Laki-laki Berotot Liat
Oleh: Fitri Fatimah
Aku sering punya kebiasaan memberi nama julukan pada orang-orang di sekitarku. Meski julukan itu biasanya hanya kusimpan sendiri, beberapa orang sepertinya bakal marah kalau sampai tahu. Misalnya Ibu, diam-diam aku menamainya Langit Bulan Desember. Karena dia gampang sekali menangis. Ketika menonton FTV hidayah tentang istri yang padahal baik hati tapi masih diselingkuhi, entah akting aktrisnya sangat mumpuni sampai ketika dia ditendang dari rumah lalu diceraikan, menggerung-gerung menangis, ada efek hujan, Ibu sebagai penonton juga tak kalah hebohnya ikutan menangis. Atau ketika tahun pertamaku kuliah, aku pulang dari Ospek dengan muka dicoret-coret, muka yang sudah kucel jadi tambah kucel, Ibu menangis. Juga menangis ketika ada mendengar tetangga menggosipkanku sebagai perawan tua, karena sudah kuliah tapi masih singgel saja. Padahal sungguh, singgel itu sexy, free, and happy. Kata Super Junior sih begitu. Ibu juga akan menangis kalau Ayah mengeluh supnya keasinan, atau sayurnya terlalu lembek, atau kalau—apa pun, biasanya Ayah mengeluh tentang apa pun, dengan nada membentak. Itu juga sebabnya kemudian pada Ayah aku memberinya julukan ‘Mesin Pencacah Bawang’. Karena secara kiasan setiap kalimat yang keluar dari mulutnya memang bau. Tak ada yang sedap dan enak didengar sama sekali. Tetapi aku sedang tidak ingin bercerita tentang mereka saat ini. Lain kali mungkin? Yang paling mendesak yang sangat ingin kuceritakan saat ini adalah tentang seseorang yang, baru-baru ini kusebut ia Laki-laki Berotot Liat.
Aku tahu, aku tahu. Memberi julukan seperti itu, kesannya aku seperti perempuan nakal, seperti tante-tante keganjenan. Tetapi mau bagaimana lagi, ketika pertama kalinya melihatnya, aku sedang membungkuk mencabuti duri dari bunga liar yang tak sengaja kuinjak di tepi pantai, lalu dia melintas, dengan pekat bau keringat, dan otomatis karena aku sedang membungkuk tatapanku hanya sejajar betisnya. Betis, atau katakanlah keseluruhan kaki, kaki dengan sepatu berlogo centang, kaki yang berayun bergerak stagnan, membentuk lari santai. Dengan langkah lebar khas laki-laki. Dengan otot-otot yang tampak liat.
Padahal aku sering ke pelabuhan, tetapi baru kali ini aku cukup beruntung bisa melihatnya. Karena sepertinya dia sudah sering ke sini, cukup familiar dengan pelabuhan ini. Dia tahu air sumur dekat TPI tawar dan tanpa ragu menimba lalu meminumnya. Oh, ke mana saja aku selama ini. Kalau tahu tiap Minggu bakal ada sosok semenawankan—kalau kalian pernah nonton drama Taiwan Ashes of Love, Fire Immortal yang diperankan Deng Lun, nah Laki-laki Berotot Liat ini langsung mengingatkanku padanya. Perawakan kokoh, rahang tegas, hidung seperti perosotan, lipatan mata samar. Hanya kulitnya saja yang lebih cokelat. Tidak mengherankan sih, kalau dia rajin melakukan aktivitas luar seperti ini, dengan kaus training berpotongan lengan pendek, juga celana pendek selutut, matahari pasti lumayan memanggang kulitnya. Dan aku, yang punya hati lemah terhadap orang-orang berpenampilan menarik, mana mau melewatkan kesempatan cuci mata. Jadi mulailah juga aku rajin lari pagi setiap Minggu. Padahal sebelum-sebelumnya bahkan meski rumahku dekat pelabuhan (aku belum bilang ya?), aku paling emoh harus bangun pagi kalau kalau tidak ada kelas. Hari libur adalah, salat Subuh dulu, balik tidur lagi sampai siang. Semacam hari penebusan.
Aku juga jadi mulai lebih memperhatikan penampilanku. Maksudku, biasanya aku cuek saja lari pagi ke pelabuhan masih dengan muka berminyak, pipi bergaris-garis bekas bantal. Tetapi paling tidak sekarang aku mencuci muka dulu, menyisir rambut dulu, pakai jari. Bukan, bukan, tak mungkin aku gara-gara dia sampai bela-belain berbedak, berlipstik, atau apalah-apalah itu dandan-dandanan, no way. Bukan apa-apa, kalau aku sudah full make up, orang kadang suka tersalip antara aku dan Sarimin. Jadi mari biarkan apa adanya. Setelah menarik ritsleting jaket hingga jakun (kalau misalnya aku laki-laki), jaket yang agak siang sedikit aku yakin pasti nanti sudah kulepas, aku tak tahan berkeringat, tetapi aku juga lebih tak tahan lagi dengan udara dingin dari pagi yang masih buta ini, jadi ya sudah, cuss berangkat.
Pagi masih buta (kuulang lagi), pagi masih berkabut (mari aku pertegas), kakiku yang telanjang menginjak rumput yang basah oleh embun sebelum kemudian menapaki jalan beraspal yang mengarah ke selatan, arah pelabuhan. Beberapa sampan tampak tertambat di pinggir pantai, mereka sedang tidak melaut, belum musim ikan. Hanya ada beberapa bapak-bapak pengangkut pasir dengan sepeda ontelnya. Juga beberapa orang yang mulai lari pagi sepertiku. Ya, kalau langkah terhuyung-huyung masih bisa dikategorikan lari, sih. Laki-laki Berotot Liat belum datang. Memang biasanya dia belum datang kalau jam segini. Nanti, sekitar setengah jam lagi, atau setelah langit jadi keemasan oleh matahari terbit, dia, dengan beberapa temannya—dia memang tidak pernah lari sendiri—akan datang.
Aku duduk di tebing pembatas ombak. Dari sini aku bisa melihatnya dengan jelas. Bukan, bukan karena aku sangat ngebet ingin langsung bisa memantaunya sampai aku memilih duduk di sini. Jauh sebelum aku melihatnya, aku sudah menandai tempat ini sebagai area teritorialku. Sebenarnya tanpa kuaku tebing ini memang jarang ada yang menempati. Entah orang takut untuk memanjat naiknya, atau mereka yang sedang pacaran biasanya tidak mau terlalu menonjolkan diri jadi memilih tempat yang lebih tertutup, di balik bukit karang di sebelah timur itu misalnya.
Aku mengayun-ayunkan kaki. Untung tadi sempat mengikat rambut, anginnya lumayan kencang.
Ngomong-ngomong Ibu tadi berpesan supaya aku tidak terlalu lama di pelabuhan, katanya nanti bakal ada tamu. Terus? Biasanya Ibu paling tahu aku—ketika ada tamu, maka tingkahku adalah ala Harry Potter, “I’ll be in my bedroom, making no noise and pretending that I don’t exist”. Aku paling malas kalau disuruh menemani tamu atau kerabat yang bahkan namanya saja aku tidak tahu. Ibu bilang penyakit anti sosialku keterlaluan. Namun, meski demikian, dia tidak pernah memaksa. Lagi pula setelahnya biasanya aku membayar tingkah ‘keterlalaluan’-ku dengan mendadak jadi anak berbakti; mencuci piring dan gelas-gelas kotor bekas tamu, menyapu remah-remah jajan yang—aku heran apakah mereka tidak punya bibir? Remah-remahnya banyak sekali!
Tetapi tadi Ibu sangat bersikeras, aku harus kali ini tidak main sembunyi-sembunyi lagi di kamar. Oh iya aku lupa, selain Langit Bulan Desember, Ibu juga adalah Tuan Jaksa, dia kalau sudah ada maunya sangat penuntut sekali.
Ya sudahlah. Sekali ini tidak apa.
Nah itu dia!
Si Laki-laki Berotot Liat datang. Bersama dengan teman-temannya. Sepertinya mereka semacam dari satu komunitas, mereka memakai kaus training biru seragam. Entah, apakah karena aku sudah terlanjur menancapkan perhatian pada si laki-laki itu, sehingga penilaianku bias dan menganggap tak ada yang lain yang bisa sebanding dengan dia. Misalnya saja, temannya yang—oh, naluri ‘memberi nama julukan’-ku langsung gatal ingin beraksi—adalah Pria dengan Perut Tujuh Bulan Mengandung. Atau yang satu lagi, Pria Tusuk Gigi, aku sampai khawatir dia bakal diterbangkan angin pantai. Sementara yang lain-lain, kalau di naskah drama, saking tidak pentingnya mereka, mereka hanya diberi nama Penjahat 1, Penjahat 2. Aku jahat, ya?
Sayangnya cerita kami hanya sampai di situ saja. Aku tidak pernah punya cukup keberanian untuk menghampirinya dan memulai sapa. Lagi pula untuk apa. Aku sudah merasa cukup hanya dengan memperhatikan dari jauh. Aku sama sekali benar-benar sungguh, tidak punya ketertarikan untuk berkenalan. Meski kadang ya … aku kadang juga memikirkan adegan-adegan seperti kalau saja aku tergelincir dari tebing ini dan tercemplung pada air laut yang—saat ini memang masih surut, tetapi seandainya saja air lautnya sedang pasang membuncah ombak, dan aku terjatuh, hampir tenggelam, terengap-engap tangan minta tolong, lalu dia bakal dengan heroiknya melompat langsung ke laut dan menyelamatkanku. Lalu memberiku napas buatan. Lalu setelah sadar aku bakal menamparnya, marah-marah dengan tidak tahu diuntung, “Kamu sudah mencuri ciuman pertamaku! Kamu harus bertanggung jawab!” Sudah ada yang bilang belum kalau aku pasti kebanyakan nonton opera sabun. Aku terkikik sendiri. Oh, betapa bakal dramatis kalau sampai benar-benar terjadi seperti itu. Aku tidak bisa menahan kikikanku lagi. Tawaku tersembur. Kakiku sampai menendang-nendang tembok. Marvellous.
Mungkin tingkah gilaku itulah yang kemudian menarik perhatian si Laki-laki Berotot Liat hingga dia menatap ke arahku. Membuatku seketika membeku. Ya Tuhan. Jangan, jangan! Aku ingin melambai menghalau. Jangan menatap ke sini. Bisa tidak aku pesan lubang besar tepat di depanku sekarang juga? Aku mau sembunyi dulu. Untungnya dia tidak menatap lama, beberapa saat kemudian, setelah mengerutkan alis, mungkin heran, dia mengalihkan perhatian pada hal lain.
Setelah melakukan perenggangan dan beristirirahat sebentar, si Laki-laki Berotot Liat dkk. kembali berlari ke arah dari mana mereka datang.
Oke, aku juga waktunya pulang.
***
Aku penasaran siapa tamunya sampai Ibu kalang kabut mengecek apakah taplak meja terhampar dengan sudut kemiringan yang benar. Atau apa ada semut yang masuk ke toples Tupperware miliknya yang berharga. Dia bahkan memeriksa apakah aku sudah berpakaian dengan pantas, maksudnya bukan lagi cuma mengenakan t-shirt kebesaran yang warnanya sudah pudar oleh detergen. Itu bajuku yang paling nyaman, Bu. Bahkan ketika aku meregek seperti itu Ibu tidak terbantahkan, dia kembali jadi si Tuan Jaksa. Ibu menyuruhku memakai baju paling baruku, yang ada kembang-kembangnya, yang nanti bakal bikin kamu lebih cewek. APA!!! Maksudnya selama ini aku androgini gitu? Ibu mengabaikan. Dia malah menyambar jepit rambut di nakasku.
Tanya, apakah dengan jepit rambut berbentuk sayap kupu-kupu sebesar tatakan cangkir, akan membuatmu lebih cewek, lebih cantik? Lagi pula dulu aku beli jepit ini tujuannya apa coba. Aku malah ragu jangan-jangan aku tampak seperti kebun tempat anak SD praktik bercocok tanam. Ada bunga, ada kupu-kupu, kurang apa lagi? Ada yang mau menyumbang pupuk?
Aku menggeleng-geleng. Jadi makin penasaran siapa sang tamu. Waktu kutanya lagi Ibu hanya menjawab, ada pokoknya. Pokoknya kamu nanti harus sopan, duduknya jangan ngangkang. Kalau ditanya jawab yang benar, jangan cuma geleng-angguk. Harus lengkap, harus halus, harus sopan!
Kata sopan ditekankan dua kali, Pemirsa. Seakan aku anak rimba saja. melihat gelagat Ibu yang tumben-tumbenan, aku jadi makin curiga. Aku terus memberondonginya dengan pertanyaan, sampai dia tak sengaja terceplos, “Ya kan, mereka datang ke sini mau menemui kamu. Calon mantu Ibu cakep lho, katanya. Ya kamu harus sop—“ Ibu seperti keselek tulang ikan, tercekat mendadak. Tetapi sebelum aku bisa mengorek lebih jauh, dari arah halaman terdengar suara mobil.
Aku mendengar suara Ayah bercakap basa-basi di luar. Bisa kubayangkan mukanya yang biasanya masam kini disetel jadi tuan rumah yang hangat. Pada aku dan Ibu saja dia jadi Mesin Pencacah Bawang, di depan orang lain dia adalah air conditioner.
Pintu kemudian terbuka. Menampakkan Ayah dan si tamu—tamu-tamu sebenarnya. Dua orang. Seorang pria paruh baya dengan kepala hutan Kalimantan, gundul, atau botak botak tepatnya. Karena gundul itu pilihan, botak nasib. Dan laki-laki yang sepertinya adalah putranya, yang—kalau sangat terkejut bisa membuat matamu melompat, mataku pasti sudah memantul-mantul di lantai sekarang. Bahkan meski kini kakinya ditutupi celana katun hitam panjang, aku masih tahu bahwa di baliknya ada kaki yang membuatku jadi memberi julukan pada seseorang dengan Laki-laki Berotot Liat.
….
Baca Juga: Laki-laki Berotot Liat (part 2)
Sumenep, 25 Desember 2018.
Fitri Fatimah, kelahiran Sumenep, 1996. Suka membaca dan mencoba menulis. Salah satu cerpennya pernah jadi juara dalam event Mythomania Challenge dan dibukukan dalam antologi cerpen Bias Nyata (Intishar Publishing).
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata