La Terra Delle Lacrime 6
Oleh: Sunita Kasih
Lorong Cahaya
“Siapa saja nanti yang akan kita temui, Simon?” tanya Nina sembari meletakkan beberapa benda ke dalam tas maroon miliknya.
“Kau mau bertemu siapa?”
“Siapa saja,” jawab Nina dengan sedikit raut kebingungan.
Pagi itu mereka memutuskan kembali ke tengah kota dengan berbekal tujuan hendak menemui beberapa orang yang dikurung di dalam penjara bawah tanah. Simon memahami kebingungan Nina, siapa yang tak bingung jika di hadapkan dengan perjalanan semacam ini. Simon mengambil sepedanya, meminta Nina naik dan berdiri di belakangnya.
Simon mengayuh sepedanya dengan cepat, menembus kabut juga jalanan yang di beberapa titiknya tergenang air, melewati pepohonan serta beberapa burung gagak yang bertengger. Di ujung jalan terdapat persimpangan yang salah satu jalannya menuju pembuangan sampah, Nina menoleh penuh pada jalan yang mengarah ke tempat pembuangan sampah. Dia membayangkan bagaimana setiap benda di sana menahan kesedihan juga kemarahan sebab merekalah yang menjadi saksi bagaimana menyedihkannya negeri ini.
“Berpura-puralah tidak tau apa-apa, Nina.” Simon berbicara kepada Nina sembari tetap mengayuh sepedanya.
“Iya,” jawab Nina.
Beberapa rintik hujan pagi itu menjelma jarum-jarum yang melesat menuju tubuh Nina dan Simon. Entah mana yang lebih terasa lebih pedih, perjalanan ini atau kenyataan yang mereka hadapi, yang jelas beberapa rintik yang menimbulkan gigil itu tak terasa begitu mengundang derita ketika Nina dan Simon memikirkan beberapa hal tak masuk akal di negeri ini.
“Simon, buku itu,” ucap Nina dengan nada yang ditinggikan.
“Kenapa?” Simon memelankan kayuhan sepedanya.
“Apa dahulu kau pernah di ceritakan keluargamu tentang buku ini?” tanya Nina.
“Pernah, beberapa minggu sebelum mereka menghilang.”
Nina diam tak bergeming.
“Itu saja?” tanya Simon.
“Menurutmu apa yang akan terjadi nanti?” tanya Nina dengan suara yang mengecil.
“Kemenangan juga keberhasilan.” Nina diam, dia tahu bahwa Simon tak akan melanjutkan perkataannya lagi.
Tak beberapa lama Simon dan Nina telah sampai pada tengah kota, mereka berhenti tepat di bawah pohon rindang yang berada di depan gedung tempat walikota dan bawahannya bekerja.
“Di mana orang-orang itu dipenjarakan?” tanya Nina pelan.
“Ya, di bawah tanah, kau lihat gedung itu? Di belakangnya terdapat kebun dan satu gubug yang terhubung dengan jalan bawah tanah untuk mencapai orang-orang gila itu di kurung.” Nina mengangguk mendengar penjelasan Simon.
“Lalu? Kau tahu dari mana?” tanya Nina.
“Aku pernah diberitahu Tukang Koran. Kita harus masuk lewat pintu yang berada di gubug itu. Kau pikir sendiri saja, mana boleh anak seusia kita memasuki gedung itu, yang ada kita akan ditangkap dan dikurung juga,” Simon menjelaskan.
Nina dan Simon berpikr sejenak bagaimana membuat beberapa penjaga juga orang-orang yang ada di sekitaran dalam gedung tersebut agar tidak memperhatikan mereka. Di dalam gedung jelas terdapat pintu resmi yang terhubung ke penjara bawah tanah.
“Ini,” Simon menunjukkan kertas kecil kepada Nina.
“Peta?”
“Ya, Tukang Koran bilang dulu dia sering menemui dan membawakan koran untuk temannya yang ada di penjara bawah tanah,” jelas Simon.
Nina tersenyum dan menarik napas panjang.
“Stt, sudah kubilang berpura-puralah menjadi warga biasa,” potong Simon.
“Maksudmu? Jangan tersenyum atau tertawa dulu di sekitaran sini.” Nina mengangguk.
“Ah, padahal aku mau mengajakmu dengan mudah ke penjara bawah tanah.” Nina nyengir kuda.
“Dengan cara ditangkap? Keterlaluan.”
Nina dan Simon menahan tawa. Simon meletakkan sepedanya di antara semak yang berada di bawah pohon beringin tersebut.
“Bagaimana rencananya?” tanya Nina.
“Begini, gedung ini di kelilingi pagar, di belakang gedung kurasa tak ada penjaga yang berjaga di sana,” jelas Simon.
“Menurutku, kita tunggu tengah hari nanti saja, maksudku bukankah nanti mereka akan berganti giliran menjaga?”
“Hmm.” Simon mengangguk.
Nina dan Simon menunggu beberapa menit lagi untuk melewati pagar penjagaan gedung tersebut, Nina terlihat sedang sibuk menyiapkan pertanyaan di kepalanya sesekali membenarkan tali tas maroon miliknya. Simon sendiri tampak memperhatikan peta bagai menimbang langkah apa saja yang nanti akan membawa mereka menuju penjara bawah tanah.
“Kau sudah tahu orang yang akan kita temui?” tanya Simon.
“Ah, iya. Siapa?”
Simon menggelengkan kepalanya seolah memberi isyarat bahwa ia juga tidak mengetahui siapa yang akan mereka temui.
“Begini saja, tukang Koran bilang di penjara bawah tanah itu di penuhi orang-orang yang tidak terpengaruh kutukan tersebut. Jadi, menurutku siapa pun yang kita temui akan memberikan informasi lebih mengenai negeri dan kota ini,” jelas Simon.
“Kau yakin mereka akan mempercayai kita dan menceritakan hal itu pada kita?” tanya Nina.
“Ah, sudahlah Nina. Yang harus kita pikirkan sekarang bagaimana cara untuk sampai ke sana, jika pun nanti di sana mereka tak mau menceritakan apa-apa kau dan aku bisa menceritakan bagaimana tukang Koran menceritakan mereka.” Nina mengangguk.
Tak beberapa lama terlihat penjaga memasuki gedung. Nina dan Simon bergegas menerobos gerbang, mengendap-endap diantara semak yang berada di dekat pagar hingga mereka sampai di belakang gedung. Beberapa penjaga sempat menoleh ke arah Simon dan Nina, memperhatikan dan sedikit mendekat untuk lebih mengetahui apa yang berada di balik semak. Beruntung, penjaga yang lain saling memanggil untuk bersama-sama masuk ke dalam gedung.
“Apa lagi yang harus kita lewati, Simon?” tanya Nina.
“Nah, di sana. Kau lihat gubug itu?” Simon menunjuk kea rah gubug yang berada tepat di depan mereka.
“Iya. Kita ke sana?” Simon mengangguk. Sejenak mereka memperhatikan keadaan kemudian berlari ke arah gubug tersebut. Simon mengeluarkan kunci yang ia dapatkan dari Tukang Koran. Nina mengikuti langkah Simon.
Gubug itu berisi beberapa peralatan kebun juga peralatan untuk membersihkan gedung. Nina dan Simon yang merasa asing dengan tempat itu bergegas mengunci kembali gubug itu dari dalam. Barang-barang terlihat diselimuti dengan debu yang cukup tebal.
“Lalu bagaimana?” Nina kembali bertanya pada Simon.
“Kita cari pintu masuknya,” ucap Simon.
Simon dan Nina masih meraba-raba benda di sekitaran mereka hingga Simon melirik jam tua yang penuh debu namun masih terdengar berdetak.
“Apa?” ucap Nina melihat Simon yang tampak mengalihkan pandangannya pada jam tua itu.
“Sini,” ajak Simon.
“Jam ini masih hidup,” ucap Nina.
“Dengan debu setebal ini,” sambung Simon. Nina mengangguk.
Nina meraba sisi samping kanan jam tersebut pun Simon mengikuti Nina dengan meraba sisi jam yang lain.
“Coba kita geser,” ucap Nina.
Jam tua dengan berukuran persis lemari baju dua pintu yang terbuat dari bahan kayu itu mereka coba geser ke bagian yang lain.
“Ah, pintu!” ucap Simon.
“Kau atau aku duluan yang masuk?” tanya Nina.
“Biar aku saja Nina. Kau kan wanita,” ucap Simon dengan dagu dandada yang dibusungkan.
“Baiklah,” jawab Nina sembari menunggu Simon.
Simon membuka pintu kemudian beranjak memasuki lorong gelap tersebut, di sana terdapat tangga yang menghubungkan pintu dengan lorong bawah tanah. Dengan perlahan Simon menuruni tangga diikuti dengan langkah Nina.
“Wah, gelap,” ucap Nina.
“Bukan,” potong Simon.
“Apa?” tanya Nina.
“Tidak ada cahaya.” Simon nyengir kuda.
Bergegas Nina mengeluarkan kertas yang tadi Simon berikan padanya.
“Ini.” Nina memberikan kembali kertas itu pada Simon.
Simon mengambilnya dan mencoba mencocokan gambar dengan beberapa lorong di depannya.
“Ke arah mana ya?” gumam Simon.
Di belakang tampak Nina mengeluarkan tongkat sihir dari dalam tas maroon miliknya. Simon tampak tak memperhatikan Nina, ia masih sibuk dengan peta dan lorong-lorong itu.
“Luce,” bisik Nina sembari mengayunkan tongkatnya.
Tak lama cahaya muncul dari ujung tongkatnya.
“Ah Nina!” ucap Simon.
Nina tampak tertegun beberapa saat ketika melihat tongkatnya mengeluarkan cahaya.
“Bagaimana bisa?” tanya Simon.
“Aku membaca dari kita sihir itu” jawab Nina.
“Sudah kubilang Nina! Ini akan berhasil!” ucap Simon dengan semangat.
Bergegas Nina mengarahkan ujung tongkat itu pada kertas yang sedang Simon perhatikan, lorong tampak tak terlalu gelap lagi, mereka memulai langkah dengan kaki yang diarahkan pada satu lorong yang paling kanan. Sebetulnya di sana terdapat tiga lorong yang berbeda arah dan tujuan namun menurut peta yang telah diberikan tukang Koran, arah yang paling kananlah yang akan mengantarkan mereka bertemu dengan orang-orang yang dikurung di dalam penjara bawah tanah.
“Nina, apa lagi yang kau tahu tentang mantra?” tanya Simon.
“Hanya sedikit,” ucap Nina.
Nina memperhatikan dinding lorong sembari terus melangkahkan kakinya mengikuti Simon. Ada yang sedikit aneh dengan tempat itu adalah dinding yang penuh dengan kata dan huruf yang kurang Nina pahami.
“Simon, menurutmu apa ini?” tanya Nina pada Simon sembari menunjuk sisi dinding.
“Entahlah, mungkin cerita, atau juga mantra,” jawab Simon sambil terus melangkahkan kakinya mengikuti peta.
Nina mengerutkan dahi, tak berapa lama Nina menghentikan langkahnya. Mencoba mengenali serta membaca apa yang ada di dinding lorong tersebut.
“Kenapa berhenti Nina?” tanya Simon.
“Sebentar, sepertinya aku pernah membaca tulisan ini,” jawab Nina.
“Lucess Corrd,” bisik Nina sembari merabah bagian dinding yang ia baca.
Simon menghentikan langkahnya.
“Nina? Apa yang kau lakukan?” tanya Simon.
Nina diam tak menjawab. Simon yang merasa ada sesuatu yang aneh di lorong itu mengalihkan pandangan serta langkahnya mendekati Nina.
“Matikan cahaya yang ada di tongkatmu,” ucap Simon.
Nina mengayunkan tongkatnya mengikuti arahan Simon.
Dari ujung lorong terdapat cahaya putih yang semakin terlihat mendekati mereka juga semakin terang.
“Stt,” ucap Simon setelah Nina tak sengaja menghentakkan kakinya.
“Apa itu?” tanya Nina pelan.
“Aku juga tidak tahu,” ucap Simon.
“Lalu?” tanya Nina.
“Apanya?” Simon kembali bertanya.
“Kita harus lari atau bagaimana?” tanya Nina.
“Kau punya rencana?” jawab Simon.
“Ah iya!” ucap Nina sembari mengarahkan tongkatnya ke arah datangnya cahaya.
“Untuk apa?” tanya Simon.
“Aku tahu mantra apa yang nanti akan membuat orang terpental jauh,” jawab Nina. Simon tersenyum.
“Jangan kau hilangkan buku dan tongkat itu,” bisiknya pelan.
Cahaya semakin mendekat dan semakin terang. Butir keringar sebesar biji jagung menetes di sela pipi dan telinga Simon, tangan Nina yang tadinya mengacungkan tongkat dengan yakin kini terlihat dipenuhi dengan gerakan kecil yang tak bisa Nina kendalikan.
Nina berteriak mengucapkan mantra dan mengayunkan tongkat kemudian terpejam, pun Simon yang tampak tegang namun tak bisa berbuat apa-apa. Perlahan Nina membuka matanya, dan alangkah terkejutnya mereka, cahaya itu melewati mereka dan meninggalkan jejak di seluruh dinding lorong.
“Nina, kau menemukannya!” teriak Simon.
Bersambung ….
Sunita Kasih asal kota Lubuklinggau Sumatera Selatan, penyuka teh melati juga sepiring pengalaman yang disajikan dengan hangat. Kamu bisa temukan Sunita di instagram dan facebook : sunitakasih serta twitter : @sunitakasiih
Blurb:
Nina menyadari satu hal setelah Simon memberikan buku itu padanya—La Terra Delle Lacrime—bahwa ada yang sangat salah dari kota yang ia tempati sekarang. Abu-abu, asap, sunyi, gemeretuk gigi, ayunan taman yang berkarat, bangunan yang berlumut, juga gagak yang bertengger di pepohonan jalan raya itu, tanpa Nina sadari telah menyadarkan Nina atas apa yang terjadi.
Setelah mengetahui satu rahasia besar, ia kembali menemui Simon untuk meminta penjelasan lebih tentang dirinya—bahwa ia bukanlah manusia biasa. Ketika Nina memutuskan untuk pergi, Simon yang terlebih dahulu telah mengetahui hal ini mencegah kepergian Nina dan mulai merancang sesuatu dengan berbekal buku yang hanya Nina yang mampu menguasai kekuatan di dalamnya. Sebuah buku sihir berusia ratusan tahun, sebuah buku yang berisi kutukan.
Apakah Nina dan Simon berhasil mengembalikan keadaan kota itu? Atau malah berakhir dalam penjara bawah tana, tempat orang-orang gila mengakhiri pencarian tentang apa yang mereka sebut sebagai “kebahagiaan”?
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita