebagai jawaban.
Pulang sekolah, aku menolak saat teman-temanku mengajak main.
“Mau kerjain PR dulu,” jawabku sebagai alasan. Hm, bukan benar-benar alasan, sih. Memang ada PR, tetapi siapa pun akan sulit percaya bahwa aku mengerjakan PR tepat setelah pulang sekolah. Hahaha, bahkan teman-temanku mencibir.
“Ketahuan banget bohongnya,” tukas mereka.
Aku hanya tertawa, lalu berbelok ke jalan pintas yang biasa kulewati. Jalan ini jarang dilalui oleh murid-murid di sekolah karena melewati rumah pembuat tahu. Usaha rumahan, tidak banyak tahu yang dibuat. Penyebarannya pun hanya di lingkungan sekitar. Namun, limbah tahu yang dialirkan ke selokan menguarkan aroma yang tidak sedap, sehingga jarang ada yang mau lewat sini. Aku sendiri biasa saja melewatinya. Lagi pula, setelah berbelok nanti, tak akan ada lagi bau limbah tahu. Malah, ada sungai jernih di sepanjang sisi jalan.
Sampai di sebuah pohon kersen yang teduh, aku berhenti. Kusandarkan punggung pada batang pohon sembari bersedekap.
Tak lama, sosok yang kutunggu terlihat. Aku tersenyum.
Jalan ini jarang dilalui murid-murid di sekolah. Hanya aku yang setiap hari melewati jalan ini saat pergi dan pulang sekolah. Dan dia.
Gadis itu berjalan cepat-cepat. Jepit berwarna merah menghiasi rambutnya. Tiap dia melangkah, rambutnya yang dia kucir ekor kuda bergoyang ke kanan dan ke kiri, tampak manis dan cocok dengannya.
Dia tidak berhenti, tidak menoleh, bahkan seolah-olah tidak melihatku.
Aku tertawa dan menjajari langkahnya.
“Suka jepit rambutnya?” tanyaku. Dia tidak menjawab.
“Biru suka Merah, Merah suka siapa?” tanyaku lagi. Dia menunduk sembari mempercepat langkahnya. Semburat merah tampak di telinganya.
“Merah,” panggilku, memblokir langkahnya dengan berdiri di hadapannya sehingga dia terpaksa berhenti. Dia mendongak, menatapku. Matanya memancarkan kecemasan sekaligus keingintahuan. Melihatnya dengan wajah seperti itu, aku hanya bisa tertawa kecil. Kuraih tangannya dan kembali berjalan dengan bergandengan tangan. Siang ini, rasanya langit terasa lebih biru dibanding biasanya! (*)
Dalam Keheningan, 01072020
Mega Yohana, sesekali menulis dan sesekali menyunting naskah.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata