Lalu Siapa?

Lalu Siapa?

Lalu Siapa?
Oleh : Sri Ayu/Arrachel Lotusca

Terbaik ke-5 Tantangan Lokit 7

Semilir angin sejuk menyapa bersama kicau burung. Pagi yang indah, di sebuah Vila daerah perbukitan yang menyuguhkan pemandangan desa menyegarkan mata. Begitu damai, jauh dari hiruk-pikuk kota.

“Mengapa kau tak memakai jaketmu?” ujar seorang pria sembari menatap tak suka pada sosok gadis yang tengah menikmati secangkir coklat panas di balkon kamar.

Pria itu terlihat gusar karena gadis itu hanya tersenyum dan menatapnya sekilas, tak ada jawaban untuk pertanyaannya tadi.

“Kau selalu saja membuatku khawatir.” Pria itu mendekat, ia melepas jaketnya, berniat memberikan baju hangat itu untuk kekasihnya. Namun ….

“Ini jauh lebih hangat dan nyaman, Al.” Gadis itu memeluknya dengan erat.

Sebuah senyuman terbit di bibirnya. Pria itu balas memeluk dengan penuh rasa bahagia.

“Hmm ….” Tak ada kata yang mampu ia ucapkan lagi. Ia hanya ingin menikmati momen ini, walau tanpa kata, diam mereka saling bicara. Menumpahkan kerinduan yang cukup lama tertahan.

“Andai setiap hari aku bisa memelukmu, Al,” lirihnya sambil menatap sendu.

Pria bernama Al itu tersenyum getir, tangannya mengusap kepala gadis itu dengan lembut penuh kasih.

“Maaf. Aku tidak bisa menjanjikan apa pun padamu, Ayra. Tapi aku tidak akan meninggalkanmu,” jawab pria itu dengan tegas.

Sebuah kecupan singkat mendarat di kening Ayra. Mereka saling menatap lekat, kembali berpelukan dengan erat. Seakan tak punya hari esok, mereka takut kehilangan satu sama lain.

***
Jam sudah menunjukan pukul sepuluh, mentari tersenyum hangat menyinari bumi. Sepasang kekasih itu tengah berjalan-jalan di area perkebunan kopi. Tawa bahagia terdengar, dua insan yang dimabuk asmara.

“Aldi tunggu … jalannya licin, aku takut,” rengek Ayra dengan wajah masam.

“Haha baiklah, ayo sini.” Aldi mengulurkan tangannya, mereka saling berpegangan tangan melanjutkan perjalanan.

“Kau lelah?” tanya pria itu yang mulai khawatir melihat wajah Ayra yang terlihat pucat.

Gadis itu hanya mengangguk sebagai jawaban. Aldi tersenyum, pria itu membungkuk, memberi isyarat agar Ayra naik ke punggungnya.

“Tidak mau! Kita istirahat saja sebentar,” tolak Ayra.

“Kenapa? Kau takut aku tidak kuat menggendong tubuhmu yang mungil itu?” ejek Aldi sembari menatap tajam pada gadis itu.

“Pokoknya tidak mau. Aku mau kita … sedikit lebih lama di sini, Al.” Ayra berhambur ke pelukan pria itu.

Matanya berkaca-kaca, namun ia berusaha menahan agar tak menangis meski terasa sesak di dada.

“Tenang, Ay. Aku masih di sini.” Aldi mengusap punggung gadis itu, mencoba menenangkannya.

“Pegang janjimu untuk tidak pernah pergi, Al. Aku ….”

Ayra tak melanjutkan kata-katanya. Mereka saling menatap intens, tanpa kata mereka curahkan semua keresahan di dalam dada. Aldi mengatur napasnya, ia tersenyum sambil mengusap bibir kekasihnya yang memerah karena ulahnya.

“Aku tidak akan meninggalkanmu. Percayalah ….” Pria itu medekap erat kekasihnya itu.

Hening. Hanya suara deru napas tak teratur dan detak jantung yang terdengar. Keresahan dalam hati Ayra menguap perlahan.

Drrtttt … drrrrrt.

Getar ponsel Aldi menginterupsi keheningan. Pria itu menatap ragu melihat sebuah nama yang tertera di layar.

“Jawablah.” Ayra menjauh dari Aldi, ia duduk di bawah pohon kopi.

Gadis itu tidak terlalu menyimak apa yang tengah dibicarakan Aldi. Namun dadanya bergemuruh ketika mendengar ucapan terakhir pria itu sebelum menutup telepon.

“Nanti jam empat aku akan pulang, Sayang. See you.”

Aldi menghampiri Ayra, ia tahu gadis itu pasti merajuk padanya.

“Ayo kita lanjutkan perjalanannya.”

Hening. Gadis itu tidak mau menjawab, ia malah membuang muka, tak mau menatap Aldi. Pria itu menghela napas berat. “Ay … jangan seperti ini, waktu kita tidak banyak. Kita harus cepat—”

“Harus cepat agar kau bisa bertemu dengannya dan meninggalkanku?” potong Ayra dengan wajah kesal.

“Bukan begitu, Ay. Keadaan kita memang tidak memungkinkan—”

“Sudahlah! Aku cukup tahu diri. Aku hanya orang ketiga yang tidak pernah diharapkan.” Ayra beranjak pergi dengan langkah cepat.

Gadis itu tak bisa menahan air matanya untuk tidak jatuh. Amarah, cemburu, dan kekesalan menyatu memenuhi rongga dadanya.

“Ay, tunggu! Jangan bersikap kekanakan seperti ini. Aku tahu bagaimana perasaanmu, karena aku juga merasakannya!” Aldi menghadang langkah Ayra.

Pria itu juga tidak bisa menyembunyikan perasaannya, ia menangis walau tanpa isakan.

“Apa kau tahu bagaimana sakitnya aku setiap kali melihatmu dipeluk oleh pria itu? Jujur, itu sangat menyakitkan, Ay! Lalu siapa? Siapa orang ketiga di sini? Kau atau aku?”

Isak tangis Ayra semakin jelas terdengar. Ia merasa sangat terpukul dengan semua pernyataan pria itu.

“Jika saja aku belum terikat dengan istriku, aku pasti sudah menghancurkan perjodohanmu dengan pria itu! Aku tidak rela, Ay! Tapi aku bisa apa?” Ia menghela napas berat, dipeluknya gadis itu dengan erat.

“Masa bodoh dengan status kita, aku tidak peduli, Ay. Aku tidak mau melepaskanmu. Kau milikku, kekasihku, tak peduli meski takdir menentangnya!”

Tak ada lagi kata yang terucap. Hanya sayup suara isak Ayra yang masih terdengar. Saling berpelukan dalam diam, memilih mempertahankan rasa yang harusnya tak ditanam. Tanpa tahu sakitnya dua insan yang tidak tahu apa-apa tentang jalinan kasih yang mereka rajut.

Tebing-Tinggi, 5 oktober 2018
Penikmat aksara bermelodi indah.

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di Grup KCLK

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata